Skenario Tuhan (Gadis 12 Kali Operasi)

Mega Kembar
Chapter #21

Penyakit Bawaan Lahir

Dejavu Terulang itu bukan kesalahanku

Tapi aku dipaksa untuk menerimanya

(Mega Kembar)

***

“Jangan dipegang, Dok. Sakit!"

Aku meringis saat Dokter Syaraf memegang dan menekan benjolan penyakitku selepas Mama selesai bercerita tentang masa lalu.

“Oh, sakit, ya? Kalau nggak dipegang. Sakit, nggak?” tanyanya.

"Nggak, Dok. Tapi kalau kesenggol sakit banget,” keluhku.

Beberapa kali teman sekolah dasarku dengan iseng selalu menepuk benjolan tersebut. Pina sekalipun pernah melakukannya saat aku menulis di depan papan tulis. Itu terjadi sebelum dia tahu aku punya penyakit.

“Udah pernah diperiksa, Bu?" tanya Dokter Syaraf pada Mama.

"Udah, Dok. Waktu usia Dede 3 bulan pernah dibawa ke RSUD Serang,” cerita Mama. “Tapi waktu itu nggak bisa dilakukan tindakan medis apapun. Soalnya kondisi dedenya masih bayi belum sanggup di Operasi.”

“Hm, kalau sekarang. Udah pernah diperiksa lagi?"

“Belum, Dok. Rencananya setelah beres Operasi ini mau diperiksa lagi. Kira-kira bisa ditangani di sini nggak?”

Jawaban Mama membuatku terkejut setengah mati. Bukan aku tidak ingin sembuh, pasalnya tidak ada rundingan dulu denganku. 

“Bagus, Bu. Coba nanti setelah dede-nya pulih total konsultasikan ini ke Dokter Bedah Syaraf, ya?”

"Apa bisa disembuhkan di sini, Dok? Soalnya saya dengar dari para tetangga katanya harus Operasi ke Cipto aja."

“Coba nanti Ibu konsultasikan sama ahlinya saja. Berdoa semoga peralatan di rumah sakit ini memandai untuk menyembuhkan penyakit putri Ibu.”

Mama pun mengangguk mengiyakan dan segera membenahi pakaianku setelah para Dokter pergi untuk visit pasien lain. Aku pun merajuk dengan embun menggenang di pelupuk mata.

“Mama, kok, nggak bilang sama dede dulu? Dede cuman mau dioperasi kakinya aja. Bukan mau dioperasi ini juga.”

Mendengar protesanku, helaan napas terdengar dari Mama yang tersenyum dan membalas, “Nggak papa. Mama cuman mau konsultasi aja sedikit."

"Dede nggak mau dioperasi lagi, Mah. Operasinya emang nggak sakit, tapi obat suntikannya sakit banget. Dede nggak mau.”

“…” Mama terdiam.

“Kenapa yang sakit cuman dede, Mah? Apa Allah nggak sayang sama dede? Dede-kan udah jadi anak baik.”

Setelah berkata demikian, aku membalikan badan membelakangi Mama dan menangis sesenggukan. 

Tuhan ...

Aku hanya bocah berusia 10 tahun.

***

Minggu, 29 November 2010.

Dulu peraturan rumah sakit tidak seperti sekarang, jika belum lepas jahitan atau sembuh benar, kami tidak diizinkan pulang.

Oleh sebab itu, ulang tahun Tika yang ketiga harus dirayakan di rumah sakit. Subuh-subuh sekali dengan menaiki becak, Mama dan Tika pergi ke pasar untuk membeli kue ulang tahun.

Dengan memakai baju Princess, kami pun menyanyikan lagu ulang tahun untuk Tika, bahkan para perawat yang kebetulan masuk mengucapkan selamat juga, bahkan Mama pun membagikan kue ulang tahunnya pada pasien lain.

Kebetulan di alun-alun kota depan rumah sakit, ada festival pameran. Bapak pun pernah membelikan kaset dvd Kisah Perjalanan Hidup Nabi Muhammad SAW, yang menjadi tontonan favoritku.

Karena adanya hiburan inilah setiap aku tidur siang, Tika kerap kali mengajak Mama main kesana, karena jika aku terjaga aku akan melarangnya.

Aku tidak suka sendirian ...

Untuk itu selepas dzuhur, Tika selalu mengecek apakah aku sudah tidur atau belum, kadang ketika aku masih terjaga, Tika akan memaksaku tidur siang.

“Teh Mega ayo cepet bobo, dong.” 

“Emang mau ngapain nyuruh teteh tidur terus, sih?! Orang nggak ngantuk juga.”

Yap! Memang adik durjana. Dibalik musibahku yang bolak-balik ke Rumah Sakit, Tika justru memanfaatkannya untuk jalan-jalan.

ITULAH SAAT RUMAH SAKIT MENJADI RUMAH KEDUA.

***

Desember 2010.

Meski kondisiku sudah stabil, tetapi aku masih belum diizinkan untuk pulang, padahal aku sudah muak dengan segala jenis suntik obat yang membuat tanganku kebas, parahnya sering sekali suntikan tersebut dilakukan menjelang tengah malam. 

Aku sangat kesal ketika sedang lelapnya tidur dan bermimpi indah, tepukan di tangan membangunkan tidurku. Suster masuk ke ruanganku dengan membawa alat suntikan dan obat lainnya.

“Dek, bangun. Disuntik dulu, ya?!” 

Aku berpikir, kenapa tidak disuntik ketika aku tidur saja, tak perlu repot-repot membangunkanku dulu, sebab setelahnya aku akan sulit tidur lagi. Namun, seiring bertambahnya usia aku mengerti bahwa itulah standar kesehatan yang berlaku.

Kamis, 02 Desember 2010.

Lihat selengkapnya