Dinginnya malam merasuk dan menyentuh tulang-tulangku. Tubuhku membeku dari ujung rambut hingga jemari-jemari kaki yang berada dalam kehangatan sebuah selimut.
Hari ini sungguh dingin, apakah karena suhu? Atau memang karena setiap hari yang kulewati hanyalah sebuah coretan biasa dalam selembar kertas kosong. Coretan yang tidak pernah membangun sebuah lukisan hingga membuat hati membeku. Mungkin itulah mengapa hari ini terasa dingin.
Sang penunjuk waktu terdengar lantang dalam kedua telingaku. Memperingatkan akan waktu untuk menutup mata telah tiba. Sungguh ingin aku melakukannya, jika saja saat ini hatiku yang membeku tidak sedang menangis.
Sakit… ingin rasanya kuteriak kepada rembulan yang terus menyoroti dari luar. Kuingin menangis, tapi apa yang harus kutangisi?
Aku hanyalah seorang anak remaja biasa dari keluarga normal. Diana Grafill, kusebutkan nama itu setiap kali memperkenalkan diri. Dan nama itu pula yang menjadi tanda kalau akulah yang mereka cari.
Diana yang pintar, Diana yang rajin, Diana yang baik dan lainnya. Kenapa mereka selalu memanggilku begitu? Dan mengapa aku malah menangis dalam hati bila mendengar pujian tersebut?
Pintar yang semu, tentu saja aku tidak akan pernah senang akan hal itu. Pintar dari kepintaran orang lain, atau pintar karena rasa gengsi yang enggan mengakui kalau aku ini memang orang terbodoh yang pernah ada.
Tempat tidur ini semakin dingin, inikah hidup yang harus kulalui? Kalau aku bisa memilih bisakah aku tentukan jalan hidupku sendiri? Atau jika aku punya kekuatan membalikkan waktu, apa aku bisa kembali ke masa kecil? Lalu di masa itu aku akan berteriak sekuat-kuatnya bahwa diri ini adalah orang terbodoh sepanjang masa!
Tidak mau diri ini menjadi orang yang selalu diam di balik bayangan Aku yang semu.
Aku malu setiap kali teman-teman berkata kalau diri ini hebat. Aku tidak bisa menyangkal, semua itu bukanlah hasil dari yang kulakukan. Tapi aku tidak dapat berkata-kata setiap ingin mengeluarkannya dari mulut.
Rasa gengsi lebih kuat dari yang kurasakan. Aku selalu memakai topeng dan selalu senang akan semua hasil yang kudapat saat ini. Tapi, semakin lama semakin sakit.
Setiap hal harus dapat dipertanggungjawabkan, begitu juga kepintaran, prestasi dan citra, yang selalu membayangi.
Seseorang yang memang jenius saja sulit untuk mempertanggungjawabkan kepintarannya, apalagi aku yang hanya pintar tapi sebuah maya dalam pikiran orang-orang itu.
Apa yang bisa disenangi dari sebuah kepintaran tiada arti. Jika kubertemu denganmu, aku ingin menggenggam tanganmu lalu berkata;
“Apakah aku bisa menjadi orang bodoh sepertimu?”
Kamu pernah berkata padaku, apakah aku senang akan semua yang telah kucapai? Apakah aku bangga akan hal itu? Sekarang aku telah memiliki jawabannya. Aku tidak akan pernah senang dan tidak akan pernah bangga.
Apa bila kuberkata begitu kamu akan senang? Dasar kau lelaki pemalas, kau selalu saja datang padaku saat aku sedang dalam kehampaan. Pemikiranmu telah mempengaruhiku, sekarang apa yang akan kau katakan jika kutelah berhasil menemukan jawabannya? Sion aku ingin kau berada di sini dan mendengar semua jeritan ini.
Kau bilang, kamu hanya ingin menjadi orang bodoh. Karena orang bodoh selalu bisa bertambah kuat, dan suatu ketika akan menjadi sebuah nama. Nama yang memang sepantasnya diukir karena kerja keras akan penghancur dinding kasta yang membatasi.
Sebuah nama yang setiap orang inginkan tapi selalu dibuat semu.
“Pintar.”
Hanya itu yang bisa kukatakan padamu sebagai orang pertama yang sadar akan semua hal yang kamu katakan.
Sion, saat ini aku disaksikan oleh rembulan, yang dari tadi menemani jeritan ini. Haruskah kuberkata, “Aku ingin berada di sampingmu, dan menjadi bodoh sepertimu?”