Sky Before You

Cellestine
Chapter #1

Satu

"Kamu boleh jadi apapun, kecuali TNI" ultimatum Mami sejak gue masih belum tumbuh gigi.

Heran, sebegitu nggak sukanya Mami kalau anaknya jadi pahlawan negara. Padahal enam puluh persen DNA gue itu nurun dari kromosom Y-nya Papi. Sebut saja tampang gue, kulit gue, senyum gue, semua plek ketiplek kayak Papi. Mami mah cuma nyumbang utek encer bin mesum doang.

"Mamas kalau udah gedhe mau jadi apa?" tanya Mami pada suatu hari ketika nemenin gue belajar Matematika. Meskipun tangannya yang satu sibuk gendong adek gue tapi konsentrasinya sekarang ada pada tugas perkalian yang lagi gue kerjain.

"Em.. Jadi apa ya?" gue meletakkan pensil dan mengetuk-ngetuk kepala gue pake jari. Layaknya orang dewasa yang sedang serius berpikir. Padahal waktu itu gue masih kelas tiga SD.

Mami memincingkan mata, was-was kalau gue bakalan milih melanjutkan dedikasi Papi. "Jadi kayak Pak Habibie aja deh Mi, buat-buat pesawat."

Satu senyum lega terpulas di wajah Mami. "Bagus itu. Mami dukung cita-cita kamu, nak" ucapnya semangat empat lima.

"Iya Mi. Kalau Pak Habibie bikin pesawat komersial nanti Mamas bikin pesawat tempur. Biar dipake perang sama Papi."

"Mamas!!!" dua tanduk mucul di kepala Mami. Jelas Mami marah besar. Pokoknya Mami itu paling anti sama hal-hal yang berkaitan dengan perang. Sebelum tangan Mami nyubit pipi gembul gue, mendingan gue kabuurr...

Hari itu gue nggak jadi ngerjain PR Matematika. Ngumpet seharian di rumahnya Om Yayah biar nggak dijadiin babi guling sama Mami. Ya meskipun esok paginya harus disetrap sama bu guru gara-gara nggak ngumpulin PR. Tapi seenggaknya kan gue bisa ngapelin dedek cantik. Hehe..

Sejak jadi zygot, cita-cita gue tuh sederhana. Jadi bapak buat anak-anaknya dedek cantik. Dan cita-cita itu nggak berubah bahkan sampai detik ini.

"Nanti habis lulus SMA Mamas mau lanjut kemana?" Mami yang lagi ngupas apel bertanya.

"Mewujudkan cita-cita Mamas yang mulia dong Mi" jawab gue sambil nyomotin apel di piring.

"Apa? Bikin pesawat tempur lagi?" Mami udah ngacungin pisau buah ke depan muka gue.

"Bukan yang itu, Mi" gue menggeleng.

"Terus apa?"

"Nikah sama dedek cantik" jawab gue cengengesan.

Satu tampolan di kepala berhasil gue dapatkan. Untung aja pisaunya udah Mami letakin dulu di atas meja. Kalau enggak berakhir di meja operasi mungkin gue sekarang.

"Nikah aja yang dipikirin. Mau dikasih makan apa istri kamu? Baru aja lulus SMA. Kuliah dulu, terus kerja. Cari duit yang banyak. Baru ngelamar anak orang" cerca Mami panjang lebar.

"Makanya itu Mamas mau daftar TNI. Kan abis pelatihan langsung dapet gaji. Buat menafkahi dedek cantik" gue menaik-turunkan alis.

Tulang kering gue ditendang, "Awh.. Sakit, Mi" gue mengaduh.

"Makanya jangan macem-macem sama Mami. Udah dibilanginn nggak boleh jadi tentara ya nggak boleh. Titik."

"Tapi kan Mamas pengen cepet-cepet kerja. Biar bisa ngelamar dedek cantik."

Mami berdecih, "Emang dedek cantik mau nikah sama kamu? Inget kamu aja paling enggak" ledek Mami.

Bener juga. Terakhir kali ketemu dedek cantik saat kita masih SD. Kalau aja bukan karena profesi orang tua kita yang harus pindah-pindah tugas, mungkin sekarang gue masih tetanggaan sama si cantik. Tapi apa boleh dikata. Nasib jadi anak kolong.

Apa itu anak kolong? Sebutan untuk anak-anak tentara. Dulu, di era awal kemerdekaan, anak-anak serdadu tentara harus tinggal berhimpitan di barak tentara yang sempit. Saking sempitnya, mereka harus tidur di kolong ranjang orang tuanya. Jadilah istilah penyorasi ini mengalami pergeseran jaman hingga terkadang masih dipakai sampai sekarang. Hanya saja, semakin lama kesejahteraan prajurit negara semakin terjamin. Meskipun tidak lagi harus tidur di kolong, tapi kami tetap di sebut anak kolong. Anak yang harus turut prihatin karena belum tentu bisa berjumpa dengan ayahnya kapan saja. 

Sekian lama berpisah, mungkin jarak dan waktu telah menghapus memori kami di kepalanya. Tapi tidak bagi gue. Sedetik pun gue tidak pernah melupakannya, Kanaya.

"Papi tau nggak ya Mi sekarang dedek cantik tinggal di mana?"

"Tahun lalu sih masih di Ternate. Nggak tau kalau sekarang. Coba kamu tanya sendiri sama Papi."

"Sekalian nanya kapan rekruitmen tentaranya dibuka ya, Mi" goda gue.

"Awas kalau berani. Mami kutuk kamu jadi tempe goreng!"

Mami nggak main-main waktu bilang gue nggak boleh jadi TNI. Buktinya bahkan gue disusulin waktu nekat ikut audisi pencarian prajurit nusantara.

"Kalau kamu mau daftar tentara, mending Mami mati aja. Sini kalau mau masuk, langkahin dulu mayat Mami!" teriak wanita yang udah ngelahirin gue itu tepat di atas gedung pendaftaran. Malu-maluin emang, tapi mana ada yang berani nyenggol macan ngamuk. Meskipun emak gue berulah sampai ngundurin jadwal seleksi tapi nggak ada yang berani negur. Bokap gue udah mengantongi bintang empat jajaran Jenderal dan kabarnya digadang-gadang akan menjadi Kepala Staf Angkatan Darat. Siapa coba yang berani negur?

Saking batunya Mami, sampai-sampai Papi mengerahkan satu kompi pasukan buat menggagalkan rencana Mami yang katanya udah siap bunuh diri. "Kalau Mamas nggak ikut pulang sekarang juga, Mami loncat ini!" gertaknya.

Akhirnya Papi mencoba berkompromi sama gue, "Mas, udah lah. Dibatalin aja. Itu Mamimu udah kayak artis sirkus. Pake naik-naik ke puncak gunung segala. Nanti kalau jatuh beneran gimana?"

"Tapi Pi.." gue manyun.

"Mas mau daftar tentara itu tujuannya buat apa?"

"Ya biar cepet dapet kerja yang mapan terus ngelamar dedek cantik lah, Pi" jawaban gue kekanak-kanakan banget. Pantesan Papi sampai mijit-mijit keningnya.

Lihat selengkapnya