Setelah kelulusan SMA, aku merasa seperti membuka pintu baru dalam hidup. Tapi saat aku berdiri di depan gerbang Universitas Tokyo bersama Alya, rasanya seperti babak baru yang tak terlalu jauh dari bab sebelumnya. Hanya saja, kini kami bukan lagi anak SMA. Kami… mahasiswa.
Aku memandangi gerbang itu. Tertulis besar: Universitas Tokyo. Rasanya absurd. Mimpi lama yang akhirnya jadi nyata.
“Jadi… kita benar-benar masuk ke sini,” gumamku, hampir tak percaya.
Alya berdiri di sampingku, menggenggam map berisi berkas pendaftaran. Senyumnya muncul, tipis tapi hangat. “Tentu saja. Bukankah kita belajar keras demi ini?”
Suaranya yang lembut membawa ketenangan seperti biasa. Bahkan saat aku gugup, dia tetap jadi jangkar yang menenangkan.
“Hoiii!”
Suara Yuki memecah momen itu. Dia berlari ke arah kami bersama Nonoa.
“Jangan dulu masuk tanpa kami!” seru Nonoa sambil menata napas.
Kami tertawa bersama. Rasanya menyenangkan, seperti dulu—meski sekarang kami melangkah ke dunia baru.
Kami akhirnya berjalan masuk, melewati papan bertuliskan: Jurusan Ilmu Komputer – Fakultas Teknik. Hari ini bukan hanya langkah baru. Ini adalah awal dari perjalanan yang mungkin lebih sulit… tapi juga lebih bermakna.
---
Sementara itu, teman-temanku menapaki jalan mereka masing-masing.
Yuji dan Inuzuka—dua sahabatku yang energinya selalu bikin suasana ramai—sedang berkeringat di lapangan seleksi nasional. Aku sempat lihat video yang dikirim Yuji. Puluhan pemain muda berkumpul, berebut tempat dalam tim impian mereka.
“Nomor 14 dan 17! Maju!” teriak pelatih.
“Let’s go, Yuji!” Inuzuka terlihat penuh semangat.
“Ayo buktikan anak SMA juga punya taji!” jawab Yuji, senyum khasnya tidak pernah hilang.
Itu mereka banget—optimis dan pantang mundur.