Lou membuka ponsel dan melihat arloji sudah menunjukkan pukul 9 malam. Gadis itu berusaha mengatur ritme napas yang mulai tak beraturan. Jalanan menuju Bonia School tidak sedatar jalan tol yang biasa ia lewati ketika liburan bersama keluarganya dulu.
Letak Bonia School cukup terpencil. Berada di Valentine Street, sisi barat Calaron River. Lou harus naik kereta hingga tiga stasiun lalu naik bus menuju persimpangan sebelum mengambil jalan tanjakan sejauh lima puluh meter, dan di tanjakan itulah ia berada sekarang.
Saat pertama kali mendapat informasi mengenai Bonia School dari brosur yang ia temui di dinding halte bus dulu, Lou langsung mencari informasi mengenai sekolah itu. Kesan futuristik bangunan di gambar brosurnya menarik mata Lou. Saat itu ia belum berniat untuk menyekolahkan adiknya di sana, tentu karena Cecile sudah bersekolah di lokasi yang lebih dekat dengan rumah. Namun saat perilaku ayahnya memburuk, Lou berjuang kembali membongkar tas lamanya demi mencari brosur itu. Saat ia mendaftarkan Cecile dua tahun silam, biaya sekolah sekaligus asramanya tidak jauh berbeda dari sekolah umum lainnya. Lou merasa beruntung menemukan brosur itu.
Bonia School memiliki ukuran yang cukup besar. Terdiri dari empat bangunan berdekatan yang membentuk persegi dan setiap gedung bangunannya memiliki tiga lantai. Bangunan utamanya adalah bangunan paling besar dengan bentuk simetris yang menjorok ke luar. Terdapat dua tiang penyangga besar yang menyangga tiap bagian atap yang menaungi jalan masuk hingga beberapa meter ke depan. Jika ia datang di pagi hari, mungkin ia akan menyaksikan kendaraan orang tua berhenti sebentar di sana untuk sekedar mengantarkan keperluan anaknya. Gedung utama dan gedung di sisi barat digunakan sebagai ruang belajar, sedangkan gedung belakang dan gedung di sisi timur digunakan sebagai asrama.
Lou menengadah, menyaksikan siluet pepohonan yang sudah tumbuh menjarang. Lampu-lampu jalan sudah terang di jarak sepuluh meter dari gerbang. Ia bisa melihat puncak bangunan Bonia School dari tikungan ini. Lou menarik napas lega. Ia mengingat lagi peristiwa tadi sore, sebelum memutuskan untuk mengunjungi Bonia School malam ini.
Setiap karyawan memiliki jadwal cuti dua hari dalam satu bulan. Setelah mendapat uang tambahan dari Rudy Lincons, Lou langsung menghubungi bosnya via telepon, meminta untuk menerbitkan jatah cuti bulanan. Tidak butuh waktu lama untuk Lou bernegosiasi karena memang jadwal cutinya sama sekali belum dipakai di bulan ini. Ia tidak mau menunggu lebih lama lagi dengan risiko semua uang hasil keringatnya di sambit sang ayah.
Tadi sore Lou sudah menelepon Ibu Kepala Bonia School, memberitahukan soal kedatangannya malam ini. Ketika ia sampai di pintu gerbang, seorang wanita tua berambut sanggul berdiri anggun. Pakaiannya terusan, berwarna hitam dengan list biru muda di bagian lengannya menandakan identitas Bonia School. Ada seroang perempuan muda berpakaian dress tidur berdiri di sampingnya. Perempuan muda itu tersenyum begitu lebar hingga menampakkan deretan giginya yang rapih, lalu berhambur menuju gadis yang baru tiba di gerbang.
Seluruh lelah dan pengap Lou menguap. Ia memeluk Cecile Wentworth erat. Rambut bergelombang kemerahannya terasa hangat. Lou melepas adiknya dan memandanginya lekat. Sudah satu tahun mereka tidak bertemu. Karena kondisi sulit keluarganya, selama ini Lou tak punya waktu selain bekerja mencari uang. Untuk pembayaran sekolah Cecile pun ia lakukan lewat jasa atau pos. Ini kali pertama ia nekat. Selain rindu tak terbendung terhadap sang adik, ia juga ingin melupakan beban hidupnya sejenak.
“Kau sudah sangat tinggi, Cecile, dan tumbuh sangat cantik,” mata Lou berkaca-kaca. Ia menelungkupkan tangannya di pipi halus perempuan muda itu.
Ibu Kepala tertawa pelan, nampak bahagia namun ia tak bisa menyembunyikan keriput lelahnya. “Apa kabarmu, my dear, Lou? Senang sekali bisa melihat momen ini. Ayo masuk, kita ngobrol di dalam saja,” katanya mengajak, lalu merangkul masuk kedua gadis itu.
Lou berusaha memulihkan matanya yang mulai memanas sejak ia tiba di gerbang. Mereka memasuki Hall dan di tempat terang ini ia bisa melihat jelas Cecile, adiknya yang sedang berjalan beriringan. Cecile Wentworth sudah tumbuh begitu dewasa. Usianya 14 tahun sekarang. Ia mengenakan piyama tidur khusus dari Bonia School berwarna salem, membuat kulit dan mata cokelatnya semakin terang.
Ibu Kepala membawa mereka ke sebuah ruangan yang berada di balik Hall. Ruangan itu memang khusus untuk tamu. Ada empat sofa yang nyaman, terletak di antara jendela. Di atas meja di tengahnya sudah tersedia minuman dan beberapa makanan kecil.
“Kalian tampak mirip,” kata Ibu Kepala ketika mereka sudah memasuki ruangan.
“Dulu juga banyak orang yang bilang begitu. Kami hanya berbeda warna rambut, iya, kan, Kak?” Cecile menyenggol kakaknya, menggoda.
Lou mengerlingkan mata sembari mengusap pelan kepala adiknya, “Keliru, Ibu Briggite. Cecile tumbuh lebih cantik dan lebih baik di sini.”
Briggite tak bisa menyembunyikan senyum. Perempuan tua itu memperbaiki letak kaca matanya lalu mengangguk pelan, “Bicara santailah dulu. Nanti Ibu akan kembali,” ia berkata ramah sebelum meninggalkan dua bersaudara itu di dalam ruangan.
Cecile menunggu sampai pintu tertutup, lalu memeluk hangat Lou sekali lagi. “Apa yang terjadi padamu, Kak? Kau tampak kurus. Apa kakak makan dengan baik?” ia bertanya khawatir.
Lou mengangguk lembut, “Kakak baik-baik saja, sungguh. Kau sendiri, bagaimana?”
Cecile beranjak menggandeng tangan kakaknya menuju sofa dan duduk di sebelahnya. “Lebih dari baik-baik saja, Kak,” perempuan muda itu tersenyum sembari menuangkan teh ke cangkir. “Ayah bagaimana, Kak?” ia bertanya dengan nada sedikit ragu.
Lou mengangguk kecil, menerima teh, lalu menyesapnya sebentar. “Keadaan ayah sehat dan baik, Cecile. Fokus saja untuk sekolahmu. Jangan khawatirkan hal di luar itu.”
“Aku ragu soal itu. Aku yakin ayah masih berulah lagi. Jangan bohong apapun padaku.”
Lou tersenyum hangat. Tujuan utamanya mengunjungi Cecile bukan untuk membahas hal menyakitkan. “Kakak tidak berbohong. Ayah memang baik-baik saja.”
Senyum di wajah Cecile terulas. “Lalu bagaimana dengan kuliah? Apakah Profesor yang kakak ceritakan dulu masih memberikan tugas yang sulit? Kakak bilang akan lulus secepatnya, kan?” ia bertanya dengan nada selidik.
Meski hatinya sedikit tak nyaman karena harus berbohong, Lou tetap tersenyum. Ia mengangguk pelan. Cecile, adiknya itu hanya mengetahui bahwa sang kakak aktif kuliah selama ini. “Profesor Neeson? Beliau justru banyak membantu. Hanya saja sekarang terkendala di riset. Doakan saja, ya, semoga kakak bisa lulus segera.”
Cecile mengangguk cerah. Hatinya benar-benar nyaman saat ini. “Apa laki-laki ikal itu masih menganggu kakak?” Akhirnya ia bertanya, memuaskan salah satu rasa penasarannya. Bukan karena sifatnya yang kekanakan, tetapi karena kakaknya itu selalu tertutup soal perasaannya. Terakhir sebelum ia pindah sekolah, seorang laki-laki tampan berambut ikal gelap terus mengejar dan mendekati kakaknya. Jika dulu ia menganggap hal seperti itu sebagai gangguan, sekarang ia berharap sebaliknya. Setidaknya kakaknya memiliki seorang teman dekat atau lebih baik lagi, seorang kekasih yang bisa menemani hari-harinya.
“Maksudmu, Aaron? Tidak, kok,” Lou berkata sambil tersenyum geli. “Aaron sudah punya kekasih dan dia lebih cantik dariku.”
Cecile mendengus mendengarnya, “Dia begitu karena kakak tolak.” Melihat Lou hanya menyesap tehnya, Cecile kembali melanjutkan, “aku sungguh peduli padamu, kak. Carilah teman sekaligus kekasih. Sampai kakak belum menemukannya, sampai saat itu juga perasaan khawatirku pada kakak berlanjut.”
Alis Lou bertaut, “Apa maksudmu, Cecile? Kan, kakak punya ayah dan adik yang menggemaskan.”
Cecile tidak menjawab. Pandangannya setengah mengintimidasi. Ia tahu kakaknya tidak sebodoh itu mengartikan ucapan.