Sleeping Beauty is Back

Lady Queen
Chapter #2

Merpati Putih

Malam itu, Artizia terjaga. Hari masih gelap dan matahari belum muncul. Artizia memutuskan bangun dan membuka pintu balkon.

Rambut Artizia berkibar-kibar tertiup angin malam. Artizia menyentuh rambutnya sendiri. "Aku baru sadar sudah sepanjang ini," gumamnya. Rambut Artizia telah tumbuh panjang hingga menyentuh paha. "Rasanya baru beberapa waktu lalu masih sepinggang."

Rambut putih Artizia merupakan anugerah sekaligus bencana baginya. Karena, rambut putih di Hessenity tidak sembarang. Itu adalah ciri khas dari keturunan kaisar pertama, Frost Hessen.

Kekaisaran Hessenity terletak di dataran tinggi daerah utara, sehingga wilayahnya memiliki suhu yang relatif dingin. Seribu tahun lalu, pendiri kekaisaran sekaligus kaisar pertama yaitu Frost Hessen, menaklukkan wilayah utara dan membangun kekaisaran. Ia menamai kekaisaran baru itu Hessenity. Dalam legenda diceritakan, dia memiliki rambut seputih salju dan matanya berwarna merah seperti api. Karena itulah ia dijuluki 'Bara Api yang Beku'. Di kekaisaran, rambut berwarna putih tidak dimiliki oleh siapapun kecuali keturunan dari sang Frost Hessen, yaitu keluarga kaisar. Semakin lama, kemungkinan untuk mewarisi rambut putih semakin kecil, tapi Artizia menjadi salah satu pewarisnya. Kakek Artizia yang sudah lama meninggal, Calebrick, memiliki rambut putih padahal ayahnya, atau buyut Artizia yaitu Avator, memiliki rambut pirang keemasan. Hal ini membuktikan bahwa rambut putih hanya bisa diwarisi oleh orang-orang tertentu saja, sehingga keturunan kaisar yang berambut putih dianggap lebih berhak mewarisi takhta.

"Meong," si kucing Summer mengelus kaki Artizia.

Dia pun mengangkat kucing betina itu. "Hai Summer. Apa kamu sedang menghiburku?"

Si Kucing mendengkur. "Meong."

Bulan purnama terlihat jelas di atas langit. Suasana begitu hening sehingga suara hewan-hewan liar terdengar jelas. Artizia menatap bulan purnama itu. Pikirannya menerawang ke ingatan masa lalu.

"Ah, bagaimana ini?"

Artizia kecil duduk di ruang tamu mansion viscount Weidjk. Saat Kaisar dan Permaisuri mengunjungi viscounty Weidjk karena urusan politik, Artizia diajak mengikuti mereka. Namun alih-alih diberi tugas, ia hanya dibiarkan saja di ruang tamu. Karena itu ia menghabiskan waktu dengan menyulam lambang Hessenity, yang berupa dua belas kelopak bunga berbentuk lancip dan ditengahnya terdapat bulan berwarna biru yang dilindungi dua pedang bersilangan. Tapi dalam sulaman Artizia, lambang itu menjadi seperti lingkaran sihir jahat.

"Aduh!" Jarinya tertusuk jarum.

"Artizia, kamu terluka?" Permaisuri Alizia tiba-tiba masuk dan memegang tangan Artizia. Permaisuri mengeluarkan sapu tangannya dan melilitkannya di jari Artizia setelah dibersihkan.

Artizia tercengang. "Ibu, bagaimana Ibu ada disini?"

Ibunya tersenyum. "Ibu selalu ada disampingmu, Sayang."

"Ibu itu seperti bulan. Tidak selalu terlihat, tapi selalu ada." Kata Ayah suatu hari.

Artizia duduk di kursi balkon dan termenung. Pikirannya acak-acakan sampai-sampai ia tak tahu apa yang sedang ia pikirkan sekarang.

"Banyak hal yang berubah selama ini," katanya pada Summer. Sayang, kucing itu sudah tidur. "Ayo tidur di dalam, Summer." Dia mengangkat kucing itu dengan hati-hati dan menaruhnya di kasur. Menutup pintu dan tirainya kembali, Artizia kembali tidur dengan nyenyak.

༶•┈┈୨❆୧┈┈•༶

Pagi hari di waktu yang ditentukan, Artizia turun gunung. Sebelumnya, Kaisar telah mengirimkan kereta kuda untuk Artizia. Perjalanan dari gunung Ermani ke istana kekaisaran di ibukota, Anzac memakan waktu sehari semalam menggunakan kereta kuda. Perjalanan dari gunung Ermani ke istana kekaisaran melewati dua kota, yaitu kota Seta dan kota Tarim. Hari sudah berganti pagi ketika kereta kuda Artizia sampai ke gerbang istana.

"Itu kereta kuda Putri?" kata seorang pegawai.

"Benarkah? Putri Artizia yang 'itu'?" sahut temannya.

"Jadi, rumor Putri kembali itu benar?"

"Bahkan katanya Putri akan ikut serta pembasmian kali ini!"

Orang-orang berbisik-bisik membicarakan Artizia. Sementara orang yang dimaksud tidak memberikan reaksi apapun dari dalam kereta kuda.

"Hah! Apa yang bisa dilakukan seorang putri bodoh? Sudah bagus dia hidup di gunung seperti kukang!" Suara itu berasal dari mulut marquess Moestram. Dia adalah hakim di Pengadilan Hukum Hessenity.

Kepala Pelayan Istana Matahari, Harriford Liesler keluar dari pintu masuk utama untuk menyambut 'kembalinya' Putri Artizia. Dengan tegap, dia berdiri di depan pintu kereta kuda.

Kesatria pengawal, sir Froch, mengetuk pintu kereta. "Yang Mulia Putri, kita sudah sampai."

Tidak ada jawaban dari dalam.

Walau Artizia tidak menjawab, Liesler tetap tenang. "Mungkin Putri sedang bersiap-siap," katanya.

Semenit, lima belas menit, tiga puluh menit. Waktu berlalu membuat kaki orang-orang yang penasaran dengan Artizia mengalami kram.

"Yang Mulia Putri?" raut wajah Liesler mengerut. "Mungkinkah terjadi sesuatu?" Sir Froch dengan sigap membuka pintu kereta. Betapa kagetnya mereka, melihat Artizia terkulai lemas di dalam.

"Yang Mulia Putri…" Liesler terhuyung.

"...tidur." Tutup Sir Froch datar.

Berita tentang Putri Artizia tidur di kereta kuda mungkin akan menjadi headline koran Hessenity kalau bukan kaisar sendiri yang meminta mereka tutup mulut. Dan saat Artizia bertemu langsung dengan Kaisar, dia terbahak-bahak.

"Hahahaha! Kau satu-satunya orang yang bisa membuat Kepala Pelayan Kaisar menunggu selama setengah jam!"

"Mau bagaimana lagi, saya mengantuk." Artizia kesal ditertawakan. "Oh ya, apa Baginda sudah memberi makan Winter dan Summer?"

Kaisar menyudahi tawanya. "Siapa Winter dan Summer?"

"Serigala dan kucing saya! Saya membawa mereka kesini kemarin. Apa Anda sudah menyiapkan makanan untuk mereka? Berikan tempat yang hangat untuk–ah tidak, taruh mereka di kamar saya saja. Mereka akan tidur bersama saya."

Kaisar tampak tidak senang. "Mengapa kau membawa binatang itu kesini?"

"Oh, mereka akan merindukan saya jika berpisah terlalu lama. Apa mereka membuat Baginda tidak nyaman?" tanya Artizia tebal muka.

Kaisar membuang napas. "Jadi, kau sudah memutuskan? Ah, melihat kau mau datang kesini, itu berarti kau setuju untuk mengikuti pembasmian, ya." Dia mengganti topik pembicaraan.

Artizia menyeruput teh yang disajikan untuknya. "Saya akan menerima tugas itu, dengan satu syarat." Kaisar mengambil sekeping cookie. "Katakan."

"Saya yang akan menjadi komandannya."

Kaisar tersedak. "Uhuk–Apa?"

Astaga, apa yang baru saja didengarnya dari keturunan kaisar yang terkenal pemalas ini?

"Saya bilang saya akan menjadi komandan pembasmian. Ko.man.dan."

"Apa kau berniat mengubah tujuan pembasmian menjadi penginapan mewah di selatan?" Kaisar meraih lonceng di meja.

Dengan sekali getaran, seorang pelayan wanita masuk. "Baginda memanggil saya?" dia membungkuk hormat.

"Ambilkan teh lagi untukku. Jangan pakai gula. Aku lebih suka madu," kata Kaisar tanpa memandang wajah pelayan itu.

"Baik, Baginda."

Artizia menyeruput tehnya. "Anggap saja begitu," katanya santai.

Lihat selengkapnya