Sleeping Beauty

Adhita Mariani
Chapter #2

THE GLOWING LIGHT

Lou tak tahu pasti sudah berapa lama ia berjalan. Ia menghitung-hitung kemungkinan sudah setengah jam lebih. Kakinya mulai pegal. Sejauh ini yang ia lewati hanyalah jalanan basah dan pepohonan lebat. Hutan tropis ini menenangkan, tapi Lou tidak seratus persen mempercayainya. Suara kicauan burung pipit terdengar nyaring, tetapi juga bisa membisingkan suara kepakan elang di belakangnya. Binatang pengerat menyenggol semak dan dari ujung matanya, Lou bisa melihat rusa cokelat melompati ranting patah dengan ringan. Satu hal yang ia sadari, hutan ini sudah pasti menyimpan hewan buas sebagai puncak rantai makanannya.

Pepohonan di daerah ini berukuran raksasa, setidaknya yang terendah berukuran sepuluh kali lipat dari tinggi tubuh Lou. Ia tidak mengenal vegetasi rindang yang ada di sekelilingnya, hanya akar-akar berlumut yang menjuntai dan mencuat ke atas tanah yang berhasil membuat kepalanya mengingat serial National Geographic episode eksplorasi hutan Amazon. 

Lou terus melangkah di atas jalan setapak dan beberapa meter dari sana ia melihat tekstur tanah mulai mengering dan menguning. Rumput di tanah itu juga berwarna kekuningan. Dengan hati yang lega Lou melangkah lebih lebar.

Saat gadis itu berhasil mencapai ujung jalan setapak, ia disambut dengan terpaan angin angin kuat tapi sejuk. Lou sontak menghentikan langkah, menyadari bahwa dirinya sudah berada di ujung jurang yang tinggi. Sangat tinggi. Lou bergidik ngeri sembari memicingkan mata saat silauan cahaya matahari menyoroti wajahnya. Perlahan setelah beberapa saat menyesuaikan diri, ia membuka mata dan melotot kaget.

“Ini di mana?” gumamnya tanpa sadar.

Di bawahnya terpampang sebuah bentang alam kompleks dan sebuah perkotaan. Kota itu terlihat modern dari sini karena Lou bisa melihat pantulan kilauan cahaya matahari dari gedung-gedung tingginya.

Gadis itu berdecak kagum. Matanya terbuka lebih lebar dan ia hampir bisa melihat semuanya. Ada pegunungan jauh di bagian utara, pantai di bagian selatan, perkotaan di timur, dan di belakangnya, bagian barat adalah hutan. Ini seperti hampir semua elemen dijadikan dalam satu kotak!

Lou berdiri takjub tak berkedip selama beberapa saat, sampai tiba-tiba ia jatuh tersentak ke belakang. Gadis itu mengaduh dan menoleh sekelilingnya dengan cepat. Tidak ada siapa pun atau apa pun. Apa yang menabraknya tadi?

Setelah menyadarkan diri dari kekosongan, dari kejauhan, Lou melihat siluet cahaya berpendar hijau melesat kencang ke arahnya. Lou minggir ke ujung tebing dengan hati-hati. Wajah termangunya kini menyaksikan cahaya-cahaya berpendar itu terbang dalam kecepatan tinggi masuk ke dalam hutan, menembus angin di atas dahan-dahan yang lebat. Lou bergidik ngeri. Ia harus pergi dari sini, pikirnya.

Lou memutar mata dan menemukan sisi tebing menurun tajam tidak jauh di sebelah selatan. Mustahil. Ia tak akan bisa turun lewat sana. Apa ia harus kembali dan mencoba masuk ke gerbang emas tadi? Tidak. Lou tidak mau mengambil risiko berhadapan dengan cahaya berpendar hijau aneh di tengah pepohonan lebat seperti tadi. Tidak ada jalan lain.

Kaki kecil Lou mulai melangkah hati-hati menuruni tebing curam di sebelah selatan. Tebing itu bukan terbuat dari batu, melainkan dari tanah. Lou melihat permukaan tanahnya halus meski cukup curam. Mungkin ia bisa meluncur saja dari atas dan mendarat di bawah dengan kondisi semua kulit-kulitnya lepas. Lou menggeleng cemas. Ia tidak bisa mengambil risiko untuk mati di tempat seperti ini.

Dengan hati-hati ia terus menuruni tebing curam itu sambil bertumpu pada ranting-ranting pohon kecil yang tumbuh di sisi-sisinya. Telapak kakinya mulai pedih. Jelas saja karena ia tidak memakai alas apapun. Seragam plumnya juga sudah mulai koyak di bagian bawah, lututnya lecet dan kakinya mulai bergetar. Tebing ini curam sekali.

Setelah tiga jam menuruni tebing, Lou mencoba meraih sebuah ranting pohon yang mencuat di depannya dengan cepat, namun hal itu malah membuat seluruh beban tubuh Lou tertumpu pada ranting pohon kecil yang diraihnya. Tubuh gadis itu langsung tersentak saat ranting pegangannya patah dan terluncur ke bawah dengan cepat. Lou memekik tajam.

Aaaaaakh!”

Gadis itu terpelanting hingga beberapa meter dari ujung tebing.

Uhuk! Akkh, apa ini?” katanya sembari bangkit dan meludah.

Tubuhnya terasa nyeri. Sejujurnya, permukaan tebing tadi tidak terlalu buruk. Semua ini menjadi bencana ketika Lou mulai panik dan membuat dirinya jatuh terpelanting dengan posisi kaki yang kemana-mana. 

Lou membersihkan wajahnya dari pasir. Pasir?

Tidak butuh waktu lama bagi Lou menyesuaikan antara kesakitan tubuhnya dengan kesadaraannya. Gadis itu mendarat di pantai. Beberapa saat matanya tidak berkedip. Lautan di seberang sana benar-benar biru kehijauan. Cahaya matahari yang menyilaukan terpantul di permukaan air, memberikan kerlap-kerlip seperti Kristal di atas gelombangnya. Lou juga bisa melihat beberapa pulau-pulau kecil di kejauhan di tengah laut. Seperti surga. Untuk kesekian kalinya Lou kembali berdecak kagum. Apakah ia memang berada di surga? Pikirannya berkelebat.

Lou berjalan cukup jauh selama beberapa jam dan ia ingin menangis. Ia tahu sesuatu yang tidak normal telah terjadi padanya, dan ia harus menghadapinya untuk bisa selamat. Pikiran tentang dimana ia berada, juga nasib kehidupannya dan sang adik membuat Lou tidak bisa menahan air matanya. Ia membiarkan air itu turun bersama dengan rasa takut dan cemas. 

Tidak lama setelah semua pemandangan indah namun mengerikan tadi ia lewati, untuk pertama kalinya Lou merasakan keberadaan manusia. Beberapa pasang mata menoleh padanya, sekedar melirik acuh dan kembali ke kesibukan mereka selagi bermain di air asin. Lou menyadari ada yang aneh dari manusia di pantai ini. Mereka berpendar. Beberapa orang berpendar merah dan beberapa lagi berpendar hijau.

Kenapa mereka bependar seperti itu? 

Lou berlari menuju tempat duduk sepasang kekasih yang sedang bersantai tak jauh dari tempatnya berdiri. Saat jarak Lou sudah dekat, ia cukup terperanjat melihat cahaya pendar yang begitu jelas keluar dari tubuh mereka.

Sambil mengatur napasnya, Lou bertanya pelan. Kakinya mulai terasa ngilu. “Um.. permisi, ini di mana, ya?” 

Kedua pasangan itu melihat Lou dengan tatapan aneh. “Di pantai,” kata si pria berpendar merah.

“Ah…” Aku tahu itu, Lou membatin. “Maksudku, ini daerah apa?”

“Trigaria.”

“Trigaria? Apa itu?” tanya Lou heran, seperti nama daerah di era Babilonia. Tidak mungkin ia tiba-tiba muncul di negara aneh itu. Kedua pasangan tadi tidak melunak. Mereka justru terlihat sangat terganggu. “Maksudku, di negara mana?”

“Trigaria.”

Percuma. “Um, apakah di sini ada kantor administrasi?”

Si perempuan berambut pirang yang berpendar hijau menoleh ke pria di sebelahnya yang berpendar merah. “Aku tidak tahu soal itu.”

Si pria terlihat menimbang sejenak, “Di kota, kurasa ada.”

Lou tersenyum cerah, “terima kasih. Ke arah mana jalan ke kota?”

“Ikuti garis pantai ini dan kau akan bertemu pelabuhan. Dari sana ambil jalan ke kiri.”

“Terima kasih,” kata Lou lagi, kali ini ia tersenyum lebih lebar. Perasaannya melega.

Lou mengikuti intruksi pria tadi dengan tenang. Ia sudah membuat rencana. Ia akan ke kantor administrasi, menanyakan dimana dirinya, lalu ke kedutaan dan meminta pulang ke negaranya. Bagus. Sejauh ini rencananya adalah rencana yang bagus.

Kaki-kakinya yang lecet terasa lembut memijak di atas pasir putih yang empuk, tetapi rasa itu tidak bisa mengaburkan sendinya yang memberontak. Lou menepi sebentar, duduk di bawah pohon kelapa tropis. Ia memandangi suaka alam di depannya. Suara ombak terdengar begitu jelas dan baru kali ini Lou melihat ombak bergulung-gulung di kejauhan. Warna langit oranye keemasan sangat cocok dengan paduan warna laut yang biru kehijauan, membuat harmoni tersendiri bagi penikmatnya. Beberapa orang berpendar hijau terlihat tertawa lebar sambil berselancar. Jika saja Aaron melihat ini, ia mungkin rela menjual kencannya dengan Elena demi menaiki papan pipih di gulungan ombak itu.

Pantai putih ini tidak buruk, malah benar-benar bagus. Orang-orang tidak bersinggungan, mereka berselancar ria di gulungan berbuih itu. Suara-suara teriakan bercampur dengan suara deru ombak, membuat kesadaran Lou melayang. Matanya mengikuti irama ombak, membuatnya menyaksikan dirinya tegak di atas gulungan itu, menyaksikan segalanya.

Lou kembali ke kesadarannya. Ia masih berada di tempat asing. Lou sama sekali tidak tahu apakah tempat ini berbahaya atau tidak, dan seketika semua ketakjuban tadi berganti menjadi kesuraman di matanya. Lou mendesah gelisah dan ia benar-benar tidak nyaman. Demi meredam itu, ia mencoba bangkit. Ada beberapa kerikil berwarna merah berserakan tidak jauh dari kakinya, dan ia memungut segenggam, menekannya agak kuat ke kulit, berharap batu dalam genggaman itu tetap membuatnya terjaga.

Satu jam berjalan, Lou merasa kekhawatirannya datang kembali ketika ia mendengar suara perutnya sendiri. Ia kelaparan. Makanan terakhir yang ia makan adalah roti isi yang diberikan Aaron saat makan siang. Lou mengaduh sambil mengusap perut. Orang-orang terlihat berlarian dan bersenang-senang, tetapi tidak ada satupun yang terlihat peduli. Bahkan tidak ada penjual makanan di pantai ini. Beberapa orang berpendar hijau terlihat memegang bungkusan makanan enak. Dari mana mereka mendapatkannya?

Lou berjalan dengan wajah meringis sambil memegangi perut. Gawat, ia semakin lapar. Setelah cukup lama berjalan, ia bisa melihat sebuah dermaga kayu berbentuk hurut T berjarak ratusan meter, namun sepertinya ia harus menunda perjalanannya sebentar.

Ketika frustasi dan rasa laparnya mulai memuncak, Lou mencium aroma ikan bakar yang lezat. Hidung yang sudah aktif seratus persen sejak beberapa menit yang lalu mulai tak peduli dengan kantor administrasi. Ia hanya akan mengikuti kemana aroma ini membawanya. Perutnya berbunyi lagi.

Lihat selengkapnya