Andai bukan aku yang hidup
Mungkinkah kisah kakak kembarku lebih baik?!
(Mega Kembar)
***
Juni 2013.
Ujian Akhir Semester pun tiba. Meskipun para guru memberi kelonggaran, bahwa aku bisa mengerjakan ujian di rumah dengan dibimbing guru pengawas.
Aku menolak tegas gagasan tersebut, aku tetap ingin mengerjakannya di Sekolah.
Ini bukan tentang keegoisan. Namun, aku takut rasa iri hati dan ketidaksukaan teman sekelas semakin memuncak.
"Kamu nggak papa, Unyil?!
Seperti biasa, aku pun dijemput oleh Aa Banyu. Setelah turun dari motor, Aa Banyu mempapahku sampai ke Gubuk Rumah.
Dibiarkannya aku duduk menyandar di tembok seraya mengatur napas yang tak beraturan.
Selalu saja aku merasa lelah jika mengayunkan kaki, padahal aku hanya berjalan sebentar, tapi rasanya seperti habis maraton puluhan kilometer.
Tidak lupa Aa Banyu juga memberikanku minuman dingin yang diambil dari warung. Aku menjawab dengan senyuman.
“Dede nggak papa, A.”
Entah, aku tengah berbohong pada siapa?! Sebab sejatinya, aku dapat melihat raut wajah Aa Banyu dipenuhi kecemasan dan kekalutan bagai awan mendung.
Siapa yang mau percaya?! Jika melihat orang yang ditanya jauh dari kata baik.
Bayangkan wajah pucat pasi dengan keringat dingin bercucuran membasahi wajah.
Sorot mata sayu seakan bisa pingsan kapan saja. Bibir pecah-pecah dan deru nafas memburu. Jangan lupakan kulit kepala yang tak lagi memiliki sehelai rambut.
Kondisi kesehatan yang kian drop membuat rambutku rontok parah, sehingga mau tak mau aku harus memotongnya.
Itupun atas desakan Teh Hanna dan Mama yang merasa kasihan melihat rambutku sering lepek dan basah oleh keringat.
Suhu tubuh yang naik-turun tak stabil memicu kerusakan di bagian tubuh lain. Kulitku pun menjadi kering dan bersisik. Tubuhku semakin hari semakin lemah.
Inilah dampak dari infeksi, disertai komplikasi penyakit bawaan lahir, yang diperparah dengan rutinitas di sekolah maupun perawatan ke Rumah Sakit, yang berjarak jauh dari rumah.
“Aa kan udah bilang, kalau nggak kuat jangan maksain sekolah, Dek.”
“Nggak bisa. Tadi itu hari terakhir ulangan.
“Terus kenapa? Dede kan pinter. Ketinggalan satu aja nggak masalah.
Aku tersenyum. Sungguh, aku sangat menyukai pujian tersebut. Bukan karena ketamakan ataupun kesombongan.
Aku hanya merasa percaya diri mendengarnya. Itu seakan mengatakan bahwa aku bukanlah anak pembawa sial. Keluarga beruntung memilikiku karena aku bukan kutukan.
"Nggak papa, Aa. Dede baik-baik aja, kok,” kataku mencoba meyakinkan.
“Andai bisa aja. Aa rela nyerahin kaki Aa buat dede,” katanya membuatku tersentak.
"Ih. Aa ngomongnya suka ngelantur," tegurku.
"Aa serius, Dek. Aa rela ngegantiin kaki kiri dede yang sakit. Andai bisa, Aa pengen ngambil kaki Aa ini buat dipasang ke kaki dede, biar dede bisa jalan normal lagi.”
Aa Banyu menepuk-nepuk kaki kirinya menunjukan keseriusan yang nyata. Bahwa apa yang diucapkan bukanlah sekadar penghiburan.
Sorot mataku berkaca dengan senyum lemah saat Aa Banyu melanjutkan, "Masa depan dede masih panjang. Dede masih kecil. Kalau Aa, kan udah gede. Aa udah berhenti sekolah. Kalau dede, MTs aja belum lulus.
Aku masih enggan bersuara dan membiarkan Aa Banyu menumpahkan semua ganjalan yang ada. Namun, mata tak dapat berdusta. Dalam hening aku ingin sekali menangis.
“Tapi Aa nggak bisa, Dek. Itu bukan kuasa Aa. Maafin Aa!"
Aku tersenyum kecil dan membalasnya dengan lirih. "Kalaupun bisa dede nggak akan ngebiarin itu terjadi, A."
"Kenapa? Apa Dede nggak mau sembuh?!"
"Bukan. Tapi Aa dulu pernah bilang ke dede. Allah nggak akan menguji hambanya di luar batas kemampuan hambanya."
Aa Banyu terdiam sejenak dan mengangguk.
"Kalau begitu, Allah ngasih penyakit ini buat dede, karena Dede kuat, kan A? Allah percaya kalau dede pasti bisa lewatin semua ini.”
“Iya, Dek. Dede adik Aa yang paling kuat," katanya mengusap puncak kepalaku.
"Dede sayang Aa," kataku berhambur memeluk Aa Banyu.
"Aa juga sayang dede," imbuhnya balas memelukku dalam kelembutan. "Aa bangga sama dede. Dede adiknya Aa yang paling hebat dan cerdas."