Splash... Splash!
“Wentworth! Hey, Wentworth!”
Bahu mungil Lou bergerak. Gadis berambut cokelat itu mulai mengedip-edipkan mata dengan berat lalu mengusap wajahnya yang basah.
“Ugh... apa ini?” tanyanya dengan suara payau. Ia menguap sebentar lalu duduk tegak bersandar di kursi.
Elena mendecak sebal, “Aku harus memercikkan air ke wajahmu beberapa kali untuk membangunkanmu, tahu?”
“Membangunkanku?” ulang Lou dengan suara serak. “Oh, tunggu, aku kembali!” teriaknya lalu berdiri. Mata zambrudnya membulat.
Ia masih berada di kafe tempat ia biasa bekerja. Aroma udara yang menggantung sangat ia kenali. Cahaya matahari membias masuk malu-malu melewati jendela. Nampaknya badai kemarin sudah usai. Kursi-kursi dan meja masih tersusun rapi, lantai bersih dan dingin. Tunggu dulu, ia ingat sebelum jatuh ke hutan aneh itu ia sedang membersihkan kafe ini.
“Lihat, kau juga meninggalkan ember dan cairan pel di anak tangga. Menurutmu siapa yang membersihkannya?” omel Elena semakin sebal. “Bangunlah dan ganti bajumu. Kalau saja Mr. Gian melihat kau merusak seragam itu, kau pasti akan habis.”
Reaksi Lou yang tidak menggubrisnya sama sekali membuat Elena menarik kuat kedua pipi gadis itu. “Sadar, hei! Argh! kenapa di pagi hari aku harus sekesal ini? Untuk kali ini aku akan memaklumi karena kau sudah membantu tugasku kemarin. Tapi bisakah kau bertindak seperti orang normal? Oh, tuhan!” Elena menggerutu sembari bangkit dan pergi meninggalkan Lou.
Gadis berambut cokelat itu sudah sadar sepenuhnya. Ia tidak lagi mengantuk. Lou masih berdiri sambil memegangi pipinya. Dalam sejarah hidup ia tidak pernah lalai untuk urusan yang sedang ia kerjakan. Jika hal yang tidak penting saja tidak membuatnya ketiduran, bagaimana bisa ia ketiduran saat sedang membersihkan kafe. Lou menggeleng cemas sambil mengusap rambutnya yang lembab. Jelas, ada yang salah dengan dirinya karena jika perkataan Adam di Trigaria itu benar, maka ini adalah kali pertamanya ia bermimpi.
Ia ingat rentetan peristiwa yang baru saja terjadi. Semuanya, sejelas kristal. Tersesat di hutan, muncul di pantai, bertemu Adam, bercakap-cakap dengan nelayan dan jatuh ke laut.
Lou meringis saat tumitnya menyentuh tiang kursi. Ia menyadari ada luka di sana. Luka yang disebabkan oleh perjalanannya selama di Trigaria. Mata Lou membulat.
Tadi ia mendengar Elena berkomentar soal seragamnya. Lou bergidik ngeri. Pelan-pelan ia menunduk dan memperhatikan dirinya sendiri. Seragam itu sudah robek di bagian bawahnya, bahkan ada noda-noda lumpur di sana. Bagaimana mungkin?
Ketika ia sedang berkutat dengan kengerian itu, pintu kafe terbuka. Aaron menyelampirkan mantel bulu cokelatnya di lengan sebelum langkahnya terhenti saat matanya bertemu Lou.
“Whoa!” serunya kaget. “Lou, ini beneran, kau? Apa yang terjadi?”
Baru saja Lou akan menjawab, Elena memotong lebih dulu dari balik pintu. “Sepertinya dia terpeleset tadi malam. Aku melihat jejak cairan pel yang tertinggal di anak tangga dan dia juga ketiduran di sini.”
“Benarkah?” Aaron bertanya cemas. Ia memegangi bahu Lou seolah sedang melakukan pemeriksaan cedera patah tulang. “Tapi, kenapa kau basah dan pakaianmu robek begini?” matanya menyapu Lou dari ujung kaki hingga kepala.
“Mungkin dia tidur berjalan,” Elena menyahut lagi. Gadis berambut bob itu mengelap kembali meja di depan Lou yang sudah ia bersihkan sebelumnya. Jelas sekali ia tak suka Aaron hanya berdua dengan Lou di sana.
Lou hanya mengangguk pelan dan dengan pandangan khawatir ia berkata, “Aaron, kurasa aku mengalami mimpi yang aneh.”
Aaron hendak menyela, karena ia tahu rekan kerjanya itu tidak pernah bermimpi. Namun Elena menggeser tangan laki-laki itu dari bahu Lou lebih dulu. “Bisakah kalian bicara nanti? lihat, sudah hampir pukul 9 dan kalian masih seperti ini,” Elena memelototi Aaron. “Sana siapkan kopi dan makanan, Aaron. Aku sudah berjuang membersihkan tempat ini sejak tadi, dan kau!” Elena beralih menatap sebal Lou, “di lokerku masih ada satu seragam lagi. Pakailah. Pastikan kau tidak menghancurkannya.”
Aaron tersenyum kecil sambil mengusap lembut kepala Elena, membuat gadis itu tertunduk merona. “Elena benar, Lou. Jangan sampai Mr. Gian melihat kita seperti ini. Gantilah pakaianmu dulu.”
Lou mengangguk sembari berjalan menuju ruang ganti. Kepalanya masih dipenuhi pertanyaan. Kakinya terasa perih. Setelah mandi sebentar dan ganti baju, ia membalut luka lecet di tumitnya dengan plester lalu kembali ke ruang depan. Beberapa pelanggan sudah datang. Terlihat Elena mengambil alih kasir sementara. Lou mengintip dari balik pintu kaca dan melihat mobil Mr. Gian sudah terparkir rapi di sana. Lou mengusap dada. Ia tidak bisa membayangkan reaksi Mr. Gian seandainya ia mengetahui Lou lupa mengunci pintu kafe semalaman, tertidur sebelum menyelesaikan tugas, hingga menghancurkan seragam. Ia mungkin akan langsung di pecat saat itu juga. Dalam hati Lou berterima kasih pada Elena.
“Hei, minggir!” seru sebuah suara, mengagetkan Lou.
Gadis itu menunduk maaf lalu berjalan menepi. Ia tidak sadar jika sudah berdiri di depan pintu masuk sejak tadi. Lou mendelik ke pelanggan barusan. Pria besar berjas. Lou sudah menandainya. Laki-laki berumur 40 tahunan itu memiliki pandangan mata lebih sinis daripada serigala dan wajahnya bengis. Sudah dua bulan ini ia selalu memesan secangkir kopi yang sama dan duduk di beranda lantai satu. Tentu saja ia tidak luput dari perhatian Lou. Pria itu bukan penikmat kopi. Siapa yang rela menyisakan secangkir penuh kopi dan rela duduk di beranda depan saat musim dingin? Objeknya sama sekali bukan G-Coffee dan kenikmatannya.
“Wolfie,” kata Aaron ketika pertama kali melayani pelanggan bermata sinis itu.
“Maksudnya?” Tanya Lou bingung.
“Matanya mirip serigala. Mengerikan sekali. Makanya kunamai dia Wolfie.”
Lou setuju dengan nama yang Aaron berikan untuk pria itu. Belum ada banyak pelanggan hari ini dan Lou benar-benar tidak bersemangat. Ia ingin menceritakan mimpinya pada Aaron, berharap rekannya itu dapat memberinya pernyataan jelas bahwa ia harus segera memeriksakan diri ke rumah sakit.
Namun, sebuah membangunkannya dari lamunan, “Hei, Square Girl! Espresso dan Lasagna!”
Lou menoleh kepada satu pelanggan yang sudah duduk di kursi pojok dekat jendela. Laki-laki berkaca mata itu tersenyum sambil menaikkan tangannya.
“Baik, segera datang!” Lou menjawab dengan senyum tipis. Lou mengenalnya. Laki-laki bernama Billy itu tak lain adalah seniornya di kampus.
Tidak dielakkan lagi bahwa cukup banyak mahasiswa Calaron University yang mampir ke G-Coffee untuk sarapan, makan siang dan coffee break. Lou kadang tak enak hati. Banyak temannya yang datang sebagai pelanggan menanyainya perihal kuliah yang ditinggalkan. Lou juga kadang merasa iri melihat beberapa temannya lulus dengan nilai yang baik. Cita-cita Lou ingin menjadi seorang psikolog, namun harapannya harus ia buang sementara sampai kondisi keluarga dan dirinya membaik. Ia hanya bisa berharap kursi kuliah masih ditakdirkan untuknya.
Lou datang tidak lama kemudian dengan membawa secangkir kopi dan Lasagna di atas baki.
“Terima kasih," kata Billy ketika Lou meletakkan baki di atas meja. “Apa kau baik-baik saja?”
Lou mengangguk pelan. “Tentu saja, kenapa, Senior?”
“Kau agak pucat dan kulihat caramu berjalan sedikit berbeda. Apa ada yang salah dengan kakimu?” Billy bertanya sambil mendongak ke bawah, memeriksa kaki Lou.
Lou menggeleng, “Hanya luka lecet saja. Tidak masalah,” katanya sambil tersenyum sopan.
“Huh, di luar dingin. Kurasa salju akan turun lebih cepat,” Billy menyesap kopinya sampai terpejam, membiarkan rasa pahit dan hangat kopi turun ke perut. “Profesor Neeson menanyai kabarmu,” Billy berkata lagi.
Lou membiarkan oksigen tersendat beberapa milidetik di paru-parunya saat mendengar nama itu. “Apakah Profesor baik-baik saja? Terakhir kudengar ada masalah dengan hatinya.”