Skenario Tuhan (Gadis 12 Kali Operasi)

Mega Kembar
Chapter #22

Operasi Kedua (Gagal)

Andai aku tidak menjalani operasi besar itu

Apakah kisah hidupku akan berbeda

(Mega Kembar)

***

Seperti yang sudah dijadwalkan Dokter Agus, tepat pada hari Kamis aku pergi ke rumah sakit yang berada di daerah Paneglang.

Setelah mengurus pendaftaran dan surat-surat pemberkasan, aku menunggu Dokter Agus datang. Selang beberapa jam, dia pun datang dan menggiringku ke Ruang Scanner. muncul dan langsung menggiringku ke Ruang CT Scan.

Hal pertama yang kurasakan adalah takut ...

Aku disuruh masuk sendirian tanpa Mama ataupun Bapak, hanya ditemani suster yang memintaku melepaskan semua perhiasan dan bajuku, lalu membalut tubuhku menggunakan kain khusus dari alat scanner.

Aku disuruh jangan bergerak sedikitpun dan dimasukan ke dalam satu alat berbentuk tabung dengan lampu-lampu dan tombol asing sekitar 30 menit sampai proses scan-pun selesai.

Setelahnya, kami disuruh menunggu di kursi depan Rumah Sakit. Dokter Agus pun menjelaskan bahwa hasilnya akan diterima kurang lebih Minggu depan saat konsultasi berikutnya.

Begitu tiba waktunya, Dokter Agus memperlihatkan hasil scaning bagian otak dan tulang belakangku. Dia memberi kabar baik bahwa penyakitku tidak sampai melilit syaraf, hingga bisa dilakukan tindakan Operasi Pembedahan

Proses Operasiku kali ini berjalan sangat alot. Banyak hal yang menjadi bahan pertimbangan, termasuk perihal masalah usiaku yang dibilang cukup riskan untuk melakukan Operasi Besar.

Aku pun diarahkan konsultasi menemui Dokter Anak. Kembali kami harus meminta rujukan dari Puskesmas dengan kategori poli berbeda.

Seakan tidak jera untuk mengujiku. Setelah Dokter Spesialis Anak menyetujui Operasi Besar tersebut, aku diminta berkonsultasi kembali dengan Dokter Bedah yang menangani kasus kaki kiriku.

Infeksi yang kembali menyerang membuatku harus menjalani tindakan Operasi di waktu bersamaan.

Setelah semuanya mencapai kesepakatan, aku diharuskan berkonsultasi lagi ke bagian Dokter Syaraf. Itu semua disebabkan percakapan Mama dan Dokter Agus mengenai efek samping dari penyakit bawaan lahirku.

“Dokter, inikan kaki kiri Dede mati rasa. Apa ini bisa jadi efek samping dari Tumor Ganasnya, Dok?" tanya Mama.

“Lho, emangnya mati rasa, Bu?" Dokter Agus malah balik bertanya dengan mimik wajah terkejut.

"Iya, Dok. Waktu Dede masih bayi, saya pernah bawa periksa ke rumah sakit Serang. Waktu itu Dokternya bilang gini ..."

"__Kalau misalkan anak ibu ada kelainan di kakinya dalam artian mungkin tidak bisa berjalan. Ibu jangan kaget. Ini bisa jadi bawaan dari penyakit yang diderita putri Ibu,” tutur Mama.

Dokter Agus menyimak dalam diam, begitupun aku yang selalu tertarik dengan topik masa lalu.

"Terus emang bener kejadian, Dok. Dede ini baru bisa jalan menginjak usia 2,5 tahun," tuturnya.

“Yang benar, Bu?”

“Iya, Dok. Waktu itu saya pikir Dede bakal lumpuh, tapi Alhamdulillah ternyata Dede bisa jalan meski terlambat dari anak lain."

Aku tertegun melihat senyum tulus di raut wajah Mama. Kulihat wajah Dokter Agus pun dipenuhi keresahan, dia lalu menyarankan konsultasi ke Dokter Syaraf untuk memastikan adanya kelainan tersebut.

Lalu, atas kesepakatan semua Dokter yang terlibat, aku diperiksa ke bagian Biomed. Anehnya mereka tidak memberitahuku hasil apa yang didapat.

Kenapa aku tidak boleh tahu?!

***

Mei 2011.

Setelah melakukan serangkaian tes dan konsultasi yang menguras pikiran, waktu dan tenaga. Akhirnya aku kembali dirawat di ruangan sama seperti saat operasi pertama.

Aku dijadwalkan akan melakukan dua pembedahan sekaligus. Yang pertama, operasi pengangkatan tumor, dan kedua adalah operasi kecil untuk membuang otot yang terinfeksi kuman.

Hari Rabu, aku kembali digiring menjalani operasi dan memakai baju hijau yang menjadi ciri khas ruangan tersebut.

Seperti sebelumnya, aku ditemani oleh Mama. Usiaku yang baru menginjak umur 11 tahun saat bulan Januari kemarin masih tergolong anak kecil.

Meski sudah pernah menjalankan Operasi, tetap saja ketakutkan itu masih membayang. Apalagi saat ingatan memutar pembicaraanku dengan Dokter Agus sebelum ini.

"Dokter. Apa benar kalau tumornya dicabut dede bakal jadi orang bodoh?" tanyaku.

Perkataan para warga di Kampung yang menyebarkan informasi tersebut membuatku ketakutan setengah mati. Aku tidak mau jika saat tumorku diangkat itu akan berefek buruk pada fungsi otakku.

“Dede nanti nggak bisa jadi juara satu lagi, dong?” lanjutku polos.

 "Kata siapa, Dek?" tanya Dokter Agus."

"Kata tetangga dede."

"Itu nggak benar ya, Dek. Semuanya bohong. Justru kalau Adek sembuh. Adek bisa nyetak prestasi yang jauh lebih hebat lagi dari sekarang."

Jawaban melegakan itu membuaku mengukir senyum manis. Aku tidak sabar menantikan keajaiban itu datang padaku.

Lihat selengkapnya