Skenario Tuhan (Gadis 12 Kali Operasi)

Mega Kembar
Chapter #16

Pengobatan Air Laut

Aku berusaha patuh pada orang tua

Tapi dampaknya hanya dirasakan olehku

(Mega Kembar)

***

Saat Bapak pulang ke rumah, Mama pun segera menceritakan luka di kakiku pada Bapak, dan jawabannya membuatku terkejut. 

“Pantes aja waktu Bapak cuci motor, di mesinnya ada darah kering gitu. Bapak pikir darah ayam yang ketabrak.”

Mama terdiam sejenak. “Terus sekarang gimana? Mau diobatin pake apa lukanya?”

“Biasanya kalau luka kegores diobatin pake obat merah,” jawab Bapak.

“Nggak ada.”

“Bentar, Bapak minta ke Abah dulu.”

Bapak pun bergegas pergi ke rumah Abah Arhani. Nahasnya, saat itu banyak tetangga yang nongkrong, sehingga kasus luka di kakiku pun tersebar sama seperti dulu.

Apakah itu sangat menarik?!

Bapak pulang dengan membawa informasi baru. “Mah, obat merahnya habis, tapi katanya kalau luka bakar pake pasta gigi.”

“Yang bener, Pak? Masa pake pasta gigi?” 

“Iya, anaknya Mang Anton kemarin kena knalpot dikasih pasta gigi langsung kering lukanya.” 

Bapak pun beranjak ke kamar mandi untuk mengambil pasta giginya, lalu menghampiriku yang sedang bermain bersama Tika.

“Ayo, Dek. Diobati dulu lukanya biar cepet sembuh,” kata Bapak.

“Bakal perih nggak, Pak?” tanyaku.

Aku membayangkan rasa sakit saat diobati olah Oyot Ijah dulu. Namun, di sisi lain pun, aku sedikit merasa santai karena teringat moment luka-lukaku sebelum ini.

“Sedikit. Sebentar doang. Nggak usah takut.”

Bapak mengoleskan pasta gigi itu disekitar luka bakar di kaki kiriku. Lalu, bertanya, “Sakit nggak, Dek?”

Aku menggeleng santai dengan senyum tipis. "Nggak, tuh. Nggak kerasa apa-apa.”

Kesalahanku adalah menganggap kelainan yang terjadi padaku, terjadi juga pada orang lain.

Aku terlalu menganggap santai luka tersebut, karena berpikir itupun akan sembuh seperti luka pertama sampai kelima dulu, bahkan Onikolisis53 yang terjadi padaku pun lebih dari 3 kali.

Dan semuanya selalu sembuh dengan sendirinya tanpa perlu menjalani pengobatan serius.

***

Sabtu, 09 Januari 2010.

“Katanya nggak jadi, Pak?!” tanyaku.

Malam itu, saat tengah mengobrol di teras rumah, Bapak memberitahu bahwa rencana pergi berlibur ke Pantai bersama aparat desa tidak batal.

“Dijadiin aja katanya, Dek. Nanti hari Minggu. Mau ikut nggak?” tanya Bapak.

“Mama juga ikut?” Aku balik bertanya sambil melihat ke arah Mama yang sedang bercanda ria dengan Teh Hanna dan Tika.

“Nggaklah! Nggak cukup motornya. Dede aja sama Teteh.”

“Tapi kemarin waktu jemput ke Rangkas cukup kok berlima.”

Bapak menghela nafas meladeni kecerewatanku. “Itukan pakai motor si hijau. Kalau ke arah perkotaan harus pake motor baru.”

“Yang merah itu?”

“Iya.”

“Oh, oke. Terus lukanya gimana?” Aku melirik pada telapak kaki kiri yang lukanya masih belum mengering.

“Dipakein handsaplas sama kaos kaki aja, Dek. Biar nggak kena debu,” usul Mama.

“Nah, itu akal-akalin aja,” sahut Bapak.

"..." Aku terdiam. 

“--Nanti juga sembuh sendiri lukanya, Dek. Biasanya juga gitu, kan?! Waktu dede belajar sepeda aja pernah baret cepet sembuhnya.”

Bapak menganggap enteng luka di kakiku, dan aku pun hanya bisa mempercayai kalimat tersebut dengan anggukan kepala. Toh, itu adalah kebenaran. Dan lagi aku ingin sekali berlibur ke Pantai.

Seharusnya aku tidak meremehkannya karena itu akan menjadi boomerang. Namun, aku hanyalah anak kecil berusia 10 tahun.

Apa yang bisa diharapkan darinya?!

***

Minggu, 10 Januari 2010.

Begitu adzan subuh berkumandang, Mama membangunkanku untuk bersiap-siap pergi liburan ke Pantai. 

“Mau bawa baju ganti, nggak?” tanyanya sambil menyisir rambut sepundakku yang sehabis dikeramas.

Lihat selengkapnya