Sleeping Beauty

Adhita Mariani
Chapter #5

DUA PANORAMA

Perkataan Adam barusan mengundang rasa panas di dada gadis itu. Setelah Adam mengatakan bahwa dirinya sudah mati, Lou tidak berkata apa-apa lagi. Adam sepertinya paham. Laki-laki itu menurunkan pandangannya lalu masuk ke dalam kamar.

Hatinya bergemuruh. Adam memegang dadanya yang terus memukul. Selama berada di Trigaria, tidak ada satu orang pun yang berhasil membuatnya merasa sehidup ini. Ingatan Adam masih sangat jernih meski dirinya sudah mati. Bahkan di dunia saat ia masih hidup pun, belum pernah Adam selega ini berkata jujur dengan seseorang. Ia selalu merasa berada dalam kukungan.

Kedatangan gadis itu saat pertama kali sebenarnya cukup menganggu. Adam sudah terbiasa dengan pertemuan tiba-tiba seperti itu. Sudah banyak ia bertemu dengan orang-orang berpendar hijau yang menyapa, sekadar mengajak bermain di pantai, bahkan mengklaim dirinya sebagai kekasih. Ia juga pernah bertemu anggota keluarganya dari dunia nyata saat mereka bermimpi. Namun itu hanya berlangsung selama beberapa saat, bahkan bisa hanya beberapa detik. Manusia tidak bisa mengontrol dirinya di dunia mimpi. 

Adam membenci itu. Ia membenci orang berpendar hijau. Ia membenci Para Pemimpi. Mereka hanya memanfaatkannya sebagai kesenangan sementara di sini, namun setelah semua berakhir, mereka akan melupakannya secepat jentikkan jari.

Tetapi bagi Adam, perbedaan gadis itu dengan Para Pemimpi lain begitu ketara. Pertemuannya kemarin berhasil membuat Adam bertanya-tanya, karena sampai akhir pun gadis itu masih ada di sisinya. Ia tidak menghilang seperti halnya Para Pemimpi lain. Tidak melupakannya secepat mereka yang berpendar hijau.

Gadis itu sempat menjadi harapan Adam untuk bisa menjadi seorang teman, tetapi saat gadis itu menghilang di laut, harapannya patah. Ia bahkan tak percaya saat mendapati diri memunguti kerikil yang ditinggalkan gadis itu. Adam bertingkah seperti anak kecil dan ia tidak menyukai tindakannya. Satu hal yang pasti, gadis misterius yang tiba-tiba muncul itu berhasil menggerakkan sedikit hati Adam yang sudah lama mendingin. Ia rindu kehangatan. Ia rindu diingat orang dari dunianya. Tidak bisa dipungkiri betapa hangat hatinya mengetahui gadis itu kini berada di dalam rumahnya.

“Adam, apa kau tidur?” gadis itu bersuara dari balik pintu.

Adam berdehem kecil, “Hanya mengganti kaus. Sebentar lagi aku akan keluar.”

Adam keluar kamar tidak lama kemudian. Ia mengenakan kaus berwarna kelabu santai dan celana selutut. Rintik hujan sudah mulai berkurang saat itu.

“Kenapa belum makan?” tanyanya ketika melihat kedua mangkuk sup di atas meja masih tertutup.

Gadis itu menggeleng kecil, “Sebenarnya, aku tidak suka makan sendirian,” ia berkata sambil tersenyum.

Bibir Adam membentuk huruf 'o' lalu membalas senyumnya.

Mereka duduk di depan perapian kosong sambil menyantap sup dalam diam. Beberapa menit kemudian, mangkuk sup itu sudah tidak berisi.

“Waaah,” gadis itu menepuk-nepuk perut. “Aku tidak tahu bagaimana kau meraciknya, tapi masakanmu ini sangat, sangat lezat.”

Adam melempar senyum simpul sambil mengangkat baki menuju dapur. “Aku selalu masak sendiri. Sewaktu hidup pun aku jarang membeli makanan.”

Lou berdehem kecil. Ia merasa tidak enak hati untuk membahas hal itu sekarang.

“Berapa lama biasanya Para Pemimpi tinggal di Trigaria?” tanya gadis itu, mencoba mencairkan suasana.

Adam terlihat berpikir, “Tidak pasti. Ada yang lama, ada juga yang sebentar. Untuk ukuran tidur normal, kira-kira hanya empat sampai lima jam. Mereka yang insomnia biasanya hanya tiba di sini untuk satu jam, dan untuk tukang tidur bisa menghabiskan sepuluh jam.”

“Sepuluh jam?” tanya gadis itu dengan mulut terbuka lebar.

Adam mengangguk kecil, “Iya, tapi ada saat ketika mereka benar-benar menikmati kegiatan mereka di sini, atau mengalami mimpi yang buruk, mereka akan langsung terbangun. Waktu di Trigaria dan di dunia berbeda. Dan sudah kukatakan, bukan, Trigaria ini kompleks. Mereka bisa membuat Trigaria sesuai kemauan alam bawah sadar mereka.”

Lou mengangguk mengerti. Ia pernah mempelajari tentang Struktur Alam Bawah Sadar sewaktu kuliah. Orang yang bermimpi umumnya tidak pernah melewati apa yang telah terjadi di hidupnya. Segala yang ia alami saat bermimpi pasti berkaitan dengan memori di otaknya meski mereka merasa berada di tempat berbeda saat bermimpi. Entah itu mimpi baik atau buruk. “Profesor Neeson pernah menerangkan itu," gumam Lou, nyaris pelan.

Namun Adam yang sudah berdiri di dekatnya menangkap ucapan gadis itu. "Profesor Neeson?"

Lou mengangguk lagi, namun kali ini ekspresi eksplisit Adam membuatnya tertarik. "Kau mengenalnya, Adam?"

"Aku tak tahu apakah dia orang yang sama dengan yang kau maksud,” Adam beranjak duduk di kursi bulat, "kurasa aku pernah bertemu dengan Pemimpi yang memiliki nama Neeson, di sini," Laki-laki itu mencoba mengingat, "Sudah lama, sepertinya kami bertemu lebih dari sekali."

Raut curiga gadis di depannya tak bisa disembunyikan, membuat laki-laki itu berusaha mengingat kembali nama Neeson lebih keras. Jika selama ini ia mengabaikan segala Para Pemimpi, namun untuk kali ini ia akan berusaha lebih.

"Um... kurasa ia beruban. Rambutnya berwarna perak. Dia mengatakan padaku namanya Neeson dan ia seorang pengajar."

Lou mengangguk intens. Mata hijaunya membulat. Namun ia membiarkan Adam menyelesaikan ucapannya.

Tatapan Adam menerawang. Ia ingat pertemuan pertamanya dengan pria tua itu di garis pantai tak jauh dari rumahnya. Saat itu ia memperkenalkan diri sebagai Neeson. Adam tidak ingat apapun lagi setelah itu. Ia cukup yakin pria tua itu menghilang. Pertemuan kedua terjadi saat ia sedang bertugas di gerbang Perbatasan Pegunungan untuk menghalau para perusuh, sekitar dua minggu sejak pertemuan pertama. Ia lebih banyak mengabaikannya karena Adam berpikir pria itu hanya bagian dari Para Pemimpi pada umumnya.

"Dia berbicara tentang 'Kedamaian'," kata Adam lagi.

Gadis itu bereaksi. Ia memajukan kursinya lebih dekat tanpa berkata apapun. Melihat ekspresi gadis di depannya yang begitu ingin tahu membuat Adam menyesalkan tindakan abainya dulu.

"Maaf, hanya itu yang bisa kuingat," kata laki-laki itu dengan nada menyesal.

Namun alih-alih melihat ekspresi kecewa, Adam justru melihat ketakjuban di mata gadis di depannya.

"Adam, inti ceritamu barusan, apakah Para Pemimpi bisa bertemu orang yang sudah mati secara nyata di sini?"

Adam memandang langit-langit sembari berpikir, "Bisa. Orang yang bermimpi memiliki memori terkuat di otaknya, yang tanpa sadar membuat mereka memikirkan orang yang sudah mati dan menghadirkan mereka di sini. Tetapi Para Pemimpi lain akan segera melupakan pertemuan itu saat mereka terbangun. Mungkin untukmu tidak berlaku. Kau bisa mengingat sebuah pertemuan dengan baik, karena kau berbeda. Kau hidup di sini."

Gadis itu menelungkupkan kedua tangan di dada dan bernapas begitu lega. Bibirnya mengeluarkan senyum hangat.

"Adam, kalau begitu aku mungkin bisa bertemu ibuku," lirihnya dengan mata berbinar. “Hidupku sudah cukup mengerikan di dunia nyata, Adam. Aku hanya berharap, kalaupun aku tidak bisa disembuhkan, hidupku di Trigaria akan lebih baik.”

Adam tidak langsung membalas. Ia hanya memandangi Lou dari samping. Rambut cokelatnya menutupi sebagian pipi, membuat Adam begitu ingin menyibaknya dengan lembut.

“Keburukan tidak akan bertahan lama, Lou. Kau berhak untuk hidup lebih bahagia.”

Tatapan gadis itu beralih ke Adam. Sekarang gadis itu bingung menyikapinya. Biasanya ia ahli dalam memalsukan keadaan dan perasaan, namun kali ini ia benar-benar bingung sebab laki-laki di depannya terasa nyata di saat kenyataan mengatakan bahwa laki-laki itu sudah tidak ada.

“Aku akan membantumu," katanya, "untuk sekarang mungkin waktu kita tidak banyak. Tapi saat kau datang lagi, aku akan membantumu.” Adam tersenyum hangat. Pupil laki-laki itu membesar saat mengatakannya.

Lou merasakan kehangatan menjalari perasaannya selama pandangan Adam tidak berpaling, dan hal itu berjalan selama beberapa detik. Lou tersenyum tulus. Ia masih ingin berlama-lama di rumah ini, bercakap-cakap, meminum teh, dan merasakan masakan Adam lagi. Tetapi waktunya telah tiba. Hujan sudah benar-benar berhenti di luar sana dan saat itu pendar hijau tubuh Lou bersinar terang. Perlahan-lahan sinar itu mengaburkan dirinya, lalu sepenuhnya menghilang. Adam menghela napasnya dengan berat. Kursi lipat di depannya kini sudah kosong.

Adam bertahan di sana selama beberapa saat sebelum segala tanda kehadiran gadis itu menghilang. Setelah itu, ia beranjak pergi. Ada hal yang harus ia siapkan saat Lou berkunjung lagi nanti.

***

Lihat selengkapnya