Jika kamu tidak pergi
Meninggalkan aku sendiri
Kisah ini akan seperti apa?!
(Mega Kembar)
***
Sama seperti Aa Banyu dan Teh Hanna, Mama pun pergi ke Bandung untuk melahirkan di rumah Nenek Mima. Setelah mengantarkan kesana, Bapak kembali ke Tangerang untuk mencari tambahan uang persalinan.
Saat Desember 1999, Bapak mudik ke Bandung dengan harapan bahwa Mama sudah melahirkan, ternyata aku dan kakak kembarku belum ingin menyapa dunia.
Sambil mengusap perut Mama yang membuncit, Bapak berkata. "Bapak pergi dulu ya, Dek. Nanti Bapak kesini lagi kalau dede udah lahir. Jangan lama-lama keluarnya, Bapak mau ketemu."
Ketiga, aku gagal mendapat bingkisan kado.
Pada 01 Januari 2000, ada sayembara bahwa bayi yang lahir di tanggal tersebut wajib melapor ke kantor desa untuk mendapatkan bingkisan hadiah.
Mama bercerita padaku bahwa banyak kerabat yang menyuruhnya untuk segera melahirkan.
“Ayo, Mais. Cepet keluarin bayinya biar bisa dapet hadiah.”
“Lah, mana bisa, Bi?!” tanya Maisha keki. “Emangnya Mais yang ngatur. Nanti juga kalau udah waktunya bakal keluar sendiri.”
Keempat, aku terlahir sepasang atau kembar parental non identik
Minggu, 09 Januari 2000.
Itu adalah hari Mama merasakan mulas pada perutnya, sehingga Nenek Mima dengan sigap memanggil kerabat yang biasa membantu persalinan, Mak Omah.
Ada kisah lucu dibalik kelahiranku, karena aku sempat dilupakan.
Mama sama sekali tidak menceritakan kasus anak kembar pada siapapun termasuk Nenek Mima.
Saat Mama sudah melahirkan kakak kembarku, alat-alat yang digunakan seperti air, selimut, handuk dan lain-lain telah dibereskan.
Mama sendiri sudah duduk menyandar di ruang tengah, tidak lagi berbaring dalam kamar yang menjadi tempat melahirkan.
Saat Nenek Mima datang menggendong kakak kembarku, Mama pun mengeluh.
“Mak, kok Mais masih ngerasa mules, ya?!”
“Itu hal biasa, Mais. Jangan panik. Tenangin pikirannya nanti juga ilang.”
“Tapi Mak. Ini rasanya beda kayak mules mau ngelahirin lagi.”
Sontak Nenek Mima pun panik dan kembali meminta bantuan Mak Omah, yang dengan cepat mempersiapkan proses persalinan kedua dengan membawa Mama ke kamar lagi.
“Mau ngapain lagi dibawa ke sana, Ce?” tanya Nenek Mima kebingungan.
“Shut! Jangan berisik, Ce. Maisha mau ngelahirin bayi yang satunya.”
“Hah?”
“Iya. Bayinya kembar."
Mak Omah pun menghampiri Mama untuk membantu proses persalinan kedua. Tidak berselang lama tangisan bayi pun bergema.
KISAHKU PUN DIMULAI DI SINI.
***
Setelah aku selesai dibersihkan dan dibaringkan bersama kembaranku di ruang tengah, barulah Mama ditegur Nenek Mima yang menangis haru.
Baik di keluarga besar pihak Mama maupun Bapak, sebelumnya tidak pernah ada kasus bayi kembar, apalagi yang sepasang. Ini baru terjadi pada orang tuaku.
“Kenapa disembunyiin, Mais? Kamu bikin Mak jantungan.”
“Maaf, Mak. Soalnya Mais nggak mau bikin Mak kepikiran dan panik karena Mais ngandung bayi kembar.”
“Tetep aja kasih tahu Mak kalau ada apa-apa.”
Sebenarnya kekhawatiran Nenek Mima bukan hanya dari insiden ini, melainkan kabar mengejutkan lain yang disampaikan Mak Omah sebelum aku dibersihkan.
Kelima, aku terlahir dengan penyakit tumor ganas tulang belakang
Begitu tangis pertamaku terdengar, Nenek Mima langsung masuk ke kamar dan bertanya pada Mak Omah. Namun, anehnya raut wajah itu terlihat gusar.