Skenario Tuhan (Gadis 12 Kali Operasi)

Mega Kembar
Chapter #3

Saat Nyaris Bercerai

Aku ingin bercerita …,

Dari kenangan memori yang tersimpan rapi dalam ingatan

Dari cinta yang tumbuh mekar di sepanjang pertemuan

Dari waktu yang berlalu tanpa mengenal jeda penghentian

(Mega Kembar)

***

Bandung, 13 Juli 1991.

Hari ini--adalah moment membahagiakan bagi Bapak dan Mama, karena mereka telah resmi menjadi orang tua dengan lahirnya kakak sulungku, Aa Banyu.

Saat usia Aa Banyu menginjak 9 bulan, Mama dan Bapak membawanya tinggal di Bandung. Tapi masalah menerjang rumah tangga mereka.

Semua bermula dari keputusan Mama untuk berhenti bekerja di Pabrik dan fokus mengurus anak. Sampai suatu hari, saat sedang memberikan ASI pada Aa Banyu, terdengar suara ketukan pintu.

Mama tidak bergeming, menganggap yang datang adalah tamu Kakek Adan. Betapa terkejutnya Mama saat mendapati Bapak diambang pintu.

"Neng." Bapak berjalan mendekat dan bersimpuh di sisi Mama.

"Kok A Juan balik kesini?! Ngambil cuti lagi, ya?" terkanya.

"Tidak, Neng. Aa keluar dari Pabrik."

Mama tercengang. "Kok bisa? Kenapa keluar? Ada masalah apa?"

"Hm. Aa pengen kerja di kampung aja dekat Neng dan Banyu," jawab Bapak. "Enggak mau tinggal sendiri di kontrakan, sepi."

Karena masih dalam nuansa pasangan baru--belum genap dua tahun pernikahan--bukannya khawatir, Mama justru kasmaran merasa dicintai setengah mati.

"Ya udah, nanti Neng coba bilang ke Bapak, siapa tahu Aa bisa masuk kerja di sana."

Memang selepas pernikahan, kakek dan nenekku sepakat pindah ke Bandung menempati rumah Ambu Tikah4 yang sakit keras.

Tapi mencari pekerjaan di kampung ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Pendapatan Bapak pun jauh di bawah gaji karyawan pabrik.

Belum lagi antara pekerjaan dan upah tidak sebanding, terlalu berat ke tenaga ketimbang hasil. Beberapa kali Bapak gonta-ganti pekerjaan, pernah juga menjadi pengangguran. Selalu saja ada alasan untuk membantah argument Mama, seperti;

Saat menjadi pedagang keliling;

"Dapet capek-nya doang, Neng. Tapi dagangan selalu enggak abis."

Saat bekerja bangunan;

"Ngeri, Neng. Kerjanya di gedung-gedung tinggi, apalagi Aa enggak berpengalaman takut jatoh."

Saat jadi tukang perbaiki sofa;

"Aa enggak terbiasa ngangkat beban berat kayak sofa, jadinya punggung lecet semua."

Saat menjadi tukang rongsokan;

"Sekarang udah banyak yang enggak mau jual sampahnya, Neng. Suka dikekep sendiri aja."

Saat menjadi pegawai kolam renang;

"Aa enggak tega ngeliat Bapak Adan kerja keras kayak gitu. Kalau bisa Aa jangan setempat kerja sama Bapak."

Alasan itulah yang membuat Mama muak dan melampiaskan kemarahan pada Bapak dengan membentak dan mencercanya. "Yang namanya kerja pasti capek, A. Kalau mau enak jadi bos atau kerja di pemerintahan kayak Pak Lurah."

"Bukan gitu maksud Aa, Neng. Mungkin cuman belum ketemu yang cocok aja," bela Bapak. "Nanti juga kalau udah jodoh, pasti Aa ambil kerjaannya. Sabar dulu aja."

"Ck. Harus sabar gimana lagi, sih?" amuk Mama. "Aa tuh yang harusnya sadar diri. Ijazah Aa apa?! Cuman tamatan SD, A."

Lihat selengkapnya