Skenario Tuhan (Gadis 12 Kali Operasi)

Mega Kembar
Chapter #11

Bullying Ekor Monyet

Aku ini cacat, bukan berarti jahat

Kenapa menuduhku hal yang tidak aku lakukan?!

Serendah itulah aku di matamu?

(Mega Kembar)

***

Meski dirundung orang lain, tapi aku tetap menjadi kesayangan keluargaku.

Untuk menghiburku, Bapak pun membelikan satu set DVD lengkap dengan kaset CD lagu anak-anak, seperti burung kecilku, pinokio, cit cit cuit dan lainnya.

Tidak lupa, Bapak pun membelikan microphone agar aku bisa karokean di rumah. Di kampung, hanya baru aku yang memiliki perangkat tersebut, hingga membuat temanku kembali beremuk untuk bermain denganku.

Selain itu, sudah kukatakan aku adalah anak yang tak bisa tinggal diam. Ada saja kegiatan yang kulakukan bersama teman sekampung. Mulai dari naik pohon jambu, mengambil ikan mujair ke sawah sampai mencari kayu bakar. 

Seperti hari Minggu itu, aku membantu Mama dan Teh Hanna mencari kayu bakar di lahan orang yang sedang melakukan penebangan kayu besar-besaran.

Aku sangat semangat mengumpulkan ranting kayu itu. Atas kerja kerasku, Mama pun memberikan uang dua ribu rupiah untuk jajan.

Di lain waktu terkadang Mama yang suka membuat olahan dari singkong atau nasi sisa, selalu memberi pekerjaan untuk mengguntingnya pada anak-anak desa dengan upah 500 rupiah, aku pun terkadang membantu dengan meminta upah lebih besar dari mereka. 

Saat musim panen buah-buahan tiba, pohon petai Oyot Ijah berbuah sangat lebat, hingga sebagian buahnya diminta untuk dijual. Aku pun turut ikut jualan keliling kampung.

Akan tetapi, saat akan ikut berjualan ke Kampung Seberang, Afnah melatangku untuk ikut, dan meminta pulang lebih awal.

“Tapi dede pengen ikut sampai jualannya habis," kataku merengek.

“Jangan, Dek. Nanti Nde Juan marahin kami,” larang Afnah.

“Tapi teteh boleh ikut, kenapa dede nggak boleh?!” Aku menatap Teh Hanna yang berdiri di samping Melisah.

“Melisah juga seusia dede, kenapa dia boleh ikut? Dede doang yang nggak boleh.”

Mereka tak pernah menjawab pertanyaanku, justru hanya desakan dan paksaan yang kudapat. Aku pun berlari pulang mengadukan perlakuan mereka yang pilih kasih.

Siapa sangka, Mama akan menjawab, “Dede-kan ada penyakitnya, jadi nggak boleh capek-capek. Nanti sakit lagi."

"Tapikan kalau nggak kesenggol, nggak sakit."

"Iya, tapi kalau dede kecapean nanti sakit lagi."

Aku terdiam sejenak. "Mama, dede pengen hidup kayak teteh? Apa nggak boleh?”

“Boleh, kok. Nanti kalau dede udah sembuh, bebas ngapain aja.”

“Beneran, Mah?” tanyaku sumringah. “Berarti nanti main hujan juga boleh? Nggak akan dimarahi Bapak lagi?”

“Iya.”

Mama pembohong!

Di masa depan manapun, aku tidak pernah menemui kata sembuh, bahkan dititik saat aku menulis kisah inipun, aku masih menjadi pasien rawat jalan di rumah sakit.

Akan tetapi, aku tetap memegang janji untuk menjadi anak baik. Setiap uang saku lebih yang aku dapatkan, tidak semuanya ditabung melainkan membeli jajanan untuk Oyot Ijah.

Aku termasuk cucu yang dekat dengannya, hingga hampir setiap hari selalu menemani Oyot Ijah mengobrol di rumahnya, terkadang pun membantu mensisir rambutnya.

Saking dekatnya, Oyot Ijah pun selalu memujiku. "Anak Juan ini paling sayang sama Mak. Dia anak yang baik sering jajanin Mak."

Katakan! Apakah kebaikan itu tidak cukup untuk menyelamatkanku?!

***

Mei-Juni 2007.

Sore itu, ada pedagang mainan keliling yang lewat di depan rumah, merasa penasaran aku ikut melihat-lihat dan tertarik pada stiker boneka yang sangat lucu.

Aku pikir itu adalah kesempatanku, hingga dengan cepat aku berlari ke dalam rumah untuk meminta uang. Nahasnya, Mama tidak ada, aku pun berusaha mencarinya, tapi tidak ketemu. 

Di sisi lain, aku takut pedagangnya sudah pergi. Tanpa pikir panjang, aku bergegas ke tempat tiang dapur yang memiliki celah kecil, tempat biasa Mama menyimpan uang.

Beruntung ada uang pecahan seribu rupiah, aku pun mengambilnya tanpa meminta izin, dalam hati aku bertekad akan mengatakannya Mama pulang.

Aku pun berlari ke tempat pedagang mainan yang sudah pergi ke daerah jalan raya, aku pun menyusul ke perbatasan kampung seberang, dan berhasil membeli mainan tersebut.

Di perjalanan pulang, aku bertemu Alfi38 yang meminta diantarkan ke tukang jepit. Dengan penuh semangat, aku pun membantunya. Saat memilih mainan, tiba -tiba ...

“Ini darah apa, ya? Teh Hera tadi motong ayam di sini?”

Salah satu ibu-ibu yang merumpi di gardu menunjuk ke arah tanah yang terdapat genangan darah segar.

“Nggak, kok,” balas Teh Hera ikut melihat kearah yang sama.

“Terus ini darah apa?”

Mereka mencari asal darah tersebut yang ternyata bersumber dari jari telunjuk kaki kiriku yang terluka. Kulitnya terlihat koyak dengan kuku jari terselimuti noda merah.

Tolong! Jangan tanyakan apa penyebabnya, karena aku tidak tahu. Dugaanku mungkin terpentok batu saat berlari menelusuri jalan raya.

“Ya Allah, Neng. Itu kaki kamu berdarah, lho. Kok, bisa nggak nyadar?!"

Sontak semua orang termasuk Alfi dan pedagang mainan tersebut melihat ke arahku. Aku tidak suka arah tatapan mereka yang seakan menghakimi.

Lihat selengkapnya