Aku hanya bocah kecil berusia 6 tahun
Yang harus merasakan sakit teramat hebat
(Mega Kembar)
***
Januari-Mei 2006.
Menjelang masuk sekolah dasar, aku pun diajari menulis oleh Teh Hanna. Jika bisa memilih aku tidak mau diajari olehnya.
Teh Hanna mengajariku dengan sangat tegas. Sedikit-sedikit marah hingga membuatku menangis, tidak jarang kami malah bertengkar dan beradu pukulan serta cubitan.
Seperti sore itu saat Teh Hanna mengajariku menulis angka 2. Dia yang memiliki kesabaran setipis tisu langsung saja mengeluh.
“Ya Allah, Dek. Susah amat, sih. Sini ikutin cara yang teteh buat. Masa gitu aja nggak bisa?!"
Sungguh! Tipikal kakak yang galak, padahal di zamanku merupakan suatu keajaiban jika anak prasekolah bisa menulis angka 1 dan 0. Toh, kami hidup di kampung bukan di kota.
"Ya emang susah, Teh."
"Makanya belajar."
"Lah?! Kan ini juga lagi belajar."
"Ck! Jawab aja, sih. Ya udahlah nulis angka 1 sama 0 aja lima baris."
Tidak ingin berdebat, aku pun langsung mengerjakannya. Akan tetapi, saat menulis angka 0 yang baru setengah lingkaran, Teh Hanna menghentikan laju pensilku.
“Berhenti di sana, Dek!” perintahnya.
“Kenapa?” tanyaku kaget.
“Ini kasih garis di bawahnya lagi.”
Aku pun menuruti arahan itu, sehingga terciptalah tulisan yang menyerupai angka dua.
Dari sanalah, aku mulai belajar membuat angka tiga, empat, lima dan seterusnya dengan mengikuti trik tersebut. Aku pun mulai pertambahan dan pengurangan.
Namun, kecerdasan itu tidak ada artinya ketika takdir penyakitku mulai datang. Semua dimulai selepas pulang dari membeli bumbu cimol di Serang.
Mama menyuruh Bapak berhenti di tukang es buah yang ada di terotoar depan gedung RSUD. Saat menunggu pesanan itu jadi, Mama tiba-tiba berkata ...
“Suatu saat nanti, dede harus Mama bawa ke sini!”
Aku terperanjat. “Ngapain, Mah? Dede nggak mau! Takut disuntik.”
Yap! Aku memang paling anti dengan yang namanya jarum suntik. Bahkan saat Teh Hanna bercerita bahwa di sekolah ada suntik vaksin, aku mengatakan akan membolos.
Aku tidak menyadari bahwa Bapak pun pergi mencari informasi perihal pendaftaran ke RSUD. Itu karena perkataan dari mahasiswa yang pernah KKN di kampung kami beberapa bulan lalu31.
Mereka mengatakan untuk tidak menganggap remeh penyakit bawaan lahirku yang terlihat tidak biasa.
Tidak butuh waktu lama, aku pun dibawa berobat ke RSUD. Awalnya aku pikir hendak dibawa jalan-jalan, tapi kenyataan menampar kelak.
Aku harus menjalani pengobatan itu di usia 6 tahun. Mama mengatakan ingin melihatku sembuh sebelum sekolah tiba. Mama berharap aku bisa belajar dengan leluasa tanpa terbebani penyakitku.
Saat memasuki tempat pemeriksaan, Dokter yang bertugas memintaku berbaring di ranjang pesakitan. Bajuku pun tersibak di buka oleh sang dokter yang menekan-nekan pelan benjolan tumor itu.
“Sakit nggak?” tanyanya.
“Sakit banget, Dok.”
Bukannya mendapat penanganan, Dokter itu malah mengatakan hal ini pada Bapak.
“Maaf, Pak. Ini bukan penyakit. Ini hanya tanda lahir biasa, nggak berbahaya, kok.”
Jawaban yang di luar nalar. Jelas-jelas benjolan seukuran bakso yang menyerupai gumpalan otot daging itu selalu menjadi kendala dalam hidupku.