Andai aku tidak mendapatkan juara
Mungkinkah takdir hidupku akan berbeda
(Mega Kembar)
***
Januari-Februari 2009.
Sesudah acara 40 hari Oyot Ijah, Bapak merencanakan saweran syukuran Tika yang sudah bisa berjalan. Aku sangat semangat mengikutinya dengan menyebarkan informasi tersebut pada teman-teman. Namun, hanya kesediahan yang aku dapat.
Mama melarangku!
"Kenapa dede nggak boleh ikut, Mah?!" rengekku.
"Takut jatuh ke dorong-dorong, Dek."
"Nggak akan. Dede bakal hati-hati."
"Nggak gimana?! Dede nggak bisa ikut. Nanti punggungnya ke senggol. Sakit loh, Mama nggak tanggung jawab."
Aku pun terdiam. Di titik ini aku semakin merasa berbeda, kutatap anak-anak lain yang sudah berkumpul di depan rumah.
"Tapi kenapa cuman dede yang nggak bisa?! Yang lain ..." Aku berbalik menatap Mama. "... Nggak papa, tuh?!"
"Mereka-kan nggak punya uang jajan, sedangkan dede punya banyak. Ini ..." Mama menyodorkan uang pecahan lima ribuan dua lembar padaku yang terpaksa menerimanya dengan nanar.
Bukan uang yang aku inginkan melainkan keseruan rebutan bersama yang lain. Alhasil, aku hanya bisa menatap iri Teh Hanna, Melisah, Afnah dan Alfi yang bisa tertawa riang, sedangkan aku menjadi penonton.
Kendati demikian, masa kecilku dilalui dengan aktivitas yang padat. Di kelas 3 ini, aku akan berangkat sekolah dasar di pukul 06.30 WIB, dan akan pulang jam 12.00 siang.
Aku hanya mempunyai waktu istirahat 30 menit karena jam 12.30, aku harus bersiap mandi untuk berangkat Sekolah Agama dengan berjalan kaki.
Di jam 13.00, aku akan memulai pelajaran, lalu di jam 14.30 adalah waktu istirahat yang kuhabiskan dengan bermain dan jajan sampai pukul 15.00 pelajaran kedua dimulai.
Setelahnya pada jam 16.00 adalah waktu pulang. Biasanya aku sampai ke rumah di pukul 16.30 WIB.
Akan tetapi, kegiatanku belum berakhir ketika aku terbiasa janjian makan dan bermain bersama teman-teman sekampung sampai pukul 17.30 WIB.
Barulah Mama akan menjemputku untuk mandi dan berangkat mengaji setelah sholat Magrib pada pukul 18.30, dan baru selesai di jam 19.30 – 20.00 WIB46.
Aku baru akan tidur di pukul 21.00 WIB setelah menonton TV. Untuk itulah tak jarang aku ketiduran, sehingga harus digendong ke kamar oleh Bapak.
Lihatlah! Masa kecilku dipenuhi dengan petualangan menuju jalan kebaikan. Aku mendedikasikan waktu untuk mengejar ilmu. Lantas, kenapa di masa depan aku mengidap penyakit langka yang merenggut kebebasan itu?!
Apakah ini balasan untuk kebaikanku?!
Jika iya, apakah seharusnya aku menjadi anak nakal saja?!
"Ya Allah ... Apakah dede tidak cukup baik?!"
***
Maret – April 2009.
Menjelang maulid Nabi, aku lalui dengan menghadiri ceramah para Ustadz. Hari Minggu itu, Teh Hanna mengatakan jika dia tak akan mengikuti acara pawai47 motor di Kampung Seberang, tapi begitu aku bangun tidur siang, dia pergi bersama Melisah ke rumah Afnah.
Mereka meninggalkanku ...
"Ayolah, Mah. Biarin dede nyusul teteh," rengekku meminta pada Mama.
"Jauh, Dek. Kamu mau kesana pake apa? Masa jalan kaki?! Nanti capek."
"Ya udah dede pake sepeda aja."
"Jangan! Nanti ada apa-apa di jalan. Udah bareng sama Mama dan Bapak aja pas Magrib nanti."
"Ih. Kalau gitu mah dede nggak bakal ikutan pawai-nya."
Aku terus memaksa Mama agar mengizinkanku pergi, atas kekeras kepalaanku, Mama pun luluh dengan memberikan sebuah peringatan keras.
“Tapi ingat ya, Dek?! Dede hanya boleh membawa sepeda di pinggir jalan, kalau ada mobil besar harus berhenti dulu," nasehatnya.