Skenario Tuhan (Gadis 12 Kali Operasi)

Mega Kembar
Chapter #18

Firasat Kuat Anak Spesial

Keegoisanku bukan tanpa alasan

Tapi firasat itu membuatku tak tenang

(Mega Kembar)

***

Mei 2010.

Di Sekolah Dasar dihebohkan dengan berita perpisahan kelas 6 yang rencananya setelah beres Ujian Nasional akan berlibur ke tempat wisata kolam renang di Paneglang.

Disebabkan jumlah siswa yang kurang dari 30 orang, para guru pun mengajak murid lain dari kelas 1 sampai 5 termasuk kelasku juga.

Mereka yang ingin ikut harus membayar biaya perjalanan dan makan sebesar 50 ribu rupiah. Di tahun 2010 nominal tersebut cukup besar sehingga tidak ada adik kelas yang ikut, terlebih mereka pun takut mengganggu acara perpisahan kelas 6. 

Toh, nanti ketika di jenjang tingkat yang sama, mereka bisa berlibur juga dengan angkatannya sendiri. Namun, hal tersebut tidak berlaku untukku. Aku merasa tidak tenang, dan ingin ikut sesegera mungkin.

Firasatku selalu kuat ...

"Ngapain ikut sih, Dek?! Nanti aja bareng temen sekelas kamu," protes Teh Hanna.

"Nggak mau. Dede maunya sekarang bareng teteh," jawabku kekeuh.

"Ck! Nanti kalau dijahilin temen teteh gimana?! Mau nangis lagi kayak kemarin?" tanyanya.

Aku terdiam sejenak, mengingat moment saat teman perempuan Teh Hanna membuatku menangis oleh tudingan dan cercaan mereka.

Akan tetapi, itu berasal dari kesalahanku. Aku telah berbuat nakal dengan mengikuti arahan Dirga dan Alfi untuk meneriaki kakak senior dengan sebutan 'Mbek' saat naik mobil pick up.

"Nggak bakalan, kan dede udah minta maaf," cetusku.

"Iya, tahu. Tapikan ada temen cowok teteh, nanti dede digangguin sama mereka."

"Kan ada teteh yang jagain."

"Huh?!"

Teh Hanna hanya bisa mengembuskan nafas panjang begitu menanggapi kekeraskepalaanku. Aku sendiri tetap berada di jalur memaksa.

Akhirnya, Teh Hanna mengizinkanku ikut, bahkan aku pun dipinjami uang 50 ribu rupiah dari hasil tabungannya di sekolah, yang hanya berjumlah di bawah angka 300 ribu.

“Awas, loh. Nanti pas dede dibagiin tabungan juga ganti ya uang teteh,” peringat Teh Hanna.

“Iya, tenang aja. Kan uang tabungan dede sekarang udah hampir 600 ribu pasti kebayar, kok,” jawabku santai.

Menjelang liburan tersebut, Mama mengajakku untuk pergi membeli sendal baru di tempat orang tua Rio. Aku memilih sendal slop merah yang nantinya akan sangat kusesali.

Saking antusiasnya aku menyambut hari esok, aku tidak bisa tidur. Selepas pulang mengaji, aku langsung menyiapkan perbekalan seperti baju ganti, sisir, peralatan mandi dan lainnya.

Aku baru bisa tidur menjelang tengan malam, itupun karena dipaksa oleh Teh Hanna yang terganggu dengan kebisinganku di tempat tidur.

“Udah tidur dulu, Dek. Nantikan harus bangun subuh. Kalau susah bangun bakal teteh tinggalin,” ancamnya.

Aku pun terlelap. Rencananya besok kami akan pergi ke sekolah dan menunggu jemputan. Di pagi hari, aku langsung terbangun oleh bisikan Mama yang menyuruhku bersiap untuk ke kolam renang.

Secara bergantian, aku dan Teh Hanna mandi kemudian memakai baju yang telah disiapkan sebelumnya. Untuk jalan-jalan kali ini kami melepaskan jilbab yang biasa dipakai ke sekolah karena nanti akan ikut berenang.

 Hanya butuh waktu beberapa menit untuk kami menunggu di Sekolah, karena tepat jam 7 kurang ada mobil elf yang datang menjemput.

Di sana sudah ada beberapa teman Teh Hanna yang menempati kursi bagian depan. Dengan beralasan suka mabuk, aku meminta duduk di kursi paling belakang dekat jendela bersama kakakku.

Di Kampung Seberang, kami harus berhenti untuk mengecek beberapa hal. Aku yang tengah melihat keluar dikejutkan dengan sapaan seorang siswa, Kak Satria.

“Widih, siapa ini?! Perasaan di kelas kita nggak ada modelan kayak gini, deh?!" ujarnya sambil mengamati wajahku.

“Itu Mega, adiknya si Hanna. Dia-kan ikut juga," jawab Kak Arifin57.

"Oh. Di liat-liat cakep juga, ya?! Imut gitu," puji Kak Satria tertawa renyah.

Kak Arifin terlihat canggung, dia melirikku sekilas dengan senyum kecil.

"Nggak usah nyari perkara. Bapaknya galak, loh."

"Ya, kan ngajak temenan doang." Kak Satria menatapku meminta persetujuan. "Iya nggak, Dek?!"

“Udah! Jangan ganggu,” sela Teh Hanna judes. “Diem aja, Dek. Jangan diladenin, kalau ngajak ngobrol nggak usah dibales.”

"Galak banget si Hanna."

"Nggak peduli."

"Dede sama teteh aja sini!"

Teh Hanna menarik pundakku lebih dekat padanya, agar tidak lagi bertengger di sisi jendela.

“Lho, udah gede kok masih dipanggil dede?!” komentar Kak Satria yang membuatku sedih.

Memang apa yang salah dengan panggilan tersebut?!

Aku suka, kok. Aku pikir itu tanda sayang mereka padaku.

Lihat selengkapnya