Skenario Tuhan (Gadis 12 Kali Operasi)

Mega Kembar
Chapter #31

Operasi Keenam

Aku hanya ingin hidup seperti saat kecil dulu

Kenapa tidak bisa?!

(Mega Kembar)

***

Januari 2013.

Melihatku tersiksa oleh penyakit infeksi ini, Mama pun memilih menentang perintah Bapak dengan membawaku berobat ke Rumah Sakit lagi.

Untuk kesekian kalinya, aku menjalani rangkaian tes kesehatan menjelang Operasi Keenam.

Peristiwa yang terus terjadi berulang-ulang nyatanya tidak membuatku terbiasa. Dalam hati pun bertanya, kapan ini berakhir?!

Tapi tidak kutemukan jawaban itu. Meski operasi infeksiku berjalan sangat lancar, perbedaan sikap Bapak sangatlah mencolok.

Bapak yang semula selalu bersikap ramah pada petugas medis, kini menyebarkan aura sinis.

Seperti saat visit dokter, Bapak mengeluh banyak hal pada Dokter Yones.

“Kaki putri saya seperti ini gara-gara tindakan Anda yang asal mencabut tulang di kakinya.”

“Dokter melakukan itu sesuai prosedur, Pak. Kalau tulang yang menonjol tidak disingkarkan nanti akan membusuk merusak ke jaringan lain,” bela dokter ruangan, sedangkan Dokter Yones sendiri hanya terdiam.

“Ngawur. Tidak ada sejarahnya tulang akan membusuk, Dok,” amuk Bapak. “Mayat yang sudah terkubur bertahun-tahun saja kalau digali tulangnya masih utuh. Struktur tulangkan kuat.”

Mereka semua terdiam membiarkan Bapak mengemukakan pendapatnya, Bapak pun kembali menuding.

“Andai, tulangnya nggak dicabut. Mungkin anak saya masih bisa berjalan normal.”

Bapak terus mengatakan banyak hal, sehingga membuat Mama yang merasa tak enak hati pada petugas medis menarik tangannya.

“Sudah, Pak. Malu dilihat orang. Jangan marah terus. Inikan kita lagi berusaha menyembuhkan Dede.”

Setelahnya, Bapak memilih pergi keluar ruang rawatku untuk menenangkan diri, sedangkan Mama mendapat teguran dari Dokter Ruangan akan perlakuan tak sopan Bapak yang memarahi Dokter Spesialis tersebut.

Di mana mereka sudah berusaha keras dalam mengobati diriku. Mama sendiri hanya bisa meminta maaf dengan mengatakan agar mereka mau memahami sifat Bapak yang keras.

Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Entah orang tuaku terlibat pertengkaran atau tidak, sebab tak berselang lama sikap Bapak mulai berubah.

Bapak menjadi sering keluar rumah dan baru pulang di tengah malam. Bapak tidak lagi memiliki kesempatan untuk sekadar mengantarkan aku cek up ke Rumah Sakit.

Merasa penasaran, aku pun bertanya pada Mama. “Bapak kemana, Mah? Kok, sekarang jarang di rumah? Apa Bapak ikut pelatihan lagi di Anyer?”

Mama menggeleng. “Nggak, Dek. Bapak akhir-akhir ini sibuk kuliah.”

“Lho?! Bapak kuliah sama kayak Aa?! Tapi buat apa, Mah? Bapak-kan udah tua."

“Iya, Bapak kuliah naikin golongan PNS-nya biar gajinya tambah gede.”

Aku hanya berOh ria mendengarnya tanpa menyadari raut wajah Mama yang terlihat kalut.

Toh, bukan hal baru lagi Bapak akan pergi keluar daerah selama beberapa hari untuk melakukan pelatihan kerja dari pemerintahan.

Tidak jarang saat pulang pun, Bapak akan menghubungiku untuk menanyakan ingin dibelikan oleh-oleh apa. Biasanya aku menitip es krim, bakso, dan jajanan dari swalayan.

Tidak pernah terpikirkan sedikitpun bahwa Bapak akan mengkhianati cinta Mama. Karena yang aku tahu, Bapak tengah bekerja keras untuk mencukupi biaya pengobatanku.

Tapi ternyata bahtera yang kukira sangat kokoh itu sedang diujung tanduk, dan semuanya karena diriku.

Memang anak pembawa sial, kan?

***

Februari-Maret 2013.

Selepas aku diperbolehkan pulang setelah menjalani perawatan pasca operasi, yang menungguku hanyalah kabar buruk lain.

Sungguh! Apakah orang cacat sepertiku itu menjijikkan?

Kenapa dunia menjauh seakan aku ini parasit?!

Aku tak pernah tahu alasannya. Entah mereka bersikap risih? Takut? Atau segan?! Yang pasti kehidupan sekolahku tidak berakhir lebih baik, semuanya tetap sama penuh dengan kesendirian.

Semua dimulai dengan keputusan Melisah untuk berhenti sekolah, dia memilih bekerja di kota menjadi asisten rumah tangga.

Aku ingin sekali memintanya tetap tinggal menemaniku, tapi aku tidak punya kuasa untuk menahannya, terlebih orang tuanya lebih setuju dia mencari uang.

Kendati demikian aku tetap senang ketika pembagian rapot di bulan Desember lalu, aku keluar sebagai Ranking Ketiga di kelas.

Aku tidak menyangka akan mendapatknnya, sebab selama sekolah di MTs pun aku jarang mengikuti KBM.

Biasanya aku hanya sekolah 3-5 hari saja, tidak pernah full Seminggu. Ditambah kepeditan teman-temanku dalam meminjamkan buku cacatan membuatku banyak tertinggal materi pelajaran.

Akan tetapi, nyatanya aku tetap berhasil membuat kedua orang tuaku bangga akan prestasiku.

Aku bisa membuktikan bahwa dibalik kecacatan ini, aku pun memiliki kemampuan normal seperti anak lain.

Lihat selengkapnya