Sleeping Beauty

mickey139
Chapter #2

Laki-laki Aneh

Sudah seminggu aku berada di rumah sakit setelah tubuhku dibawa ke mari dan artinya sudah seminggu pula aku menjadi salah satu makhluk gentayangan alias hantu yang sering diteriaki oleh orang-orang kalau tidak sengaja bertemu (tapi bukan berarti aku pernah diteriaki. Nyatanya, aku bahkan tidak bisa dilihat oleh kebanyakan orang)

Namun, jangan salah kaprah guys. Aku bukan salah satu dari hantu-hantu penasaran yang rohnya belum bisa mencapai nirwana karena urusan dunianya masih belum terselesaikan. Aku masih hidup. Hanya saja, roh dan tubuhku terpisah.

Bingung?

Oke, kuberi pengandaian lain kalau masih belum jelas. Kalian tahu kisahnya putri tidur? Pasti tahu. Kisah itu kan terkenal banget. Dan kondisi putri itu persis seperti diriku. Dia hidup, tapi tidak bisa dikatakan hidup karena ia hanya tertidur di atas kasur. Tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu ada bedanya, jika putri tidur ada penyihir yang mengutuknya, di posisiku tidak ada. Tiba-tiba saja diriku seperti ini.

Dan yang lebih aneh, rohku justru terpisah dari tubuh. Ketika aku berusaha masuk kembali, aku malah terpental. Roh dan tubuhku seperti magnet dengan kutub yang sama dan tak bisa bersatu. Alhasil, aku hanya bisa melihat bagaimana terpuruknya diriku di atas ranjang rumah sakit.

Aku sedih, tentu saja.

Bayangkan, saat ibumu menangis karena keadaanmu dan kamu tidak bisa memeluk atau mengelus pundaknya untuk menenangkan padahal kau tepat berada di sampingnya atau tak bisa memberikan kalimat yang bisa membuat ayahmu berhenti menyalahkan diri sendiri karena suaramu tak bisa didengar. Itu menyakitkan, bukan?

Tapi, apa yang harus kulakukan? Saat aku ingin mencari tahu, aku justru tak bisa berbuat apa-apa. Meminta sama orang pun tak bisa karena mereka tidak bisa melihatku apalagi menyewa detektif untuk memecahkan masalahku.

Berharap ada paranormal yang datang berobat ke rumah sakit pun rasanya sulit, sebab seminggu ini tak ada tanda-tanda seseorang dengan kemampuan khusus datang ke rumah sakit. Mungkin karena kemampuan mereka sangat sakti, atau memiliki cara tersendiri untuk mengobati diri sendiri.

Sekarang aku hanya pasrah.

Selama seminggu ini aku hanya bisa mengelilingi rumah sakit tanpa tujuan jelas. Rohku seperti sudah diprogram agar selalu berada di sekitar tubuhku, bahkan pulang ke rumah sekedar melihat keadaan saja tak bisa. Aku seperti diikat oleh rantai tak kasat mata.

Tapi, untungnya aku bertemu dengan makhluk yang sama sepertiku— dalam artian, manusia yang benar-benar sudah mati. Padahal jika mengingat kembali diriku yang dulu, aku pasti akan lari terbirit-birit atau bahkan pipis di celana jika melihat mereka. Dan sekarang malah menjadi kenalanku.

Berbagai macam karakter kutemui dan sebagian dari mereka sangat mengagumkan. Ada nenek Chiyo yang sudah hampir tiga bulan meninggal namun rohnya tetap berada di dalam bilik kamar inapnya yang dulu, katanya dia sedang menunggu cucunya. Aku senang dengan kehadirannya, walau penampilan nenek itu sedikit menyeramkan. Dia banyak memberiku nasehat, dan motivasi hidup yang membuat diriku tidak mudah patah semangat dan menyerah.

Ada juga pak Rian, seorang pemadam kebakaran yang mati saat menjalankan tugasnya. Banyak kisah yang dia ceritakan padaku terutama pada misi-misi penyelamatannya yang sangat hebat.

Lalu pak Dan. Dia adalah favoritku, tampan dengan semua nasihat bijaknya yang membuat aku tidak terpuruk dengan keadaanku saat ini. Dan berkat mereka semua aku tak lagi merasa kesepian.

Aku menggerakkan kembali tubuhku, melayang seperti selembar kapas yang melayang di udara. Mengikuti kemana arah hati pergi.

Dan di sinilah aku, duduk di atas pagar pembatas di atap gedung rumah sakit. Tak ada rasa takut jatuh yang biasa kurasakan saat berada pada ketinggian— tentu saja karena aku hanya sebuah roh. Tak akan bisa jatuh ke atas tanah, karena aku sendiri tak bisa menapaki tanah.

Walau tak bisa lagi merasakan udara yang berhembus, setidaknya aku bisa lebih tenang berada di sini. Langit yang berwarna biru cerah juga alunan suara burung kecil yang berpadu dengan suara kendaraan di bawah sana membuatku tenang.

Angin berhembus kencang. Angin yang membuat perasaan tidak nyaman merayap. Layaknya merasakan sebuah jantung, degupannya membuat dada nyeri.

Kutolehkan kepalaku ke samping. Seseorang tengah berdiri di atas pagar pembatas, seperti menunggu waktu yang tepat buat dia terjun ke bawah.

Angin membelai wajahnya, melambaikan surai-surai hitam miliknya. Pandangan laki-laki itu kosong menatap ke depan. Ia seperti sedang membayangkan sesuatu. Iris kelamnya menampakkan raut kesedihan yang amat kentara. Persis seperti pandangan ibu dan ayah tiap kali melihat tubuhku yang terbaring lemas di atas ranjang.

Dia maju setengah ukuran kakinya hingga ujung sepatu sudah tak menapak lagi. "Kenapa kalian melakukan ini padaku?"

Laki-laki itu bergumam lirih sambil memegang dada. Rasanya aku bisa merasakan apa yang ia rasakan. Perih dengan kekecewaan yang bercampur. Sakit.

"Aku mempercayai kalian, tetapi kenapa?" Sekali lagi dia berucap. Langkahnya semakin menepi. Aku sampai ngeri melihatnya. Membayangkan jika dia melompat dan tubuhnya hancur dengan kepala bocor yang mengeluarkan ceceran otak, kaki yang terpelintir 360° dengan tak beraturan, tangan patah hingga tulangnya menembus kulit, bahkan organ dalam perutnya juga ikut tercecer, membuatku sedikit mual.

Aku mendekat perlahan, ingin tahu. Rasa penasaran ternyata masih bertahan pada diriku.

"Kenapa kau ingin bunuh diri?" tanyaku saat sudah sampai dan duduk selangkah di sampingnya. Kembali menatap pemandangan kota.

Mungkin aku bodoh karena mengajak bicara pada orang yang aku yakin tidak akan bisa melihat pun mendengar suaraku. Aku sendiri juga heran kenapa tidak bisa menahan mulutku untuk bicara.

Yah, bukankah kecepatan mulut lebih tinggi dari pada kecepatan berpikir?

Hening. Hanya ada suara hembusan angin yang menggiring kicauan burung dan kebisingan kendaraan. Laki-laki itu pun juga terdiam. Sepertinya dia tengah menguatkan dirinya untuk melompat.

Aku menghela nafas. Entah kenapa aku merasa manusia sekarang sungguh bodoh. Putus asa sedikit langsung ingin mati dan setelah mati memang mereka pikir akan tenang? Dasar bodoh. Bahkan jiwanya pun tidak akan diterima oleh akhirat. Di dunia pun jiwanya akan ditolak.

Aku masih menatap pemandangan di depan. Dan lagi-lagi laki-laki itu tak bersuata. Tapi, anehnya aku malah merasa kalau dia sedang menatapku?

Lihat selengkapnya