Untuk apa aku dilahirkan
Jika tidak bisa berbuat apapun
(Mega Kembar)
***
Juni 2012.
Entah ini jawaban dari doaku atau apa karena tepat di acara kenaikan dan kelulusan, kondisiku semakin memburuk, bahkan untuk duduk saja rasanya sulit.
Akan tetapi, Mama memaksaku bangun dan bersiap mandi untuk melihat pertunjukkan tersebut di bangku panjang depan warung.
Seperti biasa dengan senyum jenaka, Aa Banyu memberikan tantangan, “Dek kalau kamu bisa juara kesatu nanti Aa kasih uang hadiah 100 ribu.”
“Oke. Janji, ya?! Jangan sampai ingkar, lho. Nanti dede tagih,” balasku.
“Siapa takut?!”
Bukan tanpa alasan aku bersikap penuh percaya diri. Itu karena beberapa Minggu lalu ada satu kejadian yang membuatku senang.
Di mana aku yang baru saja tiba di lingkungan Sekolah Dasar dikejutkan dengan panggilan dari Bapak Kepala Sekolah, sebut saja dia Pak Beni.
Pak Beni sedang menempelkan selembar kertas di Mading, lalu melambaikan tangan ke arahku. “Neng kemari! Ayo, lihat hasil nilai Ujian Nasional kemarin.”
Bergegas aku pun menghampirinya dan melihat daftar nilai tersebut yang tercantum namaku beserta murid kelas 6 yang lain. Itu bukan hanya nilai satu mata pelajaran, tetapi ada ketiganya yang diujikan.
Mulai dari Matematika, IPA dan Indonesia. Namun, yang membuatku tertegun adalah kenyataan jika nilaiku jauh lebih tinggi dari Davi yang rata-rata berada diangka 6.
“Wah, nilai kamu yang paling tinggi di sini, Mega. Kamu satu-satunya orang yang dapet nilai 8. Pasti ranking pertama, nih. Selamat, ya,” kata Pak Beni.
Aku tak kuasa menahan senyum. Setelah Pak Beni masuk ke dalam kantor, aku pun berlalu pergi untuk menginformasikan perihal daftar nilai tersebut pada teman-temanku.
Aku menemui mereka di tempat tukang jepit. Dengan berpura-pura bersikap biasa, aku berkata, “Itu di Mading Sekolah nilai ujian kita udah keluar.”
“Hah? Yang bener?!” tanya Intia.
“Beneran si Davi yang nilainya tinggi bukan kamu, Meg?” sahut Ratna.
“Hm. Lihat aja sendiri.”
"Yuk! Ke kantor."
Aku ikut beranjak ketika teman-temanku pergi ke lokasi tempat mading berada. Begitu tiba di sana sudah ramai dengan siswa kelas 6 lain, termasuk juga Pak Yulian.
Mereka fokus melihat selembar kertas itu, sehingga membuat Intia dan Ratna yang dilanda penasaran berlari mendekat. Aku yang sudah melihatnya lebih dulu hanya mengikuti dengan berjalan biasa.
Sebagai pemegang nilai tertinggi ketiga, Arkan berkata, “Lho, Pak. Katanya nilai Davi paling tinggi? Tapi dibandingin sama saya aja jauh.”
“Iya, nih. Yang dapet nilai 8 justru cuman Mega doang,” sahut Pandi.
“Iya ya. Sepertinya Bapak salah informasi, deh,” balas Pak Yulian.
Aku sendiri membalasnya dengan senyum maklum. Meski agak badmood juga ketika sebelumnya Davi sempat membanggakan prestasinya di depanku.
Pada akhirnya itulah yang menjadi alasan aku berani menerima tantangan Aa Banyu. Aku sudah lebih dulu tahu siapa pemegang gelar peringkat pertama di kelas 6.
Aku memilih diam saja, akan sangat mengejutkan jika Aa Banyu sendiri yang mendengar kenyataan tersebut. Sayangnya saat itu terjadi, Aa Banyu ada urusan di luar rumah.
Sekali lagi nama “Siti Mega Meliani” digaungkan ketika pembacaan juara pertama untuk kategori akademic.
Aku yang tak bisa menghadiri acara kelulusan itu, hanya bisa menatap moment tersebut dikejauhan, bahkan yang mengambil hadiahku ke atas panggung adalah Bapak.
Guru pun mengatakan, “Karena Siti Mega Meliani berhalangan hadir karena sakit, jadi diwakilkan saja sama Bapaknya.”
Aku pun hanya bisa menjadi penonton ketika teman-temanku mempersembahkan penampilan menyanyi lagu perpisahan dan pertunjukan adat pernikahan.
Sungguh! Saat di kelas 1-3, aku selalu menanti hari ini datang, tetapi ketika itu tiba, aku tak diizinkan mengikutinya karena penyakit ini.
Aku hanya bisa menangis dalam diam, berharap semuanya cepat berakhir.
Setelah Aa Banyu tiba di warung, aku langsung menagih uang hadiah tersebut dengan menodongkan telapak tangan padanya.
“Mana uang 100 ribunya, A? Dede tadi udah dapet Juara 1.”
“Ngarang aja. Bohong, ya?! Masa jarang sekolah bisa dapet juara?!” balas Aa Banyu terkekeh dengan senyum tengil andalannya.
“Dih, nggak percayaan. Bener tahu dede Juara 1. Tanya aja sama Mama.”
“Emang bener. Mah?” tanya Aa Banyu pada Mama.
“Iya, Dede depat Juara 1,” jawab Mama membenarkan.
Tidak lama setelahnya, Bapak datang sambil membawa hadiah dari Sekolah. Dengan heboh Bapak memamerkan kemenangan tersebut pada Aa Banyu.
“Tuhkan Dede bilang apa? Dede nggak bohong, tahu?!” ucapku tersenyum miring pada Aa Bayu yang mengambil uang seratus ribu dan memberikannya padaku.
Aa Banyu mengira aku yang jarang belajar di Sekolah tidak akan bisa mengejar ketertinggalan pelajaran. Namun, aku bisa membuktikan kecerdasan dan kemampuanku sendiri.
Akan tetapi, setelahnya aku kembali hancur ketika tak bisa melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren.
Mama malah memintaku masuk ke sekolah MTs dekat rumah dan tidak mengizinkan sekolah ke SMP tempat Teh Hanna menuntut ilmu.
Mama beralasan jika jauh tak akan bisa terpantau. Mama takut terjadi sesuatu hal buruk padaku.
Entah itu, kakiku berdarah atau hal lain. Jika Sekolah dekat rumah akan mudah menjemputku pulang, bahkan Mama sempat memintaku menunda setahun65.
***
Juli 2012.
Mungkin bagi Mama, aku yang sekolah di dekat rumah adalah keputusan bijak. Hal terbaik yang bisa diambil mengingat kondisiku sangat lemah.
Akan tetapi, Mama tidaklah mengetahui bahwa hatiku sangat terluka dengan keputusan tersebut.
Kekecewaanku memuncak melihat murid lain menjalankan masa orientasi siswa (MOS). Mereka menggunakan astribut badut dan pernak-pernik lainnya.