Semua manusia pasti pernah merasakan yang namanya kehilangan. Arin menatap orang-orang yang datang silih berganti. Rumahnya tampak ramai, seingatnya tadi rumahnya sepi. Kenapa bisa jadi banyak orang begini? Pikirnya. Devan menatap sahabatnya, "mau masuk?" Tanyanya
Arin mengangguk lalu melangkah bersama. Meski sedikit heran gadis kecil itu tetap masuk. Namun langkahnya terhenti saat melihat seseorang yang tengah berbaring hingga di tutup seluruh tubuhnya. Sedangkan ia menatap ibunya. Sedang menangis tersedu-sedu. Entah apa yang terjadi? Arin tidak tahu.
Dengan nafas yang memburu membuat Arin seketika membeku. Saat seseorang tengah duduk diantara orang yang tengah berbaring. Membuka kain batik coklat tersebut. Apakah ini sebuah mimpi? Apakah yang terbaring kaku itu adalah Ayahnya. Ini sungguh tidak mungkin. Devan menoleh kearah sahabatnya. Dan langsung memeluknya. Seolah memberikan ketenangan.
Arin melangkah perlahan menghampiri. Tangisnya pecah saat melihat tubuh kaku sang Ayah. "Mahh, Pap kenapa? Kok tidur?" Tanyanya
Bibir Emma keluh entah apa yang bisa ia jawab pada anak sulungnya. "Kamu yang sabar ya. Papa udah pergi," jawabnya
Seolah pasokan udara sedikit. Arin menatap tubuh kaku sang Ayah yang terbaring. Semua orang bergegas mengurus agar segera kebumikan. Tampak dari raut wajah gadis itu menatap kosong.
Sebuah gundukan yang telah di taburi banyak bunga. Semua orang berdoa. Arin masih berdiri di temani oleh sang sahabat. Devan.
"Papa kamu disana udah bahagia. Kamu yang kuat ya. Masih ada aku disini," ucapnya dan masih merangkul Arin memberikan ketenangan.
"Tapi kenapa? Papa harus pergi secepat ini. Padahal ia udah janji besok untuk jalan-jalan lagi. Main layang-layang bareng." Jawab Arin masih terisak.
Arin yang masih tidak mengerti apa-apa. Masih tidak mengerti apa yang terjadi pada Ayahnya. Semua begitu cepat.
Arin berbaring di atas mobil sembari menatap langit malam. Ia tersenyum tipis. Mengingat kenangan bersama sang Ayah. Bintang itu berkilau cahaya terang. Dan menganggap bintang itu adalah sang ayah. Sudah dua jam Arin masih betah berada di atas mobil. Hal yang selalu di lakukannya.
Langit biru malam seakan memberi ketenangan di temani dengan hembusan angin yang menerpa wajah gadis kecil itu.
Arin menutup matanya. Hingga beberapa menit kemudian ia membuka matanya melihat siapa yang ada di hadapannya. Arin mendorong wajah tersebut hingga anak lelaki itu terjungkal kebelakang.
"Aduh, Arin. Sakit tau." Dumel Devan
"Lagian sapa suruh ada di depan aku tiba-tiba," ucapnya kesal
"Lagian ngapain disini sendirian. Di rumah kamu banyak orang. Mana rame banget pula." Jelasnya
"Biarin. Aku pengen sendiri. Kamu ganggu aku tau nggak." Kesal Arin pada Devan
"Apa kamu masih sedih?" Tanyanya seketika
Arin tidak menjawab, gadis kecil itu hanya menghela nafas pelan. "Sekarang rumah sepi. Mamah sekarang jadi murung," ucapnya