Hujan angin menampar jendela G-Coffee di Sabtu September yang dingin. Para pemburu rusa sibuk mengutuki berita perkiraan cuaca yang salah. Memang, ini masih periode musim berburu. Namun tak ada yang menyangka badai datang secepat ini di Alaska, apalagi di bagian selatannya, sebuah kota kecil Calaron River. Sebagian dari mereka harus terjebak dengan rutukan yang sama di rumah, di hutan, dan di ruangan yang sama dengan Lou.
Gadis bermata secerah walnut itu merenggangkan tangannya setelah tiga jam berkutat dengan mesin kasir. Ia mendelik ke arah jam dinding bulat berlatar belakang ‘Beaches’ kesayangan Mr. Gian, yang menggantung di atas pintu masuk G-Coffee. Pukul 11.45 siang. Sebentar lagi waktu pergantian shift sementara.
Masih ada 10 menit tersisa. Dari meja kasir ini Lou Wentworth masih memperhatikan sepasang penikmat kopi yang duduk tidak jauh darinya. Lou tahu mereka bukan pemburu atau pemilik sauna. Pembicaraan di atas meja itu hanya berputar mengenai cara mencukur bulu kaki, salon kecantikan, sepatu sport yang baru dibeli, hingga pancuran air yang tersendat minggu lalu. Si wanita nampaknya mati-matian menjelaskan tentang betapa pancuran air itu sangat mengganggunya, terutama ketika fungsi penghangatnya menghilang.
Sebenarnya, tidak ada satu pun dari pasangan itu yang benar-benar menikmati kopi yang sudah tersaji sejak tadi. Bukan karena kopi itu tidak enak diminum di cuaca dingin, hanya saja aura membosankan pasangan itu membuat acara minum kopi yang harusnya nikmat menjadi mengerikan.
Garis senyum dan ekspresinya tumpul. Ritme hentakan kecil kaki menguat. Telapak kaki, dagu, dan tangan sejak awal condong ke arah pintu keluar. Dia juga menggenggam erat sapu tangan biru muda dan melirik arloji ponselnya dua kali diam-diam. Lou mendesis pelan. Itu artinya, obrolan membosankan mereka akan segera berakhir.
Satu menit setelah Lou berdeduksi, si pria bermantel bulu di sana berdiri, memapangkan wajah sedih yang dipaksa setelah bersusah payah mengekspresikannya sejak setengah jam yang lalu. Lou harus menyipitkan mata karena mual melihatnya. “Maaf, Elanor. Nenekku terkena Epilepsi, dan kurasa dia membutuhkanku sekarang.”
“Kau bilang nenekmu sudah meninggal?” si wanita mendengus sambil mengibas rambutnya. Ah, rupanya wanita itu sudah tahu dia sering berbohong.
Si pria mengernyitkan dahi sambil mendecak pelan, “Nenek dari iparku yang meninggal. Ayolah, Elanor, kau bilang kau bisa memahamiku. Kau tahu betul aku sangat mencintaimu, kan?” suara seperti itu membuat Lou membayangkan penipu amatir yang berusaha membobol markas pertahanan tentara dengan kunci berlipat ganda. Kedengaran konyol dan menggelikan.
Si wanita memilih menyesap kopinya dibanding menjawab. Pria itu menarik tas gendong dari kursi, mengecup bibir kekasihnya, kemudian melangkah ringan melewati Lou menuju pintu keluar. Sebelum angin dingin masuk melalui pintu yang terbuka, pria itu memapangkan tarikan senang di bibir, dan Lou menyadari itu dengan jelas.
Si wanita beranjak dari duduk tidak lama kemudian, lalu membayar menu yang ia pesan.
“Aku belum mendapat bill untuk dua kopi dan satu Croissant,” kata si wanita dengan suara tertahan. Ia menyerahkan sebuah kartu kredit pada Lou. Tangan mereka bersentuhan. Dingin. Jantungnya pasti berdetak cepat.
Lou menekan layar komputer di depannya lalu mencetak bill tagihan. “Jadi biar kutebak, kau akan mengejarnya?”
Mata si wanita membulat, kaget, dan tergagap malu mengetahui Lou bisa menebak pikirannya. “Ti--tidak.”
Meski tahu wanita bernama Elanor bermaksud sebaliknya, Lou membalas dengan anggukan pelan, berusaha keluar dari permasalahan rumit yang sebenarnya sama sekali bukan urusannya, tetapi Lou tidak tahan. “Jangan dikejar. Laki-laki itu sembilan puluh persen kemungkinan berselingkuh. Kau hanya akan berakhir sakit.” Lou tersenyum menenangkan lalu menyerahkan kembali kartu kreditnya.
Air muka wanita itu memerah. Ia mengambil cepat kartu kredit dari tangan Lou, “Aku sudah menduganya,” katanya berkaca-kaca, kemudian bergerak terburu-buru menembus badai hujan, mengejar kekasihnya, yang sesuai dugaannya kini sedang berjuang untuk menjemput wanita lain.
Aaron Rashka, pemuda imigran manis dari Nepal yang sejak tadi berdiri di dekat mesin gilingan kopi bergerak menuju meja kasir. Ia melempar gelengan kecil pada gadis bermata walnut yang berdiri di sana. “Kau akan pusing jika terus ikut campur urusan orang lain, Ms. Wentworth.”
“Aku tidak ikut campur, Aaron. Aku hanya mencoba menyelamatkannya. Kau lihat, kan? Pria berengsek itu bahkan tidak mau membayar kopinya sendiri,” Lou berkata dengan nada tidak terima.
Shiftnya berganti. Lou memijat lengannya kemudian beranjak ke Rest Room dan duduk di kursi tinggi. Ia hanya butuh sandaran di atas meja untuk beberapa menit saja, mata dan kepalanya terasa lelah.
Aaron mengeluarkan kotak berisi roti isi dari lokernya, kemudian menarik sebuah kursi tinggi yang sama. “Dari mana kau tahu pria itu selingkuh? Kalau deduksimu itu salah, bagaimana?” Ia bertanya dengan nada menuduh, seolah Lou sudah memperparah takdir mereka.
Gadis itu mengangkat bahu sambil melirik isi kotak makan di sampingnya. Air liurnya hampir menetes. Seolah mengerti, Aaron menyodorkan potongan roti gendut berisi daging cacah, tomat segar, keju cheedar dan irisan bawang Bombay. Lou menerima potongan roti gendut itu sambil berkata, “Trims. Pria itu pembohong, Aaron. Parfum di sapu tangan yang dipegangnya, dengan parfum yang dipakai pacarnya tadi berbeda. Aku merasakannya saat mereka melewatiku. Sejak awal dia sudah tidak nyaman. Meski aku bisa memahami kenapa laki-laki berengsek itu melakukan hal seperti tadi."