Skenario Tuhan (Gadis 12 Kali Operasi)

Mega Kembar
Chapter #17

Pengobatan Klinik dan Ustadz

Aku tidak tahu bahwa luka yang ini akan berkembang

Kupikir akan sama seperti sebelumnya

(Mega Kembar)

***

Februari 2010.

Waktu terus berlalu. Namun, luka di kaki kiriku belum juga sembuh. Lukanya semakin basah dengan aroma anyir darah dan otot yang mulai membusuk. 

Diameter ukuran lukanya memang tidak terlalu besar, tetapi berlubang dan cukup dalam. Walaupun begitu, aku tetap tidak pernah merasakan sakit sedikitpun.

Aku memanggap semua baik-baik saja, yang berbeda hanyalah kenyataan jika aku harus mengurangi masa bermainku. 

“Kenapa dede nggak boleh main keluar rumah Mama?” rengekku.

“Habis hujan, tanahnya becek banyak lumpur,” jawab Mama sambil menyuapi Tika yang makan dengan belepotan. Sesekali adik bungsuku itu menawari.

“Teteh mamam enyak.”

Aku menggeleng masih melakukan aksi protes. “Apa hubungannya, Mah?! Yang pentingkan hujannya udah reda. Lagian dede main ke rumah Abah doang, kok.”

“Tetep nggak boleh. Main di sini aja sama Tika.”

“Kenapa, sih?!”

“Mama takut kaki dede lukanya makin parah kalau dipake jalan."

“Ya, nggak papa. Kan nanti bisa dibersihin pake air garem lagi.”

Kesalahan lain yang keluargaku lakukan adalah selalu menuruti saran tetangga untuk penanganan luka bakar.

Di mana itu selalu menggunakan metode kampung atau pepatah orang tua jaman dulu. Di tahun ini keluargaku masih awam tentang dunia medis. 

Mendengar jawaban tersebut, Mama pun mencubit hidung pesekku. “Kamu tuh bisa aja ngelesnya.”

“Yah, Mama. Jadi dede nggak boleh keluar, nih?”

“Jangan dulu! Nunggu sembuh aja, sabar.”

“Ih. Nggak adil! Teh Hanna malah dibolehin main sama Mama.”

“Teteh kamu nggak main, dia lagi belajar kelompok ke rumah Ella. Kan bentar lagi UN.”

"Ck! Teteh kenapa betah banget sih main sama dia?! Teh Ella-kan pernah nggak naik kelas 3 kali55, Mah!"

Sontak Mama pun menyentil pelan bibirku yang lemes, asal jeplak. "Ih, kamu tuh jangan ngomongin orang sembarangan. Nggak baik."

"Lah, kan kenyataan?! Temen sekelas Dede sering gosipin Teh Ella."

"Ya, kamu jangan ikutan dong."

Aku cemberut karena diomeli Mama, padahal sikapku bukan tanpa alasan. Aku tidak suka dengan tatapan Teh Ella, itu terkesan sinis dan memusuhiku.

Dia selalu memonopoli Teh Hanna. Saat kelas 6 ada acara membuat nasi tumpeng di rumahku saja, Teh Ella-lah yang melarang aku ikut gabung.

Ck! Aku benci padanya. Namun, aku akan selalu menjadi anak yang patuh pada perintah orang tua, aku pun hanya mengangguk mengiyakan nasehat Mama.

"Jadi ini dede beneran nggak boleh main, Mah?!" tanyaku masih mencoba bernegosiasi.

"Iya, nggak boleh."

Dengan menghentakkan kaki kelas, aku pun berlalu ke ruang televisi dan menonton di sana tanpa menyadari raut khawatir Mama akan kondisiku yang berbeda dari anak lain.

Sejatinya mereka yang memiliki luka akan memilih rebahan di kamar, karena terserang demam, namun aku tidak sedikitpun mengalami gejala tersebut.

***

Beberapa hari kemudian ….

Mama dan Bapak sepakat membawaku pergi berobat keluar rumah. Naifnya aku malah memanfaatkan situasi untuk meminta jajan sepuas hati. 

Aku benar-benar tak peduli dengan kondisi luka di kaki kiriku. Toh, saat kecil dulu ketika terluka itu akan sembuh dengan sendirinya tanpa perlu bersusah payah.

Ayolah, jangan menjudge-ku.

Lihat selengkapnya