Kematian itu terasa manis
Olehku yang terjerat penjara rumah sakit
(Mega Kembar)
***
Untuk merayakan keberhasilanku dan Teh Hanna yang mendapatkan juara di kelas 4. Bapak pun mengajak bertamasya ke tempat kolam renang.
Awalnya karena belum tahu titik lokasinya, Bapak hampir nyasar bablas menuju rute jalan Mandala. Bapak pun teringat perkataan Afnah yang pernah kesana bersama teman seangkatan kelas 6, bahwa tempatnya dekat makam.
Kami pun berhasil sampai di tempat tujuan. Aku dan Teh Hanna sangat bahagia karena bisa bermain air sepuas hati.
Kebahagianku tidak sampai di sana, karena Mama meminta berhenti di sebuah agen sembako untuk belanja.
Aku yang mengenali lokasi tersebut bersebrangan dengan Minimarket melimpir ke sana. Dengan berani aku berjalan lebih dulu dan dikuti Mama serta Teh Hanna, kami pun menghabiskan uang 300 ribu untuk jajan.
Bukan hanya itu saja, Bapak yang mengambil banyak gambar saat liburan di kolam renang mencetak dan membelikan album khusus keluarga, yang mana langsung kubawa bermain untuk dipamerkan pada teman-teman.
Katakan!
Apakah keangkuhan ini yang membuatku layak mendapat penderitaan?!
Kendati demikian, meskipun memiliki sifat jelek yang sering pamer, aku adalah anak yang murah hati.
Aku selalu memberi teman-temanku jajanan kue dan balon mainan, bahkan aku masih sering membagi susu sachet-ku pada mereka.
Selain itu, ada kabar gembira tentang kedatangan festival pameran malam yang akan di bangun di lapangan bola Kampung Seberang.
Nyaris setiap Malam Minggu, aku meminta Mama untuk pergi ke sana. Aku membeli banyak mainan termasuk topi untuk Tika.
Rezeki tersebut semakin mengalir deras ketika Bapak memutuskan untuk membeli motor baru dari hasil gajian perbulannya.
"Motornya mau warna apa, Dek?" tanya Bapak.
"Terserah Bapak aja, deh. Kan motor Bapak."
"Nggaklah. Motor dede. Bapak bakal beli sesuai sama yang Dede mau."
Yap! Begitulah sikap keluargaku padaku. Mereka selalu memanjakan diriku. Dulu kupikir itu terasa spesial, ternyata aku memang benar anak spesial.
Tidak berselang lama, dengan senyum ceria. Bapak datang kepadaku menunjukkan motor barunya.
“Lihat nih, Dek. Motor baru dede warna merah.”
“Iya, bagus banget seusai warna pilihan dede. Tapi motor yang hijau mau dikemanain, Pak?” tanyaku.
“Mau dikasih Aa Banyu kalau udah lulus SMK nanti."
Aku pun mengangguk mengerti, karena memang kala itu A Banyu sedang sibuk menjalani kegiatan PKL di kelas 2 SMK.
***
Agustus-September 2008.
Aktivitas harianku semakin sibuk ketika di kelas tiga ini, aku diizinkan untuk mengikuti upacara tujuh belas Agustus di lapangan bola.
Aku begitu antusias menyambut kegiatan tersebut, terlebih Bapak pun akan ada di sana sebagai perwakilan dari apparat desa.
Pagi-pagi sekali, kami sudah kumpul di Sekolah dan berangkat bersama ke lapangan dengan berjalan kaki, saking semangatnya aku pun tak lupa meminta uang lebih pada Mama.
Begitu sampai di sana, kami disuruh baris sesuai kelas masing-masing, yang ikut adalah dari kelas 3 sampai kelas 6. Sebelum upacara di mulai, panitia membagikan bendera kecil pada semua peserta yang hadir.
Upacara pun berjalan dengan khidmat sampai setelah pembacaan Naskah Proklamasi, panitia membunyikan gas motor sebagai isyarat tanda bunyi rudal peperangan juga kemenangan. Begitu mencapai puncak akhir, kami diminta untuk mengelilingi lapangan sambil mengibarkan bendera merah putih di tangan.