Skenario Tuhan (Gadis 12 Kali Operasi)

Mega Kembar
Chapter #33

Operasi Ketujuh

Dalam gelapnya malam

Ada ketakutan yang membuatku tak nyaman

(Mega Kembar)

***

Seperti yang sudah dijadwalkan sebelumnya, aku kembali melakukan serangkaian tes kesehatan untuk menjalani Operasi Ketujuh.

Di mana pemasangan ketujuh pen besi akan dilakukan dengan tujuan memperbaiki kerusakan tulang yang hancur atau retak terkena infeksi.

Untuk pertama kalinya, aku ditempatkan di kawasan wilayah Ruang Anggrek. 

Itu semua terjadi karena ruang inap yang biasa aku tempati telah terisi penuh. Aku pun dirawat di ruangan, yang di bagian depannya terdapat pohon beringin.

Anehnya sendari awal berbaring di ranjang pesakitan tersebut, aku merasakan firasat tak nyaman. Aku merasa diawasi oleh sesuatu tak kasat mata.

Akan tetapi, aku berusaha menepis perasaan negative tersebut dengan bersikap baik-baik saja.

Aku bahkan sempat mengecek ruang kamar mandi dan teras belakang tempat menjemur pakaian.

Sore harinya, setelah mengabari Bapak via telepon, aku memutuskan mandi. Tidak lama setelahnya datang perawat yang akan menginfus tanganku.

Semua aman terkendali sampai menjelang Magrib, perasaan tak tenang itu membuat diriku berkeringat dingin.

Aku menoleh ke arah pohon beringin yang selalu menyita perhatianku. Tidak ada hal aneh yang terlihat, tetapi entah kenapa pandanganku terpaku ke sana.

Setelah masuk waktu Isya, Bapak kembali menghubungi ingin dibawakan apa ke ruangan. Namun, pikiranku mulai tak fokus.

Aku tidak mengatakan apa-apa. Bibirku seakan terkunci oleh ketakutan yang tak bisa kujelaskan. Namun, samar kudengar dengan panik Mama meminta Bapak cepat datang.

Setelahnya dia menyelimutiku, tetapi aku membuang kain jarik tersebut karena tercium anyir darah dan bau bangkai.

“Jangan diselimutin, Mah. Bau banget. Ganti selimut lain, dong,” pintaku.

Anehnya, Mama tetap menyelimutiku dengan kain yang sama sambil bergumam, “Diem, Dek. Yang tenang. Jangan melamun!”

Tidak lama setelahnya, Bapak datang membawa makanan dalam bungkus pelastik hitam.

Bapak tersenyum padaku, tetapi aku hanya menatapnya datar, kemudian membuang muka dengan tidur membelakangi.

Fenomena aneh ketika aku merasa itu bukan diriku. Namun, kenyataan aku melihat dan merekam setiap adegan dengan jelas.

Entah apa yang terjadi setelahnya?! Mungkin aku tertidur, sebab ketika membuka mata suasana di sekitarku telah hening. 

Aku kembali melihat ke arah luar yang menampilkan dahan pohon rindang. Aku ingin pergi ke sana. Namun, langkahku terhenti oleh tepukan tangan di bahuku.

“Tenang, Dek. Diem! Bobo aja udah malem.”

Aku berbalik ke arah datangnya suara tersebut. Aku mengenali sosok yang duduk di kursi penunggu pasien itu adalah Mama.

Namun, dalam bayanganku tindakan Mama tersebut adalah hal salah.

Bagaimana tidak?!

Aku terjebak dalam delusi dari scenario komik horror yang pernah dibaca saat Sekolah Dasar.

Di mana dalam sebuah cerita menjelaskan tentang sekelompok orang yang terjebak dalam Café Setan untuk dijadikan tumbal pembantaian berdarah.

Kedua mataku menciptakan ilusi suasana yang mengerikan dan mencengkam. Di mana aku melihat sekelilingku berubah warna menjadi hijau.

Lampu Ruang Anggrek yang seharusnya berwarna putih terang menjadi hijau muda.

Pendengaranku pun ikut memanipulasi dengan menciptakan suara derit benda tajam serta bising dari pembicaran mengenai topik pembunuhan berantai.

Aku bergetar ketakutan dan berkata pada Mama. “Dede pengen keluar, Mah. Ayo, kita keluar.”

Akan tetapi, ajakanku justru dibalas dengan pelototan tajam oleh Mama. Apa yang salah?!

Aku melirik ke arah bibir Mama yang bergumam mengatakan sesuatu. Namun, aku tak mengerti. Aku menoleh ke arah infusan dan mencoba mencabutnya.

“Lepasin ini! Ngapain pake kayak gini?” seruku marah dan berusaha membuka plester di punggung tangan.

Namun, sekali lagi tangan Mama menghentikan tindakan tersebut. “Jangan dicabut, Dek. Kamu mau ngapain?”

 “Dede mau keluar, Mah. Nggak mau di sini.”

Lihat selengkapnya