Skenario Tuhan (Gadis 12 Kali Operasi)

Mega Kembar
Chapter #7

Saat Dilanda Kemiskinan

Aku tidak mau menjadi pusat perhatian

Tapi kondisi yang spesial ini membuatku mengalaminya

(Mega Kembar)

***

Tahun 2003 – 2004.

Ini adalah tahun-tahun terberat dalam hidup kami. Saking sulitnya, kami hanya bisa berpergian dengan kendaraan umum. Seperti saat mudik ke Bandung menggunakan busway.

Mama, Bapak dan Aa Banyu mendapatkan tempat duduknya sendiri, sedangkan aku dan Teh Hanna yang masih balita duduk di pangkuan.

Awalnya, akulah yang ada di pangkuan Mama. Tapi karena Teh Hanna mabuk darat, dia pun merengek ingin bersama Mama. Alhasil kami bertukar tempat duduk.

Merasa cemburu, aku turun dari pangkuan Bapak dan menghampiri tempat duduk mereka, tapi goncangan dalam bus membuat tubuhku oleng.

Aku nyaris terjatuh jika saja tidak ditarik oleh seorang pemuda.

Bapak pun meminta maaf atas gangguan itu, tapi saat akan menggendongku justru dilarang. “Biar putrinya di sini saja sama saya, Pak.”

Dia mendudukkanku di pangkuannya, sedangkan Bapak kembali ke tempat duduknya.

Berada di tangan orang asing membuatku diam menjaga sikap. Aku tidak lagi bertingkah pentakilan seperti tadi, tapi pemuda itu dengan ramah mengajakku bermain.

“Lihat tuh, Dek. Gedung-gedungnya bagus, kan?!” ujarnya.

Aku mengamati pemadangan di luar bus dengan perasaan hampa, sesekali melirik kearah tempat Mama berada. Aku menatap iri posisi Teh Hanna yang dihibur Aa Banyu.

Aku ingin sepertinya ....

Tapi apakah karena pikiran picik ini aku layak dihukum?

Aku hanya anak kecil yang belum bisa membedakan salah dan benar.

***

Saat aku sudah cukup besar untuk dibawa ke sawah, Mama terpaksa menjadi buruh petani22.

Upahnya dibayarkan secara harian, tapi hanya bertahan selama beberapa bulan saja, karena kondisi fisikku yang mudah kelelahan menjadi penghambat.

Akibatnya pendapatan harian itupun selalu habis dipakai berobat ke klinik atau puskesmas, yang terissa hanya rasa lelah saja.

Saat malam hari, Mama akan mengecek benjolanku yang selalu memerah setiap kali jatuh sakit. Mama hanya bisa mengusapnya pelan sambil menyenandungkan alunan sendu.

“Dede maafin Mama,” ujarnya pelan. “Seharusnya Mama enggak bawa dede kerja."

Mama selalu menyalahkan dirinya sendiri.

"Dede kecapean karena Mama. Mama yang udah buat dede sakit."

Karena usiaku masih balita, aku tidak pernah mengerti arti tatapan nanar dan senyuman miris Mama saat melihatku. Betapa khawatirnya Mama akan masa depanku nanti.

“Ya Allah … tolong berikan keluargaku rezeki berlimpah, agar bisa membawa dede berobat ke rumah sakit. Aku ingin dia sehat seperti Aa dan tetehnya."

Mama mengecup pelipisku dengan linang air mata berderai. Tidak jarang, aku akan terbangun oleh tangisan itu, lalu dengan polos bertanya, “Mama belum bobo?!”

“Ini Mama baru mau bobo," jawabnya lembut. "Maaf ya, dede jadi ke bangun karena Mama. Tadi ada nyamuk, sih. Di teteh dan Bapak juga banyak.”

Yap! Kami sekeluarga tidur berdesakan di ruangan sama, karena belum memiliki uang untuk renovasi rumah lebih besar, sedangkan Aa Banyu sejak masuk SMP memilih masuk pondok pesantren.

“Mama habis nangis, ya?!” Aku mengusap pipi Mama lembut. "Ini wajahnya basah."

“Enggak, Dek. Mama tadi kelilipan."

Lihat selengkapnya