Skenario Tuhan (Gadis 12 Kali Operasi)

Mega Kembar
Chapter #10

Kecipirit Di Sekolah

Apa aku layak menjadi bahan tertawaan?!

Oleh kesalahan yang bukan atas kendali diriku?!

(Mega Kembar)

***

September-Oktober 2006.

Seharusnya kejahatan di bulan Ramadhan tidak pernah ada. Namun, hati manusia tidak ada yang bisa menebaknya, padahal aku sangat senang ketika menyambut Pesantren Kilat yang diadakan Sekolah.

Akan tetapi, baru beberapa hari berpuasa, Bapak mengalami musibah dengan ponselnya dicuri orang.

Bapak mungkin teledor menyimpan ponselnya di sembarang tempat. Yakni di sebuah meja kerja dekat jendela ruang kerjanya.

Pencuri tersebut menggunakan trik dengan bantuan peralatan seperti kayu dan kain yang diambilnya entah dari mana. Mereka kemudian mengambil ponsel Bapak melalui celah kaca jendela yang lebar.

Masalah tidak berhenti sampai di sana ketika 10 hari menjelang lebaran, Bapak mengabari tentang membeli kepala sapi yang di bazar Ramadhan, tapi Mama menolaknya karena uang yang ada akan dipakai mudik ke Bandung.

Orang tuaku sempat berdebat dengan saling berteriak, sampai Bapak yang kelepasan emosi melemparkan gelas kaca ke arah hidangan cemilan untuk berbuka puasa.

Aku terlonjak kaget, begitupun Teh Hanna. Mama sendiri memilih melarikan diri ke luar rumah diiringi teriakan keras Bapak.

“Tuh! Lihat, Dek?! Mama kamu bikin Bapak kesel. Apa Bapak harus cari Mama baru aja?!"

Aku sudah berusaha menahan tangis, tapi perkataan menusuk Bapak membuatku terluka.

Tapi tingkah Bapak semakin menjadi dengan mencicipi berbagai macam masakan Mama lalu melepehnya.

“Apaan nih?! Nggak enak. Mama kamu nggak bisa masak tuh, Dek. Nggak becus, jadi istri."

Padahal sebelum ini, Bapak tidak pernah bertindak kasar di depanku, bahkan ini kali pertama dia menghina masakan Mama, biasanya selalu minta tambah.

Beruntung selang beberapa lama, Bapak pun tersadar dan menyuruhku serta Teh Hanna untuk menikmati hidangan berbuka puasa.

"Bapak mau keluar sebentar. Dede dan teteh makan aja."

Setelah Bapak pergi keluar rumah, Teh Hanna langsung menyodorkan tangan kanannya padaku yang terkena serpihan beling.

“Dek lihat tangan teteh berdarah."

Dengan masih sesenggukan, aku melihat luka tersebut dengan tatapan nanar, masih syok akan pertengkaran kedua orang tua kami. Aku pun mengadu pada kakak perempuanku.

“Gimana ini, Teh? Mama ke mana?! Apa Mama kabur ke Bandung?”

"Nggak mungkinlah, Dek."

"Tapi Mama nggak ada di manapun."

Aku membalas dengan mengedarkan pandangan ke segala penjuru rumah. Aku ketakutan setengah mati.

“Kita harus gimana sekarang? Apa minta bantuan Oyot?” tanyaku.

“Jangan. Nanti Mama juga pulang, kok. Mungkin Mama ke warung dulu."

Benar saja, tidak berselang lama Mama pun pulang ke rumah melalui pintu dapur, bergegas aku memberondong dengan rentetan pertanyaan.

"Mama habis dari mana?!"

"Dari warung, Dek."

"Ih. Mama kok main pergi aja pas Bapak ngamuk. Itu teteh tangannya luka," keluhku.

Mama pun segera mengobatinya dengan obat merah. Belakangan aku tahu, bahwa Mama kembali berbohong. Aslinya dia bersembunyi di samping rumah dekat pohon manggis.

Mama bercerita padaku bahwa itulah trik jitu untuk menghadapi sifat Bapak yang meledak-ledak, yakni dengan meninggalkannya saat sedang mengamuk.

Lihat selengkapnya