Skenario Tuhan (Gadis 12 Kali Operasi)

Mega Kembar
Chapter #27

Mama Di Operasi

Di saat Mama membutuhkanku

Kenapa aku tidak bisa menolongnya?

(Mega Kembar)

***

Keesokan harinya, setelah Mama dan Bapak serta Tika kembali ke ruang rawat inapku, Aa Banyu dan Teh Hanna pamit pulang.

Mama pun mulai mengurus berkas perawatan. Sore hari, Mama mulai diinfus sama sepertiku. Aku hanya bisa menatap Mama yang terbaring di ranjang pesakitan sebelahku.

Kenapa takdir seakan mempermainkan kami?!

Mama dijadwalkan operasi pada hari Selasa di siang hari. Bapak yang tak mau menunggu sendirian di ruang operasi meminta izin pulang ke rumah untuk meminta bantuan kerabat lain.

Bapak pun datang bersama tetangga warung Aa Banyu, sebut saja dia Nde Ruslan.

Ketika keduanya sedang mengopi di luar teras ruanganku, tiba-tiba saja perawat mengabarkan jika Mama akan segera menjalani tindakan Operasi.

Ranjang pesakitan Mama pun didorong keluar, sehingga aku hanya bisa meminta bantuan pada Tika yang masih berusia 4,5 tahun untuk mengabari Bapak.

Tika pun berlari cepat ke tempat Bapak, karena tumbuh besar di rumah sakit, adikku itu jadi hapal kawasan tersebut. Tiba di depan Bapak, dengan suara cadelnya Tika pun mengabarkan berita tersebut.

“Bapak! Mama dibawa kecana.”

Mendengarnya Bapak dan Nde Ruslan bergegas menyusul ke ruang operasi setelah mengambil selimut ke ruanganku. Bapak pun menitipkan sebuah pesan.

“Doain Mama ya, Dek. Supaya operasinya berjalan lancar.”

Aku hanya bisa mengangguk. Setelah kepergian Bapak, aku menangis seorang diri di dalam ruangan.

Aku merasa sesak sekali ...

Beruntung ada suster yang mengetahui jika keluargaku tengah sibuk mengurus Mama, dia menyempatkan diri menemaniku. Namun, itu hanya berlaku sebentar saja karena suster pun harus kembali bertugas.

Tidak lama setelahnya, Bi Citra menelpon untuk menanyakan perihal kebenaran penyakit Mama.

Bi Citra sangat terkejut ketika mendengar kabar tersebut dari Aa Banyu, sehingga memutuskan langsung menghubungiku.

Aku memintanya untuk mendoakan Mama. Bi Citra pun meminta maaf karena tak bisa menjenguk. 

Operasi pun selesai menjelang Magrib. Aku melihat Mama didorong kembali ke ruanganku dengan posisi masih tertidur lemas.

Di belakang telinga kirinya tertempel perban besar yang disekelilingnya diplester bening. Aku sedih melihatnya, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Meski demikian, aku sangat bersyukur karena operasinya berjalan lancar.

Berbeda dengan reaksi Tika yang melihat takut-takut ke arah Mama. Adikku itu bahkan menghindar untuk duduk di ranjangku dan tak mau mendekat pada Mama.

Sambil menunjuk Mama, Bapak berkata, “Itu Mama. Sana ke Mama, Dek!”

Tika menggeleng. “Bukan! Itu bukan Mama.”

Tika mungkin berpikir demikian karena penampilan Mama yang sekitar rambut bagian kiri di potong habis hingga nyaris botak, sehingga dia tak mengenalinya.

Aku tertawa miris. “Itu Mama, Tika. Mama kita.”

Akan tetapi, Tika tetap kekeuh ingin bersamaku saja sampai akhirnya Bapak menggendongnya ke ranjang Mama. Aku sangat iri padanya yang bisa duduk di samping Mama.

Aku ingin ke sana juga tetapi kondisiku tak memungkinkan. Kemudian datang Suster menyuntikkan antibiotik di pergelangan tangan Mama. Mereka pun menandainya dengan spidol untuk mengecek reaksi alergi. 

Hari pun berakhir dengan baik. Sebelum Adzan subuh, Bapak harus pergi untuk mengantarkan Nde Ruslan pulang sekaligus mengambil pakaian ganti karena Mama tidak bisa mencuci, Bapak bahkan mengajak Tika ikut.

“Ayo, Tika ikut Bapak aja. Kan di sini nanti sama siapa? Kalau makan susah nggak ada yang ngurusin,” kata Bapak.

Tika tidak menjawab, justru dia mengalihkan pandangan menatapku. Terlihat dari sorot mata itu penuh harapan permohonan agar tetap tinggal di Rumah Sakit.

“Iya, Tika ikut pulang dulu aja sama Bapak. Nanti siang ke sini lagi," bujukku.

Tika pun akhirnya ikut bersama Bapak. Ketika ada petugas makanan mengantarkan sarapan, dia bertanya kemana yang menjaga.

Aku pun menjawab bahwa Bapak harus pulang dulu. Mereka pun tak berkata apapun. Akan tetapi, masalah muncul saat Mama mulai merasakan efek samping obat bius. 

Mama muntah-muntah di kamar mandi dan mengatakan ingin meminum teh manis, tetapi aku tak bisa membuatkannya karena kebetulan luka di kakiku tidak diperban dan hanya menggunakan plester hingga rentan terbuka.

Beruntung setelah merasa lebih baik, bisa menyeduh teh manis sendiri. Kemudian datang petugas pengganti perban yang mulai merawat luka di kaki kiri.

Kali ini mereka membalutnya dengan perban, sehingga aku bisa bebas beranjak ke ranjang kasur Mama untuk menemaninya. 

Setelah jam besuk pertama dibuka, kami kedatangan Teh Andin yang menjenguk, tetapi Mama menolak kehadirannya dengan mengatakan kalimat pedas.

“Teh Mais butuh saudara itu kemarin waktu di Ruang Operasi, bukannya udah kayak gini baru datang. Kalau sekarang percuma, buat apa ke sini juga udah nggak dibutuhin.”

Saking kesalnya, Mama sampai tidur membelakangi Teh Andin, dia tidak lagi berbicara apapun, sehingga membuatku merasa serba salah sendiri.

Beruntung setelahnya Teh Andin memilih pamit pulang, dia bahkan memberikan uang saku 20 ribu padaku. Lalu, datang Bapak dan Tika. Namun, kejadian mengesalkan tidak berhenti di sana.

Ketika Bapak berada di kamar mandi datang rombongan Kepala Desa ke ruanganku. Kupikir mereka akan menjenguk diriku, ternyata menanyakan pasien lain dari Kampung Seberang.

Dengan setengah hati, aku menunjuk ruangan kelas 3. Sungguh, pencitraan yang menjijikan, padahal aku pun dari desa yang sama, tetapi dilewati. 

Aku pun memilih fokus pada pengobatanku dan Mama. Namun, karena operasi Mama termasuk dalam jenis kecil, di hari kelima sudah dibolehkan pulang, justru akulah yang harus menetap lebih lama lagi.

Lihat selengkapnya