Ditemukan di Antara Surat-Surat Mendiang Diedrich Knickerbocker.
Tempat menyenangkan nan melenakan, dengan mimpi-mimpi menerpa mata yang setengah terpejam; dan puri cantik di balik awan berarak, Selamanya memberi rona pada langit musim panas.
DI JANTUNG salah satu suak luas yang terletak di pesisir timur Hudson, di terusan sungai lebar yang oleh para pelaut Belanda dinamai Tappan Zee, tempat mereka selalu memendekkan layar dan memohon perlindungan Santo Nicholas setiap kali melintas, terdapat kota pasar kecil atau desa nelayan, yang oleh sebagian orang disebut Greensburgh, namun lebih umum dikenal dengan nama Tarry Town—Kota Tangguh. Nama ini telah lama diberikan, menurut kisah yang kami dengar, oleh para istri dari desa-desa sekitar, karena suami mereka punya kebiasaan untuk berlama-lama menangguhkan kepulangan dari kedai di desa itu pada hari-hari pasar. Bagaimanapun, aku tidak bisa memastikan kebenarannya, karena aku hanya menyampaikan apa yang kudengar demi melengkapi kisah ini. Tidak jauh dari desa ini, barangkali berjarak sekitar dua mil, terdapat lembah kecil atau lebih tepat disebut cekungan di antara bukit-bukit tinggi, yang menjadi salah satu tempat tersunyi di dunia. Selarik sungai kecil mengalir di sana, gemereciknya mendatangkan kantuk; dan siulan burung puyuh atau ketukan paruh burung pelatuk yang sesekali terdengar menjadi satu-satunya bebunyian yang memecah keheningan.
Aku ingat bahwa, ketika aku masih muda, perkenalan pertamaku dengan perburuan tupai terjadi di hutan kecil penuh pohon kenari tinggi yang menaungi salah satu sisi lembah. Aku berjalan-jalan di sana pada suatu siang, di tengah keheningan alam dan dikejutkan oleh raungan senapanku sendiri, yang memecah kesenyapan Sabat, diiringi gema panjang menggelegar. Kala aku mendambakan tempat untuk beristirahat dan melarikan diri dari dunia beserta segala masalahnya, dan diam-diam bermimpi melenyapkan sisa-sisa permasalahan kehidupanku, tidak ada tempat yang lebih menjanjikan daripada lembah kecil ini.
Berkat kesunyiannya, dan keunikan sifat para penduduknya, yang keturunan langsung para pendatang dari Belanda, lembah sempit nan terpencil ini telah lama dikenal dengan nama SLEEPY HOLLOW, dan para prianya yang berpenampilan sederhana disebut Sleepy Hollow Boys oleh seluruh penduduk desa di sekitarnya. Nuansa melangut seolah-olah menggelayuti tempat itu, melebur dengan suasananya. Sebagian orang mengatakan bahwa seorang dokter berkebangsaan Jerman menyihirnya pada awal masa pendudukan; sebagian lainnya menyebutkan bahwa seorang kepala suku Indian uzur, yang dipercaya sebagai nabi atau tabib di sukunya, menggelar upacara di sana sebelum desa ini ditemukan oleh Master Hendrick Hudson. Yang jelas, tempat ini masih dilingkupi semacam guna-guna yang memengaruhi pikiran orang-orang baik, menyebabkan mereka berjalan berputar-putar tanpa sadar. Mereka yakin telah memperoleh pengalaman menakjubkan, kehilangan kesadaran dan penglihatan, dan kerap dihadapkan pada berbagai penampakan aneh, juga mendengar musik dan suarasuara asing. Bermacam-macam cerita tentang tempat-tempat angker dan takhayul-takhayul beredar di sana; bintang jatuh dan meteor lebih sering melintas di lembah itu daripada di daerah-daerah lainnya, dan mimpi buruk, beserta kesembilan lapisannya, sepertinya senang menggunakan lembah ini sebagai latarnya.
Arwah terkuat yang menghantui daerah angker ini, dan sepertinya menguasai semua kekuatan yang melingkupi udara lembah, adalah penampakan sosok berkuda, tanpa kepala. Konon dia adalah hantu seorang prajurit Hessia, yang kepalanya hancur dihantam peluru meriam, dalam sebuah pertempuran tanpa nama saat Perang Revolusi, dan yang kerap terlihat oleh para penduduk desa tengah berkelebat di kegelapan malam, seolah-olah bersayap angin. Tidak hanya menghantui lembah, dia pun terkadang merambah ruas-ruas jalan di sekitarnya, terutama di dekat sebuah gereja tidak jauh dari sana. Beberapa ahli sejarah paling tepercaya di wilayah itu, yang telah dengan cermat menghimpun dan menyusun serpihan-serpihan fakta menyangkut arwah penasaran ini, bahkan menegaskan bahwa jenazah sang prajurit dikubur di halaman gereja, dan hantunya setiap malam mendatangi lokasi pertempuran untuk mencari kepalanya, dan ketergesa-gesaannya saat melintasi Hollow, secepat kilat di tengah malam, disebabkan dia sudah terlambat dan harus bergegas kembali ke halaman gereja sebelum fajar merekah.
Itulah cerita yang umum beredar tentang hantu legendaris ini, yang kemudian melahirkan bahan untuk banyak kisah liar tentang wilayah bersalut bayangan ini. Sosok hantu itu dibahas di samping perapian di seluruh desa dengan julukan Penunggang Kuda Tanpa Kepala dari Sleepy Hollow.
Sungguh luar biasa bahwa penampakan yang telah kusebutkan itu tidak hanya dikenal oleh penduduk asli lembah, tetapi terpatri di benak semua orang yang pernah berada di sana walaupun hanya sesaat. Sesadar apa pun mereka sebelum memasuki wilayah melangutkan itu, bisa dipastikan, sesaat kemudian mereka akan menghirup udara yang memabukkan dan mulai berkhayal, bermimpi, dan melihat penampakan.
Aku sebisa mungkin menyanjung-nyanjung tempat penuh kedamaian ini, karena ia berada di lembah Belanda kecil terpencil, walaupun termasuk di dalam wilayah Negara Bagian New York. Populasi, gaya hidup, dan kebiasaan penduduknya tetap sama, sementara arus deras migrasi dan pembangunan, yang menghadirkan perubahan besar-besaran di bagian-bagian lain negeri ini seakan-akan berlalu begitu saja dari pandangan. Tempat ini bagaikan riak-riak kecil di permukaan air yang tenang di batas jeram, tempat kita bisa melihat jerami dan buih hanyut perlahan, atau berputar-putar lambat, tanpa terganggu arus sungai. Bertahun-tahun telah berlalu sejak aku merasakan sendiri keheningan Sleepy Hollow, dan kini aku bertanya-tanya apakah aku masih akan menemukan jenis pepohonan dan tumbuhan yang sama di keteduhannya.
Di tengah keindahan alam ini, pada suatu masa dalam sejarah Amerika, katakanlah, sekitar tiga puluh tahun silam, se-orang pria malang bernama Ichabod Crane, terpaksa tinggal lebih lama, atau, sebagaimana ungkapan yang dipilihnya, "tertangguhkan", di Sleepy Hollow, untuk mengajar anak-anak di sana. Dia berasal dari Connecticut, negara bagian yang memasok orang-orang berjiwa pelopor dan hutan lebat bagi Amerika, dan setiap tahun mendatangkan ribuan tukang kayu ke perbatasan dan kepala sekolah ke pedesaan. Nama Crane, yang berarti burung bangau, sungguh sesuai untuknya. Pria itu jangkung semampai, dengan bahu sempit, lengan dan tungkai panjang, tangan yang seolah-olah menjuntai dari bahunya, kaki mirip sekop, dan perawakan agak bungkuk. Kepala kecilnya berpuncak datar, telinganya lebar, mata hijaunya besar berbinar, sementara hidung mancungnya bengkok, mirip ayam jago penanda cuaca yang bertengger di leher jenjangnya untuk menunjukkan arah angin. Melihatnya berjalan menyusuri lereng bukit di hari berangin, dengan pakaian longgar berkibar-kibar, seseorang dapat salah menyangkanya sebagai korban kelaparan atau semacam orang-orangan yang kabur dari ladang jagung.
Sekolah tempatnya mengajar adalah bangunan berlangitlangit rendah dengan satu ruangan luas, dibangun dari kayu kasar; jendela-jendelanya sebagian tertutup kaca dan sebagian lainnya ditutup menggunakan lembaran-lembaran kertas dari buku-buku tua. Saat tidak digunakan, bangunan itu diamankan dengan cerdasnya oleh rotan yang diikat di pegangan pintu, dan palang-palang di balik jendela; sehingga meskipun pencuri bisa masuk dengan sangat mudah, dia akan dipermalukan saat keluar—gagasan yang sangat mungkin dipinjam oleh arsiteknya, Yost van Houten, dari misteri perangkap belut. Sekolah itu berdiri di tempat yang agak sepi namun menyenangkan, di kaki sebuah bukit berhutan, dengan sungai kecil yang mengalir di dekatnya, dan pohon birch besar di salah satu sudutnya. Dari sana gumaman para siswa yang tengah belajar dapat didengar pada hari musim panas yang sunyi, bagaikan dengungan di sarang lebah; sesekali disela oleh suara berwibawa sang guru, dengan nada tegas, memerintah, atau jenaka, diiringi desau dedaunan birch, saat dia menegur beberapa pengikutnya yang datang terlambat di jalan pendidikan nan berbunga. Sesungguhnya dia pria bijaksana, dan selalu memegang teguh prinsip mulia, "Simpan rotanmu dan manjakan muridmu." Walaupun murid-murid Ichabod Crane bisa dipastikan tidak pernah dimanjakan.
Aku tidak pernah membayangkan, bagaimanapun, bahwa dia tipe penguasa sekolah keji yang gemar mempecundangi murid-muridnya; sebaliknya, dia menegakkan keadilan tanpa berniat mempermainkannya; mengambil alih beban dari pihak yang lemah, dan menyerahkannya kepada yang kuat. Anakanak yang tidak berdaya, yang sekadar melihat tongkat rotan sudah berjengit, dibebaskan dengan penuh pengertian; tetapi hukum ditegakkan dengan memberikan ganjaran berporsi ganda kepada bocah-bocah berdarah Belanda yang nakal dan pongah, yang kemudian cemberut, bersungut-sungut, menggerutu, dan menekuk wajah di bawah pohon birch. Dia menyebut tindakannya ini sebagai "mengembalikan tugas kepada orangtua mereka", dan selalu menekankan sebuah petuah sebelum memberikan hukuman untuk menenangkan bocah manja yang bertingkah sok pintar, "dia akan mengingatnya dan berterima kasih suatu hari nanti".
Di luar jam sekolah dia menjadi teman bermain anakanak lelaki yang lebih besar; dan pada siang saat hari libur, dia mengawal pulang anak-anak yang lebih kecil, yang kebetulan memiliki kakak-kakak cantik, atau ibu yang baik hati, yang dengan sukarela berbagi isi lemari makanannya. Kebiasaan itu benar-benar berhasil mendekatkannya dengan para muridnya. Upah yang diterimanya dari sekolah berjumlah kecil dan tidak akan cukup untuk membeli roti setiap hari karena dia bernafsu makan besar, dan, walaupun badannya kerempeng, memiliki kemampuan menelan sebesar ular anaconda; tetapi untuk menopang kehidupannya, Ichabod, sebagaimana kebiasaan di daerah itu, menumpang di rumah para petani yang anakanaknya menjadi muridnya. Dengan cara ini dia menyambung kehidupan sepekan demi sepekan, bergiliran di desa, bersama seluruh harta kepemilikan duniawinya yang terbuntal dalam sehelai saputangan katun.
Agar tidak membebani dompet para orangtua yang miskin, yang menganggap biaya sekolah sangat memberatkan dan para guru sebagai pemalas, dia memiliki beragam cara untuk menjadi menyenangkan sekaligus bermanfaat. Dia sesekali membantu para petani menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan ringan di ladang, menolong membuat jerami, memperbaiki pagar, memberi minum kuda, mengusir gagak dari padang rumput, dan membelah-belah kayu bakar saat musim dingin. Dia pun menyingkirkan seluruh wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya di kerajaan kecilnya, yakni sekolah, dan menjadi sangat lembut dan hangat. Kilatan sayang terlihat di mata para ibu ketika dia bercanda ria dengan anak-anak mereka, terutama yang masih kecil; dan seperti induk singa, yang tidak rela melepaskan domba yang telah ditangkapnya, dia sanggup duduk memangku seorang anak di salah satu lututnya dan menggoyangkan buaian dengan kakinya yang lain selama berjam-jam.
Penduduk desa juga sudah mengetahui bahwa dia memiliki keahlian lain, yakni menyanyi, dan dia memperoleh banyak penghasilan tambahan dengan mengajar anak-anak menyanyikan lagu rohani. Tanpa sungkan-sungkan, setiap Minggu, dia mengambil tempat di depan podium gereja bersama sekelompok penyanyi terpilih; di sana dia menjadi dirinya sendiri, larut dalam suasana. Tentu saja, suaranya jauh lebih nyaring daripada seluruh jemaat; dan gema yang terdengar dari gereja, bahkan hingga satu kilometer jauhnya, di seberang kolam berkincir air pada Minggu pagi yang sunyi, disebut-sebut berasal dari hidung Ichabod Crane. Oleh karena itu, bisa dibilang, dengan istilah "secara keseluruhan", sang guru yang berharga ini cukup diterima dan dianggap, oleh semua orang yang tidak mengerti tentang kerja keras, memiliki kehidupan yang mudah.
Sang guru secara umum dianggap sebagai tokoh penting di kalangan wanita desa; dia disukai karena memiliki pembawaan sopan, selera sangat bagus, dan berprestasi untuk ukuran pedesaan, dan, dalam kenyataannya, memiliki ilmu yang hanya bisa dikalahkan oleh pendeta mereka. Karena itulah, kehadirannya selalu mengundang bisik-bisik di meja minum teh, dan menyebabkan limpahan kue-kue atau gula-gula, atau, sesekali, parade perangkat minum teh perak. Pria berpendidikan kita ini pun sangat bahagia saat melihat senyuman terpampang di wajah gadis-gadis desa. Betapa mencoloknya dia saat berdiri di antara mereka di halaman gereja, pada jeda antara misa Minggu; memetik anggur untuk mereka dari sulur-sulur liar yang merambati pepohonan; membacakan semua kalimat yang tertulis di batu-batu nisan untuk menghibur mereka; atau berjalan-jalan, bersama sekelompok gadis, di pinggir kolam; sementara para pemuda desa membuntuti dengan malu-malu, iri terhadap gaya dan pembawaannya yang jauh di atas mereka.
Walaupun tinggal di desa, dia juga cukup gemar bertualang, membawa gosip setempat dari rumah ke rumah, sehingga kedatangannya selalu disambut dengan gembira. Maka oleh para wanita dia pun dianggap sebagai pria yang sangat berwawasan, karena dia sudah pernah membaca beberapa buku sampai tamat, dan menguasai "Sejarah Sihir New England" karya Cotton Mather, yang isinya benar-benar diyakininya.
Dia sesungguhnya merupakan perpaduan unik antara kekolotan dan kepolosan. Ketertarikannya akan cerita-cerita misteri, dan kekuatannya dalam mencernanya, sama-sama luar biasa; semua itu ditunjang oleh lingkungan tempat tinggalnya yang dikabarkan angker. Tidak ada kisah yang terlalu menjijikkan atau menyeramkan baginya. Kerap kali, untuk menghibur diri, setelah sekolah dibubarkan pada siang hari, dia berbaring di atas hamparan semanggi di pinggir sungai dekat sekolah dan membaca ulang kisah-kisah menakutkan karya Mather hingga senja menghadirkan kabut yang mengaburkan tulisan di bukunya. Kemudian, ketika dia terseok-seok menyeberangi rawa, sungai, dan hutan di temaram senja menuju rumah tempatnya menginap, setiap suara alam kian menghidupkan khayalannya—desah merana burung-burung dari bukit, jeritan memilukan katak pohon yang mengabarkan datangnya badai, decit burung hantu yang merisaukan hati, atau kawanan burung yang terkejut dan serempak meloncat dari tempat mereka bertengger. Kunang-kunang, yang tampak paling terang di tempat tergelap, sesekali juga mengagetkannya dengan kelebat sinar cemerlang yang mendadak memotong jalannya; dan saat kebetulan seekor kumbang besar memelesat dan menabraknya, pria malang ini pun sontak memasrahkan diri untuk menghadapi hantu, mengira dirinya baru saja dihantam oleh senjata rahasia penyihir. Satu-satunya penghiburannya di saat semacam itu, baik untuk menghalau pikiran buruk maupun arwah jahat, adalah menyanyikan lagu-lagu rohani, dan orang-orang baik di Sleepy Hollow, yang duduk di dekat pintu mereka malam itu, terkagum-kagum mendengar suara sengaunya, "dalam irama manis yang lama tertinggal", mengalun dari bukit atau di sepanjang remang jalan.
Sumber lainnya yang memenuhi hasratnya akan ceritacerita menakutkan untuk melewati malam musim dingin yang panjang adalah para wanita renta berdarah Belanda, yang memintal di samping perapian ditemani sederet apel panggang. Dengan penuh perhatian dia mendengarkan kisah-kisah mendebarkan mereka tentang hantu dan siluman, juga berbagai ladang, sungai, jembatan, dan rumah angker, dan utamanya sang penunggang kuda tanpa kepala, atau yang berjuluk Prajurit Hessia Berkuda dari Hollow. Sebagai imbalan dia memikat para wanita itu dengan anekdot-anekdot tentang penyihir, juga berbagai macam ramalan naas dan firasat yang terlihat maupun terdengar di udara, yang sudah sering terbukti di Connecticut; dan membuat mereka ketakutan dengan perkiraan akan datangnya komet atau bintang jatuh; dan menyampaikan fakta mengejutkan bahwa dunia sesungguhnya berputar dan setengah kehidupan mereka dihabiskan dalam posisi terbalik!
Tetapi, kesenangan terbesar diperolehnya bukan ketika dia duduk nyaman di sudut dekat perapian, di ruangan yang dipenuhi pendar api dan gemeretak kayu dari perapian dan, tentu saja, tanpa sesosok hantu pun yang berani menunjukkan hidungnya, melainkan ketika dia berjalan kaki pulang dengan diliputi ketakutan. Alangkah mengerikannya beraneka bentuk dan bayangan yang dihadapinya di jalan, di tengah kegelapan malam bersalju! Dengan tatapan nanar dia memandang setiap sorot cahaya yang membelah ladang dari jendela di kejauhan! Betapa dia terpana melihat semak-semak berselimut salju, mengiranya sebagai hantu yang menghadangnya! Betapa dia bergidik saat mendengar kakinya menginjak salju; dan enggan menengok karena takut mendapati sesosok hantu membuntutinya! Betapa dia kecewa saat melihat kelebat di antara pepohonan, namun sosok yang dikiranya sebagai Penunggang Kuda Hessia ternyata hanyalah seekor anjing hutan!
Semua itu, bagaimanapun, hanyalah kengerian malam biasa, buah dari pikiran yang berkelana dalam kegelapan; dan walaupun dia pernah melihat banyak penampakan, dan lebih dari sekali, ketika dia tengah menghabiskan waktu seorang diri, diganggu Setan yang tengah menyamar, siang hari memupus semua ketakutannya. Dia tetap menjalani hari dengan gembira, melupakan Setan dan semua karyanya, kalau saja dia tidak pernah berpapasan dengan sosok yang lebih menghadirkan keresahan di dalam diri manusia daripada hantu, siluman, dan seluruh penyihir di dunia. Sosok itu berwujud seorang wanita.
Di antara murid-murid musiknya yang berkumpul semalam dalam sepekan untuk belajar menyanyikan lagu rohani, adalah seorang Katrina van Tassel, putri semata wayang seorang petani Belanda kaya. Gadis itu berusia delapan belas tahun; tubuhnya sesintal ayam hutan; ranum dan lembut, pipinya merona bagaikan buah persik di kebun ayahnya, dan dia seorang bunga desa yang terkenal bukan hanya karena kecantikannya melainkan juga keimanannya yang teguh. Dia juga agak genit, sebagaimana yang tecermin dari pilihan busananya, gabungan gaya kuno dan modern yang kian memancarkan pesonanya. Dia mengenakan perhiasan emas murni yang dibawa oleh nenek buyutnya dari Saardam; penutup dada kuno berbentuk segitiga yang dipadukan dengan gaun dalam yang pendek menggoda, memamerkan kaki dan pergelangan tercantik di seluruh desa.
Ichabod Crane lemah terhadap lawan jenisnya; dan bisa dimengerti jika gadis semenawan itu segera merebut perhatiannya, terutama setelah dia berkunjung ke rumah orangtua gadis itu. Baltus van Tassel tua adalah contoh sempurna petani terpandang, bahagia, dan berjiwa merdeka. Memang betul bahwa dia jarang mengalihkan pandangan maupun pikiran melampaui pagar kebunnya; tetapi di daerah kekuasaannya itu, semuanya nyaman, bahagia, dan berkondisi bagus. Dia membanggakan kekayaannya tetapi tidak menyombongkannya, dan lebih suka hidup sederhana daripada bermewah-mewahan. Kediamannya berada di tepi Sungai Hudson, di salah satu lahan hijau subur nan teduh tempat para petani Belanda gemar bersarang. Sebatang pohon elm besar menaungi rumah itu dengan cabang-cabangnya yang rindang, dan di kaki pohon itu air terlembut dan termanis bergemerecik dari sumbernya, mengisi sebuah tong kecil, kemudian tumpah ke rerumputan dan hanyut ke sungai di dekatnya, yang mengalir di antara pepohonan alder dan dedalu cebol. Di dekat rumah itu terdapat sebuah lumbung sebesar gereja; setiap jendela dan celahnya seakan-akan nyaris meledakkan harta karun pertanian yang tersimpan di dalamnya; kelebat cambuk gandum terdengar di sana dari pagi hingga malam; burung layang-layang dan martin berkicau di pinggiran atapnya; dan deretan burung merpati, sebagian mendongak seolah-olah mengamati cuaca, sebagian menyembunyikan kepala ke balik sayap atau di dada, sementara sebagian lainnya membusungkan dada dan mendekur untuk memikat lawan jenisnya seraya menikmati sinar matahari di atap. Babi-babi gemuk berkulit mulus melenguh-lenguh di kenyamanan kandang luas mereka, tempat pasukan anak babi sesekali mondar-mandir, seolah-olah untuk mengendus udara segar. Sekawanan besar angsa seputih salju berenang di kolam dekat kandang itu, diikuti oleh sekawanan besar bebek; pasukan kalkun berbaris di halaman, dan berekor-ekor ayam mutiara lalu-lalang bagaikan ibu-ibu rumah tangga pemarah, menjeritjerit galak. Di depan pintu kandang tampak berjalan ke sana- kemari ayam jago yang gagah, sosok suami ideal, pejuang dan kesatria, mengepak-ngepakkan sayapnya yang berkilauan dan berkokok dengan penuh kelegaan dan kebanggaan—kadang-kadang mengais-ngais tanah dengan cakarnya, kemudian dengan murah hati memanggil istri-istri dan anak-anaknya yang senantiasa lapar untuk menikmati potongan makanan yang ditemukannya.
Air liur Ichabod mengalir saat dia membayangkan janji kemewahan musim dingin yang melimpah ruah ini. Di benaknya yang lapar, daging panggang berlarian ke sana-kemari bersama sepotong puding di perutnya dan sebutir apel di mulutnya; burung-burung merpati berbaring nyaman di ranjang pai, berselimut kulit mentega yang renyah; angsa-angsa berenang di kuah lemak mereka sendiri; dan bebek-bebek berpasangan di atas piring saji bagaikan mempelai yang berbahagia, bermandikan saus bawang. Saat melihat babi, dia membayangkan irisan bacon dan daging yang basah; saat melihat kalkun dia membayangkan kalkun panggang dengan sayap terikat, berkalung sosis gurih; bahkan si ayam jago tampak telentang di piring saji, dengan cakar terangkat seolah-olah meminta hal-hal yang tidak berani diminta oleh jiwa kesatrianya semasa ia bernyawa.
Ichabod larut dalam khayalannya. Ketika dia mengarahkan tatapan mata hijaunya ke ladang subur yang kaya akan gandum, gandum hitam, sorgum, dan jagung Indian, juga ke kebun yang sarat akan buah-buahan ranum di sekeliling kediaman van Tassel, hatinya mendambakan gadis yang akan mewarisi tempat ini. Sebuah gagasan pun bermain di benaknya, betapa hasil pertanian itu bisa dengan mudahnya ditukarkan dengan uang, yang bisa dijadikan modal untuk menaklukkan alam liar dan membangun istana di pedalaman. Tidak, dia sudah menyadari harapannya, yang melibatkan Katrina yang cantik, bersama anak-anak mereka mengendarai kereta yang penuh berisi peralatan rumah tangga, dengan sejumlah panci dan cerek menggantung; dia sendiri mengendarai seekor kuda betina yang diikuti anak jantannya, bertolak ke Kentucky, Tennessee—atau entah ke mana, hanya Tuhan yang tahu!