Kenakalanku masih dalam batas wajar
Tapi hukuman yang kudapatkan tanpa belas kasih
(Mega Kembar)
***
Akan tetapi, di bulan Ramadhan masalah muncul dengan kemarahan Bapak yang mendapat kabar jika A Banyu bolos mengaji.
Selepas berbuka puasa, A Banyu yang sedang menonton televisi langsung dimarahi habis-habisan, bahkan Bapak pun dengan kasarnya mematikkan televisi tersebut.
Lantas, setelah puas mencerca A Banyu, Bapak pergi ke luar rumah untuk menenangkan diri. Bapak meninggalkan aku yang tetap menemani Aa Banyu yang sorot matanya memerah dan berkaca-kaca.
Mungkin kakak pertamaku itu ingin menangis, tapi malu karena ada aku. Justru akulah yang meneteskan air mata, A Banyu pun menenangkanku dengan menggendong ke kamar depan.
A Banyu malah mengajakku bermain. Memang saat perseteruan dengan Teh Hanna saja, Aa Banyu akan memisahkan kami dengan membawaku pergi, tidak jarang dia akan menciumi pipiku penuh kasih sayang.
Unyil ...
Itulah nama panggilan khususnya untukku. Entah apa artinya, mungkin karena dulu aku bertubuh kecil dan kerempeng.
Karena kejadian pertengkaran itu juga, Aa Banyu kembali ke Pondok lebih awal, bahkan saking padatnya kegiatan di sana, Aa Bayu pernah terjangkit penyakit tipes42.
Saat hari lebaran tiba, karena Nenek Mima tinggal di rumah kami, saudara Mama pun datang berkunjung.
Kami pun sempat berlibur menjelajahi tempat wisata Baduy. Namun, karena aku mudah lelah saat berjalan jauh, aku digendong oleh Mang Aiman.
Lihatlah! Bukankah aku anak kecil yang aktif??
Doc. Saat jalan-jalan ke Baduy
***
Menjelang bulan kesembilan, Mama mengajakku untuk pergi ke Pasar membeli perlengkapan bayi dan belanja keperluan selamatan.
Kami pergi ke toko furniture guna membeli lemari, tempat tidur, bak mandi, baju baru dan segala perlengkapan yang dibutuhkan adik baruku.
Saat berada di sana, aku melihat sebuah sepeda cantik berwarna biru dongker, aku menginginkannya.
Sontak aku teringat untuk menagih janji Bapak yang akan memberikanku hadiah karena kemarin mendapatkan juara satu.
“Dede pengen sepedanya, Mah," pintaku memelas."
“Ngapain, Dek?!" Mama ikut melirik ke arah sepeda yang menjadi incaranku.
“Pengen belajar sepeda. Temen-temen dede yang lain juga udah punya sepeda. Kan dede udah dapet Juara 1. Bapak bilang dede boleh minta hadiah."
Mama tidak langsung mengiyakan, dia bertanya pada si penjual. “Sepeda ini harga berapa, Pak?”
“400 ribu, Bu,” jawabnya.
“Nggak bisa kurang?” tawar Mama.
“Udah pas segitu, Bu.”
Tidak lama setelahnya, Bapak datang. Mama pun langsung mengutarakan keinginanku, Bapak pun bertanya, “Janji tapi sepeda-nya bakal dipake terus?! Dede janji bakal rajin belajar juga setelah ini? Nggak akan lupa waktu bermain.”
“Ya, Dede-kan setiap hari juga suka belajar, nanti dede janji dapet juara satu lagi, deh,” kataku yakin.
Itu bukan sekadar kata-kata manis, karena aku memang terbiasa membuka buku sepulang sekolah untuk langsung mengerjakan PR.
Tidak jarang, Mama pun mengomelku agar istirahat dulu. Namun, aku tetap kekeuh mengerjakannya dulu, bahkan aku tak meminta bantuan pada siapapun.
Mendengar janjiku, Bapak pun akhirnya setuju membelikanku sepeda tersebut. Aku sangat tak sabar untuk memamerkannya pada Teh Hanna dan juga teman-temanku.
***