“Bagaimana bisa? Oh, Tuhan, bagaimana bisa aku kembali lagi!”
Lou melotot kaget bukan main. Lagi-lagi ia muncul di hutan tropis lembab ini. Aromanya, suara kicauan burung, keadaan matahari, suara binatang pengerat, dan ia masih bisa melihat tanduk-tanduk rusa di atas semak belukar. Ia mengenali semua itu. Mulut Lou menganga lebar tak percaya. Ia kembali muncul di tempat yang persis sama.
Hanya saja kali ini penampilan dirinya yang berbeda.
“Ini, kan, baju yang terakhir kupakai!” serunya panik. Wajahnya mengerut cemas. “Adam benar, aku masuk ke dunia mimpi!”
Jalan setapak di depannya terbentang. Ia tahu apa yang akan ia temui di ujung sana. Lou menggelengkan kepala. Setelah berdebat dengan hatinya selama delapan menit, ia memutar tubuh. Untuk kali ini ia akan mengambil risiko. Jelas ada sesuatu yang salah di dalam dirinya dan ia tidak bisa menerima begitu saja. Lou harus tahu apa yang terjadi.
Dengan langkah berat ia mendekati gerbang emas berukir di belakangnya. Kegelapan pekat gerbang itu membuat Lou bergidik ngeri, tetapi tiba-tiba ia ingat perkataan Profesor Neeson pada suatu waktu di kuliahnya dulu, “Ketakutan itu tidak ada. Kau yang menciptakannya. Namun, pemicunya banyak. Salah satunya Bahaya. Dia itu nyata.”
Lou meletakkan tangannya di dada, berharap tak ada bahaya sama sekali di sana. Pelan tapi pasti, kaki telanjangnya mulai melangkah masuk.
Tak!
Kakinya menendang sesuatu. Lou mengernyit cemas. Ia merasakan sesuatu yang kebas di permukaan gerbang yang gelap itu. Lou menggaruk kepalanya yang tak gatal. Kali ini kakinya mencoba menerobos lebih kuat dan berakhir sama. Ada sesuatu di sana. Seperti kaca yang lembut, namun tidak terlihat. Dahi Lou semakin berkerut dan ia berkeringat. Satu hal yang pasti dan Lou mulai menyadarinya. Dia tidak diizinkan untuk masuk ke sana.
“Aish! apa yang harus kulakukan?!” erangnya.
Ia mencoba mengingat-ingat hal penting yang mungkin ia lewatkan. Selain kepalanya terbentur kemarin, tidak ada hal spesial yang bisa membuatnya kemari. Itu berarti ada yang salah dengan otaknya!
Lou ingat percakapannya dengan Adam saat di pelabuhan. Dia jelas mengatakan sesuatu seperti, ‘Kau harus mengunjungi dulu Kota itu baru kau bisa ke sana hanya dengan membayangkannya,’ juga perkataan Nelayan Nam, ‘Nak Lou tinggal membayangkannya saja.’
Lou menimbang sejenak. Apa semua itu benar-benar bisa terjadi? batinnya.
Ia tidak percaya akan melakukan ini karena kemarin jelas-jelas ia meremehkan mereka.
Lou mengangguk mantap. Ia tidak punya pilihan lain. Tidak mungkin ia melukai kakinya di tebing curam itu dua kali. Lou menggeleng. Ia menutup kelopak mata sambil memikirkan rumah Adam. Hanya pantai dan rumah Adam yang bisa muncul di pikirannya sekarang. Rumah Adam menjadi tujuan utamanya karena laki-laki itu harus memberinya penjelasan lengkap mengenai tempat ini.
Beberapa detik setelah memikirkannya, Lou merasakan tubuhnya ditarik kuat dari atas. Tubuhnya melesat dalam kecepatan tinggi di atas angin. Ia lalu membuka mata, berencana mengintip apa yang terjadi padanya, namun ketika ia melakukan itu tubuhnya sudah berada di depan perapian bata di samping rumah Adam.
Rumah beratap jerami itu masih sama. Pohon kelapa dan pinus tumbuh jarang-jarang di sekitarnya. Ia benar-benar tiba di tempat yang ia pikirkan.
Seluruh penduduk dunia akan heboh jika tahu Lou bisa teleportasi. Sekarang, ia bingung karena ketakutan dan rasa takjubnya mulai bercampur.
Pandangannya menyapu.
"Adam!” panggilnya, setengah berteriak.
Lou memanggil namanya beberapa kali, namun tak ada satu orang pun yang keluar dari sana.
“Kemana dia? Apa mungkin memancing?” gumamnya pelan.
Lou melangkah ke pelabuhan. Untuk saat ini setidaknya ia yakin bahwa dirinya tidak menjadi objek percobaan. Misinya kali ini adalah mencari tahu segalanya tentang tempat ini dari Adam. Jika memang ini hanya mimpi, maka ia tidak perlu terlalu khawatir. Toh, ada masanya ia akan bangun. Yang akan menjadi masalah adalah jika ia harus terjebak di tempat ini selamanya.
Lou mengenali semua jalan yang ia lewati, termasuk tempatnya menumpuk kerikil. Ia memiringkan kepala dan memasang wajah ragu saat melewati tempat itu. Kerikil-kerikilnya tidak ada di sana. Bersih. Ia mengangkat bahu. Semua kemungkinan bisa terjadi mengingat betapa ramainya pantai ini.
Pelabuhan kecil di seberang tampak lenggang. Suara deburan ombak yang pecah saat menyentuh karang terdengar bersahut-sahutan. Beberapa nelayan terlihat baru saja melebarkan layarnya untuk melaut. Mata Lou menelusuri dan menemukan Nelayan Nam sedang mendorong perahunya menuju garis pantai.
“Pak Nam!” panggilnya cepat. Ia berlari mendekat ke sana.
Nelayan berwajah ramah itu menengok ke asal suara. Matanya menyipit sementara tangannya melepas topi katun di kepala, “Oh, kau... tunggu dulu,” ia meletakkan telapak tangannya di kening sebentar, lalu menjentikkan jarinya ke udara. “Nona Lou?”
Lou mengangguk ramah.
“Bagaimana bisa nona tiba lagi di sini?” tanyanya heran. Suaranya terdengar ragu dan penasaran.
“Kurasa aku sedang bermimpi, Pak, seperti kemarin.” Lou tesenyum kecut, “oh, iya, apa Pak Nam mau mencari ikan?”
Pak Nam mengangguk dengan pandangan ragu, “Apa nona sungguh menunggu di sini dari kemarin demi ikut saya ke kota? Aduh,” katanya pelan. Nelayan itu memandang Lou dengan perasaan bersalah. “Maaf sekali, nona, tapi saya sudah mengantarkan ikannya tadi.”
Lou menggeleng cepat, “Oh, tidak, Pak, saya tidak ingin ke kota, kok.” Ia menimbang-nimbang sebelum akhirnya bicara, “saya merasa... itu... ah, apakah Bapak tahu dimana Adam?”
Pak Nam kembali terlihat ragu, lalu tatapannya mencari. “Tadi pagi-pagi sekali ada. Kemana ya, dia?” ujarnya sambil menggaruk dahi.
“Ah, tidak apa-apa, Pak Nam. Lanjutkan saja melautnya. Maaf ya, saya rewel. Saya akan mencarinya ke sana!” sambar Lou sambil menunjuk kembali ke arah rumah Adam. Ia merasa tidak enak hati membuang waktu berharga Pak Nam. Nelayan mungkin adalah pekerjaan yang sulit dan pendapatan mereka tergantung seberapa cepat dan tangkas mereka dalam menangkap ikan. Lou tahu karena semua yang ada di pantai ini terlihat begitu tradisional.
Pandangan Pak Nam melunak, lalu mengangguk pelan. “Benar, nona Lou tunggu saja di rumah Adam. Jangan berkeliaran mencarinya. Dia pasti akan pulang, kok.”
Lou hanya mengangguk. Mata nelayan itu terlihat khawatir. Namun alih-alih ingin bertanya lebih lanjut, Lou memilih mundur menjauh.
Pak Nam tersenyum ramah, “nona aman, jangan khawatir,” katanya sebelum melambaikan tangan dan melebarkan layar perahunya.
Lou menundukkan badan, melepas perahu kecil Pak Nam berlayar ke lautan. Nelayan itu benar. Ia hanya pendatang di sini. Ia tidak boleh menimbulkan kekacauan lagi.
Matanya kembali menelusuri. Hari ini ombak tidak terlalu besar, namun orang-orang banyak membawa papan surfing. Lou mendelik bingung. Orang-orang yang memegang papan itu semuanya berpendar hijau. Sedang mereka yang berpendar merah hanya duduk santai di pantai. Ada yang berbaring, ada yang piknik. Di sini Lou mulai bisa melihat perbedaannya. Mereka yang berpendar merah tampak tenang dan kebanyakan dari mereka adalah pekerja, sementara orang-orang berpendar hijau lebih aktif dan tampak sangat menyibukkan diri.
Lou berjalan menjauh. Langkahnya membawanya kembali ke rumah Adam. Sesaat gadis itu terdiam memandanginya. Rumah itu terlihat berbeda dari rumah yang biasa ia temui di dunia nyata. Rumah berpanggung, meski cukup rendah. Dinding-dindingnya terbuat dari kayu silinder yang sangat kokoh. Atapnya dari jerami tebal yang disusun menyilang. Lou berdecak kagum. Rumah itu unik sekali. Baru kali ini ia benar-benar memperhatikannya. Adam punya selera yang bagus.
Sudah satu jam Lou duduk menunggu sambil menggoyang-goyangkan kaki di atas dudukkan kayu. Laki-laki itu tidak kunjung muncul. Perutnya mulai berbunyi. Lou melihat perapian bata di samping rumah masih tersusun rapi dan dingin. Sepertinya Adam belum menyalakannya sejak tadi.