Skenario Tuhan (Gadis 12 Kali Operasi)

Mega Kembar
Chapter #30

Bullying di Sekolah

Apakah tidak cukup dengan satu kesakitan saja?!

Kenapa aku pun harus mendapat penghakiman dunia?

(Mega Kembar)

***

Oktober 2012.

Hari pertama masuk Sekolah membuatku sangat gugup. Aku takut tidak kebagian tempat duduk, tetapi Aa Banyu menyakinkan jika hal tersebut sudah diatasi.

Bahkan kakak sulungku itu telah menitipkanku pada Pak Julian yang merupakan teman satu SMP-nya di dulu, yang sekarang menjadi guruku di MTs.

Aku pergi ke Sekolah diantarkan Mama serta Aa Banyu. Mama pun menitipkan diriku pada guru-guru di sana dan mengatakan agar memaklumi keterbatasanku yang tak bisa mengikuti kegiatan fisik di Sekolah.

Ketika bel masuk berbunyi, aku diarahkan ke dalam kelas. Di sana sudah ada satu bangku di bagian depan dekat pintu masuk yang disiapkan untukku. 

Aku memang meminta posisi bagian depan agar saat mengumpulkan buku nanti tidak terlalu jauh berjalannya.

Semula semua berakhir baik-baik saja, tetapi beberapa hari kemudian kecerdasanku terbongkar dan mereka mulai memandang sinis.

Aku yang merupakan lulusan Sekolah Dasar, tentu lebih unggul dalam mata pelajaran umum. 

Akan tetapi, aku yang pernah mengenyam bangku Sekolah Agama pun tidak buta akan pelajaran berbasis Arab. Aku berhasil mendapat nilai sempurna di kedua bidang tersebut.

Mulai dari Al-Qur’an Hadis dengan nilai 8, Bahasa Inggris dengan A+, nilai tertinggi di mata pelajaran Indonesia dan Matematika.

Akan tetapi, hal itu tidak mengundang kebaikan. Teman-teman sekelas justru bersikap dingin padaku.

Apa salah anak cacat memiliki kecerdasan tinggi?

Apa itu aib yang seharusnya tak kumiliki?

Sedangkan di sisi lain hanya prestasi inilah yang kupunya untuk membanggakan nama orang tuaku.

Aku semakin terpuruk ketika teman-teman di Sekolah Dasar dulu ikut menjauhiku. Aku tidak memiliki teman lagi, aku hanya sendirian di sana. 

Itulah saat sekolah menjadi Neraka Dunia untukku.

 Jujur, aku tak ingin datang lagi, tetapi melihat senyum Mama saat melihatku berangkat Sekolah membuatku mengurungkan niat untuk mengadu.

Aku selalu diam, bahkan ketika bullying tersebut mulai melukai fisikku, aku tetap menutup mulut rapat-rapat.

Semua dimulai di jam istirahat, aku terbiasa membawa jajanan dari rumah, sebab tidak ada yang menawariku bantuan membelikan makanan di Kantin, aku harus melakukan segala hal seorang diri.

Akan tetapi, aku tetap bersikap baik pada mereka. Jika mereka bertanya, aku akan menjawabnya.

Saat mereka membutuhkan uang, aku pun tak segan meminjamkan. Namun, balasan yang kudapat hanyalah perundungan yang kian memuncak.

Untuk menghabiskan waktu istirahat, aku biasa mencoret-coret di buku tulis. Aku mulai menorehkan kalimat dengan membubuhkan nama belahan jiwaku.

Sesekali membayangkan jika seandainya kami hidup bersama. Mungkin aku tak akan pernah merasa kesepian di Sekolah.

Dia akan selalu menemani, bukan?

Aku pun mulai menyalahkan atas ketidakhadirannya. Dalam hati melirih, “Hei, A Megi. Kenapa tidak mengajakku pergi? Aku tidak mau tinggal sendiri di sini. Aku merindukanmu.”

Terkadang pun aku bertanya, “Kenapa meninggalkanku?! Apa kamu membenciku? Kenapa kita tidak bisa hidup bersama?”

Duhai Belahan Jiwaku ….

Dalam torehan tinta biru

Aku mendamba kehadiranmu

Ketika asyik membangun cerita dalam dunia khayalan, tiga siswi yang duduk di kursi belakang merebut bukuku. Sebut saja Tina, Hema dan Juhna.

Dengan tidak tahu sopan santun, mereka berniat membaca curahan hatiku. Dengan cepat aku merebut kembali buku tersebut dan langsung merobek kertas tadi. 

Hal itu menuai tatapan tajam dari ketiganya, Tina pun menyindir, “Biasa aja, Dong. Heboh banget sikapnya. Emang surat cinta buat siapa, sih?”

“Bukan urusan kamu,” ketusku.

Aku tidak pernah mengganggu mereka, tapi kenapa mereka mengusik duniaku?!

“Pelit banget. Buat siapa tadi?!” tanya Tina dengan nada menjengkelkan.

Aku terdiam enggan menjawab pertanyaan mereka dan memilih sibuk mengamati ke luar kelas ketika para siswa sedang bermain bola.

Tina dan kedua temannya pun duduk kembali di kursi mereka. Kupikir gangguan itu akan berakhir dengan pasifnya tanggapan, tetapi ternyata mereka tidak jera.

“Tadi suratnya buat Megi, ya? Siapa dia? Pacar kamu?”

Tina tersenyum culas.

Jujur aku tak suka mendengar nama belahan jiwaku disebut oleh orang yang menebarkan aura permusuhan padaku.

“Wah, kamu ini ternyata punya pacar juga,” goda Hema.

 “Apa, sih? Itu nama kakak kembar aku,” elakku.

“Lho, kamu punya kembaran?” kaget Juhna.

“Iya, cowok,” jawabku.

“Terus sekarang di mana? Nggak sekolah di sini juga?” tanya Tina.

“… Dia udah meninggal waktu bayi.”

 Setelahnya obrolan mereka mulai melantur dengan mengatakan jika terlahir sebagai anak kembar parental non identik, salah satunya tidak akan bertahan.

Kalaupun hidup akan menjadi idiot. Kupingku panas mendengarnya, tetapi tak bisa menegur mereka.

Aku membiarkan semua berlalu tanpa pembalasan.

 Akan tetapi, perundungan terus berlanjut. Di mana Tina The Genk mulai bersikap usil.

Mereka menendang-nenang kursi tempatku duduk, terkadang juga memukul-mukul bagian belakang tubuhku sambil tertawa mengejek.

“Hahaha, pantatnya gede banget. Gendut mirip balon.”

Saat aku berbalik untuk menegur, mereka pura-pura tidak melakukan apa-apa. Mereka justru meledekku dengan mengatakan kalimat pedas.

“Apa, sih? Ngelindur kali kamu. Orang kita diem aja. Dih, kegeeran banget.”

Aku pun memilih fokus pada pembelajaran, sebab tidak jarang mereka menjahiliku saat KBM berlangsung.

Beberapa kali tulisanku tergores oleh tendangan mereka. Namun, keterdiamanku membuat mereka semakin beringas sampai Hera yang merupakan teman sebangku Davi di Sekolah Dasar dulu menegur.

“Berhenti nendang-nendang Mega kayak gitu. Nanti kalau kena ke Penyakit Bawaan Lahirnya kalian mau tanggung jawab?!”

Hera sepertinya belum mendengar kabar bahwa penyakit tersebut telah diangkat setahun lalu. Meski begitu, aku senang dengan pembelaannya.

Namun, Tina The Genk mengelak dengan mengatakan jika mereka hanya menendang bangkunya saja. Akan tetapi, meski mengetahui riwayat penyakitku, mereka tetap melanjutkan rundungan. 

Itu terjadi ketika aku hendak keluar kelas untuk nongkrong di samping ruang kantor, Dirga menghadang langkahku.

Lihat selengkapnya