Sudah beberapa hari Arin dan Tiara tidak saling sapa. Entah masalah apa yang terjadi? Arin duduk sendirian di koridor sekolah. Menyandarkan badannya pada tiang. Sungguh Arin sedikit bingung dengan perubahan sikap sahabatnya itu. "Aku ada salah apa ya, kok Tiara tidak mau ngomong sama aku," pikirnya.
Hingga akhirnya Arin melihat Yati yang melangkah menuju kantin. Dengan inisiatif gadis rambut Bondol itu menahan gadis berwajah bulat itu.
"Boleh bicara sebentar," pinta Arin
Yati mengangguk lalu mereka duduk. "Tiara kenapa? Kok akhir-akhir ini tampak beda. Apa aku ada salah ya. Tidak mau bicara sama aku," jelas Arin tentang apa yang ia rasa.
Yati menghela napas. "Kalau itu, aku tidak tau. Coba tanyakan sendiri." Ujarnya
"Justru itu, bagaimana aku mau tanya sedangkan dianya sendiri menghindar." Keluh Arin
Yati menggeleng tidak tahu, "Coba tanyakan sendiri. Kalau gitu aku mau ke kantin dulu." Ucapnya. Arin mengangguk.
Sudah seminggu lamanya Arin dan Tiara saling diam-diaman. Arin menoleh menatap Tiara yang tengah asik mengobrol dengan Yati. Mencoba peruntungan Arin beranjak lalu menghampiri Tiara. Ia sangat tidak tahan untuk menanyakan hal itu.
"Boleh bicara sebentar," ucap Arin terdengar dingin
Tiara menoleh menatap sengit. "Kalau mau bicara. Bicara saja," jawab Tiara ketus
"Tidak disini," pinta Arin lagi
"Aku sibuk. Tidak banyak waktu buat kamu," balas Tiara lebih ketus
Arin menatap jengah. Lalu menarik tangan Tiara keluar dari kelas menuju taman belakang sekolah. Tiara menghempaskan tangan Arin.
"Apa apaan sih?" Tanyanya marah
Arin memicingkan matanya. Lalu menghela napas berat. "Aku tidak tahu apa salahku sama kamu. Sudah seminggu kamu tampak beda. Kalau ada sesuatu hal. Ngomong sama aku. Jangan diam-diaman begini," jelas Arin jengah.
"Aku jenuh temenan sama kamu," jawabnya
"Maaf," balas Arin lirih
Keduanya terdiam, "Kalau begitu sampai disini saja. Kita selesai." Lanjut Arin
Tiara menoleh terkejut, dengan apa yang di ucapkan Arin. "Tidak ada angin, tidak ada hujan kamu ngomong kita selesai," balas Tiara tak kalah sengit.
Napas Arin memburuh. Tatapannya lirih. "Aku memberimu ruang, Aku memberimu kebebasan, tidak menuntut banyak apapun sama kamu. Kamu datang menceritakan keluh kesahmu sama aku. Aku terima. Aku mengalah semuanya sama kamu. Aku terima. Tapi aku minta waktu kamu satu hari aja tidak bisa. Apa itu yang namanya sahabat."
"Di saat aku butuh kamu. Kamu kemana. Tidak ada kan?" Tanya Arin lagi
Tiara terdiam, bukankah ini yang ia mau. Menjauh dari Arin, tapi setelah mendengar ucapan Arin ia merasa begitu sakit. Arin tersenyum kecut. "Sudahlah lupakan semua yang terjadi. Semoga kamu bahagia," ucap Arin lalu meninggalkan Tiara yang masih terdiam.
Hari demi hari, Arin menjadi seseorang yang sangat pendiam. Gadis rambut Bondol itu lebih menyukai berada di rooftop saat jam istirahat. Gadis itu menatap langit dengan awan putih yang menghiasi. Seperti kebiasaannya sejak kecil. Arin sudah jarang berada di kelas. Bahkan lebih memilih berada di tempat penuh ketenangan yaitu rooftop sekolah.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas itu berarti sebentar lagi akan masuk kelas. Arin beranjak pergi menuruni tangga. Hingga ia berpapasan dengan Tiara. Gadis itu menoleh sekilas. Lalu melangkah pergi. Tiara menatap punggung itu. Semuanya sudah tampak asing. Namun ia tersenyum lirih menatap orang yang dulu menjadi sahabatnya.
Arin sekarang duduk paling belakang tepatnya ia sebangku dengan lelaki berambut cepak itu. "Man. Jadi besok berangkat ke Jakarta?" Tanya Arin
"Jadi dong, doakan ya. Semoga menang," pintanya