Skenario Tuhan (Gadis 12 Kali Operasi)

Mega Kembar
Chapter #20

Operasi Kesatu

Aku pikir tidak akan ada operasi kedua

Nyatanya sampai dua belas kali

(Mega Kembar)

***

Meski sudah tiga kali bolak-balik berobat ke Puskesmas, tapi luka di kaki kiriku tak kunjung membaik. 

Area lukanya malah semakin melebar dengan bau busuk menguar. Tidak ada pilihan lain, Bapak pun meminta rujukan dari Puskesmas ke Rumah Sakit. 

Selama masa menunggu, Bapak telah banyak mencari informasi seputar pendaftaran ke rumah sakit. 

Selasa, 22 November 2010.

Setelah mendapatkan surat rujukan, kami langsung berangkat ke lokasi tujuan. 

Dengan bantuan satpam, Bapak pun mengurus pendaftaran, sedangkan Mama, Aku dan Tika menunggu di kursi tunggu. 

Bukannya merasakan takut atau apa, aku malah memanfaatkan situasi tersebut untuk jajan banyak hal, karena aku pikir jenis pemeriksaannya akan sama seperti di Klinik.

Setelah berkas pendaftaran selesai, kami diminta menunggu di depan ruang pemeriksaan. 

Begitu tiba giliranku diperiksa, barulah Mama dan Bapak bertukar posisi dengan Bapak yang menjaga Tika, sedangkan Mama masuk ke ruangan poli bedah.

Asisten Perawat pun mulai menanyakan segala keluhanku yang dijawab oleh Mama. Lantas, setelahnya dia membawa kami ke ruang Dokter Bedah, sebut saja Dokter Yones. 

Dokter Yones pun menyuruhku untuk berbaring di kasur pemeriksaan, dia mulai melihat luka menganga di kaki kiriku dan memberikan vonis.

“Bu, Putri Ibu kakinya terkena infeksi. Jadi kita harus melakukan tindakan operasi kecil untuk membuang struktur jaringan yang membusuk.”

“Operasi, Dok?" tanya Mama.

"Iya, Bu."

"Apa tidak ada pilihan pengobatan lain?! Kalau bisa jangan di operasi. Saya takut anak saya kenapa-napa, Dok."

“Tidak ada, Bu. Itu satu-satunya jalan. Ibu tidak usah khawatir, kami akan melakukan sesuai prosedur di rumah sakit ini. Justru kalau tidak di operasi bisa bahaya, Bu."

"Bahaya kenapa, Dok?!"

"Infeksinya dikhawatirkan bisa menyebar ke jaringan lain."

Mama pun terdiam, dan Dokter Yones menambahkan. "Kalau ibu setuju, nanti kami kasih surat pengantar untuk mengurus rawat inap.” 

Setelah berkata demikian, Asisten Perawat membawa kami ke meja document. Dialah yang menjelaskan secara rinci perihal keputusan Dokter Bedah.

“Nanti dede-nya harus nginep di sini sampai operasi selesai,” kata Asisten Perawat.

Mendengarnya aku tertegun, segera begitu sampai di luar aku langsung protes pada Mama.

“Dede nggak mau nginep di sini, Mah. Dede mau pulang aja, takut.”

“Nggak papa, Dek. Mama temenin di sini, kok. Katanya mau sembuhkan?!” 

Sekali lagi, aku hanya bisa mematuhi perintah Mama. Setelah mengobrol singkat dengan Bapak, kami bertanya tentang ruang rontgen yang oleh satpam diarahkan ke gedung bertingkat. 

Setelah memberikan berkasnya, aku pun diminta berbaring di ranjang putih dengan lampu menyorot terang.

Begitu selesai, aku di arahkan ke laboratorium untuk mengambil sampel darah guna memeriksa kondisi kadar gula, hemoglobin dan data lainnya. 

Aku berusaha menahan tangis saat pergelangan tanganku di suntik, bahkan telinga sebelah kiri pun ikut dijepret dengan alat yang berbentuk seperti staples.

Penderitaanku masih berlanjut ketika sampai di ruang rawat inap, aku harus merasakan suntikan jarum infus. Akan tetapi, pikiran bocahku justru malah pamer pada Mama. 

“Lihat, Mah! Dede diinfus sama kayak yang di televisi." 

Mama hanya menanggapi ocehanku dengan senyum paksa terlihat tidak tulus, tentu saja dia pasti gugup anaknya harus menjalani perawatan rumah sakit.

Bapak pun pamit pulang untuk membawa baju ganti dan perlengkapan lainnya. Dia juga harus memberi kabar pada orang-orang di rumah, kebetulan saat itu terjadi keluarga Bi Citra sudah pulang ke Bandung.

Di rumah lama hanya tinggal Teh Hanna dan Nenek Mima. Karena kekurangan orang, Mang Aiman yang menganggur di kota ditarik ke rumahku untuk membantu Aa Banyu menjaga warung.

Aku pun dijadwalkan menjalani Operasi Pertama di hari Jumat.

***

Jum'at, 25 November 2010.

Selama menunggu jadwal Operasi tiba, tidak henti-hentinya aku meminta jajan banyak hal pada Mama.

Makanan rumah sakit yang tak enak membuatku hanya ingin makanan warteg dari luar. 

Selain itu, aku selalu dibuat kesakitan dengan obat antibiotik dan vitamin yang secara berkala disuntikan ke selang infusan.

Tidak jarang, aku yang tak bisa diam, membuat darah naik ke selang infusan dan menjadi mampet tidak berjalan lagi. 

Saat selang tersebut diperbaiki oleh diperbaiki oleh Suster terasa sangat perih. Para Perawat dan Suster yang bertugas membenarkan selalu itu dengan menariknya kuat.

Aku merasa urat darah inipun ikut tertarik. Sisi baiknya, aku tidak mengalami banyak kendala apapun, bahkan di hari pertama dan kedua dirawat aku sempat mandi ke kamar mandi. 

Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Dengan didorong menggunakan kasur perawatan aku ditemani Mama dan Bapak pergi ke Ruang Operasi bersama dua perawat ruangan.

Setelahnya Suster yang mendampingiku mengambil satu stel pakaian serba hijau dan memintaku turun dari ranjang. Aku dibimbing untuk duduk di salah satu kursi yang setelah disediakan.

Satu-persatu pakaianku dibuka dan digantikan dengan baju hijau yang terasa kasar di kulit. Lalu, perawat wanita itu pergi keluar dan meninggalkanku bersama para pasien lain. Kami menunggu panggilan Dokter Ruang Operasi.

Sungguh, aku merasa asing dan tertekan. Bagaimanapun aku hanyalah bocah 10 tahun yang tidak pernah jauh dari pengawasan keluarga.

Lihat selengkapnya