Kala itu seorang Lelaki duduk dalam sebuah kursi bis, berwarna biru kusam dengan busa di dalamnya telah menipis. Di sampingnya hanyalah kursi biru yang kosong tak berpenghuni. Lelaki itu duduk di kanan jendela, matanya langsung memandang trotoar pejalan di luar bis. Ia duduk bersimpuh keringat di muka, AC di atasnya hanya mengeluarkan angin kencang, dingin nan sejuk pun tidak. Ditambah kemacetan yang dilaluinya bersama bis jurusan Jatinangor-nya, menambah panasnya terik Surya yang tertawa bahagia.
Seorang pria paruh baya, di depan kursinya, membaca koran kota dengan seksama. Dari tadi Lelaki itu memerhatikannya, Pria di hadapnya melewati bagian politik, ekonomi dan budaya. Pria itu langsung membaca bagian olah raga, yang menyatakan kekalahan tim kota kesayangannya. Di kanan Pria koran itu, tertidur dengan muka merah seorang pria lain, mulutnya ternganga lebar ke angkasa.
Lelaki itu ingin sekali lenyap dalam pulasnya tidur, terkadang bahkan ia ingin terus tidur. Tidak bermimpi dan tidak akan bangun lagi. Namun tetap tertidur, ia tidak mau mati. Hanya tertidur. Dalam dirinya masihlah ia berharap akan kesejukan hari esok. Suatu waktu, dalam kemacetan itu, ia melihat seorang Pemulung bersama anak Gadisnya. Mereka berjalan pelan di bawah tawa Matahari, mereka sekali-kali memungut botol-botol ataupun gelas plastik bekas minuman yang tiada terbeli oleh mereka. Lelaki itu memandangi anak beranak itu, dalam hatinya tumbuh sesuatu yang mengganjal. Ia pun berpikir, ditemani suara gemuruh mesin bis yang akhirnya maju cukup jauh, meninggalkan Si Pemulung dan Gadisnya.
Dalam pikirnya, lelaki itu tak menemukan apa-apa. Suara cicit manusia di sekitarnya selalu mengganggunya. Di belakang tempat ia duduk, bercengkrama sejoli merpati yang selalu berimaji, bahwa tempat mereka berada adalah dunianya. Mereka tak berpikir akan kerasnya suara obrolan mereka akan menjadi buah pikir buruk pada manusia sekitar. Saking kesalnya Lelaki itu, pikirannya pun jongklok pada dunia sejoli itu. Bahkan terlintas dalam pikirnya, ia tiada lebih baik. Dunianya sekarang hanyalah sekitar rumah dan kampusnya, bersama bis sebagai jembatan. Begitu kecil, bahkan lebih kecil dari dunia ulat yang selalu bermetamorfosis. Padahal, kerjaan ulat hanyalah makan. Oh ulat…
Tak lama, Pemulung dan Gadisnya telah berjalan kembali di samping jendelanya. Mereka berjalan bergandengan tangan, dan sekali-kali Gadisnya melepas tangan sang ayah, lalu berlari-lari kecil dan memungut sebuah botol plastik. Gadis itu kemudian memberikan botol itu, yang terbalas senyum dan usapan kepala oleh ayahnya. Terenyuh si lelaki itu melihat Gadis itu dengan tawa berlari ke sana kemari mencari botol-botol bekas, dan setelah menemukannya, rasanya Gadis itu seperti menemukan sebuah harta karun yang telah terpendam lama.