Skills

Imajiner
Chapter #18

Nino Graha Sastra - 8. Si Pemikir Usang

Ospek kedua hari ini terasa berbeda. Perbedaan yang sangat terasa adalah tidak adanya kegiatan nyeleneh yang biasa disuruh senior. Para senior bahkan jarang menampakkan diri seperti halnya kemarin. Jika senior muncul, mereka hanya muncul tiga atau lima orang saja tanpa ada si rambut lurus dan juga ketua senior yang berambut ikal.

Apa jangan-jangan ospek berubah karena faktor keberanian Arman kemarin ya?

"Eh No! Elo malah melamun! Kerjaan belom beres nih!"ujar Arman keras.

Di pagi hari yang cerah ini, dua puluh kelompok mahasiswa baru sudah disibukkan dengan kegiatan bersih-bersih universitas. Dengan menggunakan sapu ijuk yang aku bawa dari rumah, kami semua nampak antusias mengerjakan suruhan yang 'normal' dari senior.

"Iya Man iya. Sabar dong!."balasku sambil kembali menyapu kelas bersama tujuh teman lainnya termasuk Arman.

Berselang beberapa menit, Reza si orang Sunda yang sedang membersihkan jendela kelas mengeluh karena suatu hal,

"Ini senior kompakkan ngerjain kita ya?"

"Maksud kamu Za?"tanyaku yang persis menyapu di sebelahnya.

"Harusnya alat-alat yang kita bawa untuk tugas kebersihan ini teh, harusnya beda-beda atuh No! Bukannya bawa sapu ijuk semua. Aku kan jadi susah mau membersihkan jendela karena pakai tisu seadanya. Kotor lagi, kotor lagi jadinya."

"Sudah Za! Pakai sapu ijuk saja! Masa dianggurin sapu ijuk kamu itu?"sindir Yasa, salah seorang anggota kelompokku.

Nampak semua orang termasuk Arman tertawa terbahak-bahak mendengar sindiran Yasa. Namun aku sama sekali tidak tertawa mendengar sindiran itu. Yang ada aku menyuruh Reza dengan tegas.

"Sudah Za jangan mengeluh! Lakukan saja persis sama yang disuruh."

Suasana pun hening sejenak sejak ucapanku kepada Reza yang tegas tadi. Namun tak lama kemudian, Bobi anggota kelompokku yang lain beragumen,

"Buat apa ya kita lakukan ini? Kalau cuma beres-beres gini, suruh aja cleaning service kampus."

Para anggota kelompok nampaknya setuju dengan argumen Bobi. Sampai-sampai suasana kelas menjadi berisik karena dukungan untuk Bobi.

"Iya! Setuju banget aku Bob. Emang dasar senior nggak becus ngatur jalannya ospek tahun ini!" Tegas Raka, seorang anggotaku.

"Iya Bob! Nggak ada pemikiran kali ya mereka?"kali ini cetus Wilson.

Sebagai ketua kelompok, aku benci melihat keluhan mereka dan mencoba menjelek-jelekan kepengurusan ospek yang di dalamnya ada Kak Tasya.

"Berhenti! Jangan ribut! Kalian nggak tahu ya? Tugas ginian tuh menguji kekompakkan kita! Makanya berhenti melihat dari sisi negatifnya saja!"

Suasana yang kembali sunyi, seketika hilang oleh jawaban Arman.

"Iya sih No buat kekompakkan, tapi coba elo pikir lagi deh! Sepanjang gue ikut ospek ini, belom gue temuin nilai positif yang bener-bener baru."

"Belum?"tanyaku dengan nada menaik.

"Iya Belum. Begini ya, gue sebenernya tahu kalau acara ginian tuh nggak bakal ada gunanya sama sekali. Paling sisi positifnya itu-itu aja, kita bersosialisasi, mengenal watak, dan sifat-sifat manusia yang ada di sini. Selebihnya, kegiatannya sama sekali nggak ada yang penting. Mulai dari cari barisan sampai bersih-bersih kelas kayak gini."

Beberapa anggota lainnya terlihat setuju mendengar ucapan Arman itu. Sepertinya Arman berhasil mencuci otak mereka semua agar terus memandang acara ospek ini dari sisi negatifnya saja. Sebenarnya aku juga memandang ada banyak kekurangan dari pelaksanaan ospek ini, tapi aku percaya apa yang sebenarnya mereka lakukan semata-mata demi kami semua.

"Suutt.. Suutttt... Jangan berisik! Kak Tasya jalan kesini!"sahut Doni, anggota kelompokku yang tengah menyapu di luar kelas.

Seluruh anggota termasuk aku langsung kembali menyibukkan diri. Sementara itu Arman kembali bersuara sambil melihat kearah kami semua,

"Elo semua tahu? Hal positif yang harus dijaga dari acara negatif begini ya cuma Kak Tasya."

Lagi-lagi tawaan keras keluar dari seluruh anggota karena mendengar ucapan Arman itu. Aku tidak mengikuti mereka, aku masih terdiam dan fokus menyapu lantai. 

"Bisanya menyindir terus si Arman ini."batinku.

Tibalah Kak Tasya yang langsung mendatangi kami.

"Hei, Hei... Kakak dengar dari luar kok kalian malah asyik ketawa ya?"sapa Kak Tasya.

"Ah kata siapa kak? Ini buktinya kita lagi beres-beres."ujar Arman tersenyum.

"Kakak dengar sendiri tahu! Kamu nggak bisa bohongin kakak."

"Ih aku nggak bohong kak. Rugi kalau aku bohongin kakak."

Dasar munafik! Tadi menyindir Kak Tasya, sekarang malah menggodanya. Mana temen-temen lain melihat si Arman ini sebagai candaan lagi. Kalau begini, mau enggak mau aku harus bicara empat mata sama Arman. Kasihan Kak Tasya soalnya, dia nggak nyaman kalau ketemu si Arman.

"Ya sudah, sudah. Kakak kesini mau minjam Nino sebentar, boleh?"

"Hah? Ada apa Kak Tasya mencariku? Ah palingan yang ada kaitannya sama kelompok."batinku yang mencoba tidak baper.

"Kok yang dipinjam cuma Nino saja sih kak? Aku nggak dipinjam juga nih?"tutur Arman manja.

"Kan ketua kelompoknya Nino. Dia bakal bawain kalian minuman kok."

"Ya sudah sana No ikut Kak Tasya, ambil minuman yang banyak! Gue haus No."ucap Arman dengan nada menyuruh.

"Sialan Arman, kerja aja males-malesan tapi gayanya seperti yang paling kerja aja."batinku.

Aku langsung menaruh sapu dan mendekati Kak Tasya untuk berjalan bersama menggambil minuman.

"Lanjutin lagi ya! Awas kalau ketawa-tawa lagi!"tuntut Kak Tasya.

"Siap kaaaaaaaak."balas seluruh anggota kelompok.

***

Di tengah perjalanan mengambil minuman, Kak Tasya mengajak aku mengobrol,

"Kalian tadi ketawa soal apa?"

"Ah nggak penting kak, cuma ocehan Arman saja."

"Oh gitu.. Pasti garing ya?"

"Iya kak, garing banget!"

Aku dan Kak Tasya tertawa bersama mendengar jawabanku tadi. Ini lebih indah dan menyenangkan daripada berkumpul bersama Arman dan teman-teman kelompok di kelas tadi.

"Eh No, kok tadi si Arman masih genit sih ke kakak? Udah kamu tegur dia belum?"

Celaka, Kak Tasya menagih janjiku.

"Be... Be. Belum kak."ucapku pelan.

"Kok belum? Ada apa? Armannya tidak mau dengar? Atau kamu takut?"

"Bukan kak, bukan begitu. Saya sama sekali nggak takut dia kok. Hanya saja situasinya rumit karena tingkah laku si Arman kemarin kak. Makanya Nino belum sempat tegur dia."

Kak Tasya terdiam sejenak, tak beberapa lama ia membalas ucapanku,

"Iya juga sih No, kamu benar. Sampai sekarang aja soal permasalahan kemarin masih belum selesai. Kak Okta sampai dipanggil rektor dan dekan."

"Kak Okta itu yang rambutnya ikal bukan sih kak?"

"Iya No, dia itu ketua panitia ospek. Kasihan banget tahu dia."jawab Kak Tasya dengan wajah murung.

"Memangnya ospek tahun lalu seperti apa sih kak? Seperti ini atau..."

Lihat selengkapnya