Janji kecil itu telah mengikatku
Setiap waktu semakin kuat
Sampai aku berada di ambang kegilaan
(Mega Kembar)
***
Tahun 2005.
Masalah dari faktor ekonomi telah teratasi, bahkan keluarga kami sudah bisa merenovasi rumah dengan menambah dua kamar tidur, ruang tengah, kamar mandi dan memperbesar ruang teras.
Bapak pun mendapat tawaran untuk menjadi PNS atau Kepala Desa, dan Bapak memilih mengajukan diri menjadi ASN dengan mengambil ijazah paket B dan C.
Tapi masalah selalu datang berkaitan dengan kelainan system tubuhku.
Keanehan itu terjadi pada jemari kaki kiriku, terutama ibu jari yang selalu menekuk ke bawah27 bagai berjalan menaiki bukit atau sedang mencengkeram.
“Kalau jalan kakinya jangan nekuk gitu, Dek," tegur Oyot Ijah. "Biasa aja, kamu enggak bakal jatoh, kok."
“Susah, Oyot. Dede enggak bisa."
"Masa gitu doang enggak bisa?"
Aku mengangguk. Meski Oyot Ijah memberikan contoh cara berjalan yang baik, aku tetap tidak bisa mengendalikannya. Selain itu, ada juga kebiasaanku yang membuat mereka marah.
Aku selalu meletakan punggung tangan di belakang tubuhku, tepatnya di area benjolan yang seukuran bola pingpong28.
“Dek, jangan taruh tangan di punggung. Nanti jadi kebiasaan pas udah sembuh nanti," tegur Bapak.
“Takut kesenggol, Pak. Nanti kan sakit!"
Yap! Itu alasan yang selalu kuberikan, karena memang aku selalu merasa nyaman dan terlindungi setiap melakukannya, terkadang saat sedang bercermin di lemari, aku akan mengamati benjolan itu sambil membatin;
"Kenapa punggung dede hatus ada gininya, sih?!" runtukku, "... kan sakit."
Tidak jarang, memang ada anak-anak nakal yang sengaja menepuk benjolan penyakitku itu.
Sumpah! Rasanya sakit sekali.
Kadang juga, aku dimarahi karena sering mengompol, bahkan Bapak berinisiatif memanggilkan dukun untuk mengobati kebiasaan buruk ini.
Pengobatan yang paling kuingat adalah cambuk.
Bayangkan! Aku yang terlahir dengan benjolan tumor, harus dicambuk di tempat yang sama, sedangkan jika benjolan itu tersentuh sedikit saja terasa amat sakit, apalagi jika dicambuk?!
Akan tetapi, tanpa memikirkan kondisiku, mereka menyuruhku berbaring tengkurap dengan baju terangkat sebatas dada. Aku hanya bisa menangis dan menjerit meminta tolong untuk lepas dari penyiksaan itu.
“Mama … sakit, Mah!" keluhku. "Dede sakit enggak kamu diobatin."
"Harus, Dek. Ini juga demi kebaikan dede," jawab Bapak. "Kan malu nanti diledeki anak-anak lain."
"Tapi sakit, hiks. Enggak kuat, perih."
Tidak tahan melihat penderitaanku, Mama pun membujuk Bapak, tapi gagal total. Malangnya, pengobatan itu tidak berhasil, aku masih mengompol sampai kelas tiga sekolah dasat.
Lalu, untuk trauma rasa sakit itu?
***
Meski terlahir dengan kondisi tubuh problematic, tapi aku tumbuh menjadi anak yang aktif. Saat Bapak mulai mengajariku tata cara sholat, aku semangat mempelajarinya, bahkan diberi hadiah mukena.
Oleh teman sekolahnya, Teh Hanna diajak mengaji ke Mushola, dan aku yang selalu ikut Mama menjemputnya merasa tertarik mengaji di sana saat melihat keseruan anak-anak bermain.
“Mama besok dede pengen ikut ngaji sama teteh ya," pintaku.
Tapi Mama menolaknya, karena usiaku masih balita lima tahun yang doyan mengemil bubur bayi dan susu formula.
“Jangan ya, Dek. Dede-kan masih kecil." Mama memberi pengertian. "Belajar ngajinya di rumah aja sama Mama."
“Enggak mau. Dede pengen sama teteh.”