Skenario Tuhan (Gadis 12 Kali Operasi)

Mega Kembar
Chapter #15

Awal Menjadi Cacat

Selama 20 tahun hidupku

Yang kuingat hanyalah dinginnya meja operasi

(Mega Kembar)

***

Kamis, 31 Januari 2010.

Yang kuinginkan hanyalah bersenang-senang. Aku ingin menikmati masa kecilku dengan mengukir sejuta kenangan tanpa perlu membatasi gerakan. 

Apa itu salah?!

“Bapak, mau ke pantai-nya kapan?!”

Aku menagih janji Bapak yang akan membawaku liburan ke Pantai Bagedur sebagai hadiah mendapat peringkat pertama di Kelas 4 Sekolah Dasar.

“Bentar, Dek. Bapak pastiin dulu ke temen bapak. Soalnya inikan gabungan sama petugas desa,” jawab Bapak sambil mengutak-atik ponsel jadulnya yang hanya memiliki satu camera belakang.

Aku cemberut. “Jangan lama-lama, Pak. Nanti keburu masuk sekolah lagi.”

“Iya.”

Seperti biasa, aku dikenal sebagai anak cerewet. Tidak sedikit pun penyakit benjolan di belakang tubuhku menjadi penghalang untuk aku tumbuh menjadi gadis kecil periang, ceria dan penuh semangat.

Aku pun masuk rumah dan bermain bersama Teh Hanna serta Tika. Namun, tidak lama setelahnya, Bapak datang dengan wajah muram.

“Dek, ke Pantai-nya nggak jadi.”

“Kok gitu? Kenapa, Pak?”

“Temen Bapak-nya ada kegiatan lain.”

“Terus? Kita nggak bakal liburan kemana-mana?” rengekku hampir menangis. Aku memang anak yang cengeng, ejekan temanku dulu adalah kebenaran bahwa aku anak mami.

“Mau gimana lagi, Dek?! Bapak-kan nggak maksain.”

“Tapi Bapak-kan udah janji.”

“Nanti lagi yah kapan-kapan.”

Setelah menginformasikan hal tersebut, Bapak pun pergi keluar rumah, sedangkan aku langsung masuk ke kamar dan membanting pintu di hadapan Mama dan Teh Hanna.

Aku berhambur ke sisi ranjang dan menangis sejadi-jadinya meratapi kekecewaanku sambil menggumamkan kalimat …

“Bapak pembohong! Kalau nggak bisa nepatin janji kenapa nyuruh dede Juara 1 terus?! Padahal dede udah rajin belajar. Sebel sama Bapak!”

Namun, aku adalah anak yang sangat keras kepala. Jika permintaanku tidak dituruti maka aku akan melakukan tindakan protes yang ekstrem dengan mengurung diri di kamar.

“Ayo, makan dulu, Dek. Ada ayam goreng kesukaan, dede loh.”

Mama duduk di sisi ranjang membujukku untuk makan, tapi aku menolaknya dengan gelengan.

“Kenapa nggak mau?” tanya Mama. “Kan dede belum makan dari pagi.”

“Biarin aja, Mah. Biar ayam gorengnya dihabisin Neng aja kalau Dede nggak mau,” sahut suara tengil menimpali.

Sontak aku pun berbalik menatap Teh Hanna yang berdiri di ambang pintu dengan pelototan sebal. 

“Teteh apa, sih?! Ribet banget, ah. Sana jangan ganggu dede.”

“Dih. Inikan kamar teteh juga.”

Aku mati kutu!

Karena apa yang dikatakan oleh Teh Hanna adalah kebenaran. Sejak kelahiran Tika, aku tidak lagi sekamar bersama Mama dan Bapak.

Di rumah kami pun hanya ada tiga kamar. Kamar belakang milik Bapak dan Mama, kamar depan milik A Banyu, dan kamar tengah milik aku dan Teh Hanna.

“Dede bakal terus mogok makan, Mah. Kalau permintaannya nggak dituruti.”

Penuturan Teh Hanna yang tepat sasaran membuatku kembali melotot memberikan peringatan padanya, tapi kakak keduaku itu malah menjulurkan lidah mengejek. Padahal aku merajukpun untuk kebaikan bersama agar kami bisa liburan.

Lihat selengkapnya