Skenario Tuhan (Gadis 12 Kali Operasi)

Mega Kembar
Chapter #29

Pengobatan Saat Mudik

Menyedihkan sekali

Saat acara mudik yang harusnya ajang bersilaturahmi

Aku terjebak pengobatan

(Mega Kembar)

***

Agustus 2012.

Saat hari lebaran tiba, keluargaku pun mudik ke Bandung. Disebabkan harus menunggu rombongan Kerabat dari Sukabumi.

Akhirnya acara untuk menembok makam Nenek Mima harus ditunda. Sebagai gantinya hari pertama di Bandung dihabiskan oleh Mama dengan pergi pasar membeli bahan makanan.

Aku merengek ingin ikut. “Dede ikut, ya?! Kan mau foto sama kuda.”

“Nanti aja, Dek. Itu pas kita sekalian naik delman. Sekarang Mama sama Bi Citra mau belanjanya naik motor. Kita-kan masih lama di sini. Dede main dulu aja sama teteh,” jawab Mama memberi alasan.

“Yaudah, deh. Dede nitip rujak aja kalau ada, ya?!” pintaku.

“Mana ada, Dek."

“Beli buah apa aja yang bisa dirujak.”

Mama mengiyakan dan pergi belanja bersama Bi Citra serta Tika, sedangkan aku bermain bersama sepupuku yang lain.

“Emang di sini ada jajanan apa aja?!" tanyaku pada Neng Pit66. "Dede mau jajan."

“Itu di warung bawah ada yang jual batagor, siomay, bakso, gorengan sama Pop Ice. Jajanan warungan kayak di tempat Aa Banyu aja,” ucap Neng Pit. 

Aku pun mengajak Teh Hanna dan Neng Pit jajan ke warung bawah rumah, setelah selesai aku pun pulang dan melihat Aa Banyu sedang mengobrol bersama teman-teman kecilnya.

“Lihat, Teh! A Banyu ngerokok,” bisik Neng Pit.

Aku pun menatapnya sekilas dan mencibir. “Ih, Aa ngerokok aja malah batuk-batuk.”

Setelah berkomentar demikian, aku berlalu ke samping rumah untuk kembali bermain.

Tidak lama setelahnya, Mama pun pulang membawa belanjaan termasuk buah nanas pesananku.

“Dek buah rujak yang lain nggak ada. Adanya nanas, nggak papa ya?”

Aku mengangguk. Mama pun melanjutkan, “Kalau udah dikupas mau makan sama apa? Sama sambel? Nanti Mama bikinin.”

“Nggak. Mau makannya sama garam dan cabe aja,” balasku.

Melihatku tengah menyemil buah asam tersebut, salah satu kerabat menegur, “Ya ampun, Mais. Kenapa Dede dibiarin makan nanas muda gitu?! Nanti sakit perut, lho?!”

“Emang biasanya juga makan itu, kok,” jawab Mama santai. “Dede jarang mau makan nasi. Sehari-harinya makan buah doang.”

“Nggak pake sambel?! Makannya gitu doang garem sama cabe?!”

“Iya, adain ini aja udah anteng Dede, mah.”

Yap! Sejak sering bolak-balik ke rumah sakit, jajanan rujak adalah makanan favoritku. Rasa asamnya itu selalu mengantarkan energi semangat yang tak terjabarkan.

Ini menjadi healing tersendiri untukku.

***

Sore hari, kami menghabiskan waktu dengan mengobrol bersama para kerabat. Mulai dari prestasi di Sekolah, usaha Aa Banyu, pernikahan Mang Aiman sampai topik terkait rencana liburan di Bandung.

Anak-anak menyarankan ke waterbom. “Di sana bagus banget. Bisa berenang terus banyak wahana permainannya juga.”

“Ada permainan kereta gantung kayak di Ancol gitu?” tanya Teh Hanna.

“Iya, ada. Pokoknya banyak wahana menantang adrenalin,” jawab Pak Ivan67.

“Ayo, kita pergi kesana aja, Dek!” ajak Teh Hanna padaku dengan antusias.

“Nggak, ah. Capek kalau jalan-jalan ke tempat kayak gitu. Nanti dede di sana ngeliatin doang,” ujarku.

“Dari parkiran ke lokasi bermain, jalannya agak jauh. Kalau gitu yang kesana, biar Teh Hanna sama Aa Banyu aja. Dede tetep di rumah sama yang lain,” sahut Pak Ivan.

Komentar tersebut membuatku sakit hati. Mungkin memang niatnya becanda dan hanya menggodaku saja, tetapi usiaku yang masih sangat belia tak akan memahaminya.

Aku pun merengek pada Mama. “Dede nggak mau main ke tempat kayak gitu. Kata Bapak yang harus nentuin tempat wisatanya dede biar dede bisa ikut main. Iyakan, Mah?!”

Untuk tahun ini, Bapak memang tidak ikut mudik ke Bandung, karena dapat jadwal piket jaga di Kecamatan dan di Desa.

“Iya, bener. Urusan tempat rekreasi yang penting nyaman buat Dede. Kalau dedenya nggak bisa ikut, Mama mending nggak pergi juga. Silakan aja yang lain ke sana sendiri,” tegas Mama.

“Tapi Neng Hanna mau ke waterbom, kan?” tanya Pak Ivan.

“Nggak. Kalau Dede nggak ikut, Neng juga nggak,” jawab Teh Anna.

"Wah, berarti semuanya diatur sama dede, ya?!"

"Iya, dong."

Salahkah aku membalas kalimat menyakitkan mereka dengan kesombongan?!

***

Keesokan harinya, seperti rencana yang sudah disusun jauh-jauh hari, kami pun pergi ke makam Nenek Mima yang tengah dalam proses penembokan oleh Mang Afnan, Mang Aiman dan lainnya.

Biaya pengerjaan tersebut dari hasil iuran semua anak Nenek Mima, apalagi Mama menyumbang dana dua kali lipat untuk sekalian menembok makam A Megi.

Kegiatan menembok makam tersebut baru selesai menjelang Dzuhur. Setelahnya, kami berdoa dengan dipimpin Mang Arhan.

Aku pun menyempatkan diri mengunjungi makam A Megi. Namun, aku hanya mengusapnya sekilas dan tak mengatakan apapun.

Kenyataan jika aku rindu pun, dia tak pernah datang dalam mimpi. 

Saat air mataku terjatuh, aku segera menghapusnya sebelum ketahuan menangis oleh Mama.

Rasa sesak itu tak terlukiskan. Banyak sekali hal yang ingin aku curahkan, tapi bibirku seakan terkunci.

Lihat selengkapnya