Malam tahun baru menyelimuti Tokyo dengan udara dingin yang menggigit, namun tak ada satu awan pun menutupi langit. Cahaya lampu kota berpendar samar, menciptakan suasana tenang yang justru terasa mendalam. Di bawah langit itulah aku berdiri—Masachika Suou—dengan mantel tebal dan napas berembun, tepat di depan rumah keluarga Kujou.
Sejujurnya, aku sudah terbiasa menghadapi hal-hal yang tak terduga sejak mengenal Alya. Tapi hari ini... terasa berbeda.
Pintu rumah bergeser, dan untuk sesaat waktu seperti berhenti.
Alya muncul mengenakan kimono merah marun dengan rambut disanggul rapi. Angin malam berhembus pelan, membuat helaian rambutnya yang terlepas sedikit berayun. Cahaya lampu dari dalam rumah menyinari wajahnya yang tenang.
“Jangan salah tingkah cuma karena aku dandan, ya...” katanya tanpa basa-basi, meski aku tahu dia sadar betul efek penampilannya malam ini.
Aku mengangkat alis, lalu menanggapi dengan nada santai—seolah itu cukup untuk menutupi detak jantungku yang tak karuan.
“Aku udah salah tingkah bahkan sebelum kamu buka pintu.”
Dan seperti biasa, dia berpaling cepat. Tapi rona merah di pipinya tak sempat dia sembunyikan.
**
Di dalam rumah, hangat dan penuh suara. Aroma makanan rumahan menguar dari dapur. Masha—calon kakak iparku, katanya—sibuk mengatur hidangan sambil tetap terlihat tenang. Di ruang utama, Yuki dan Nonoa berseteru soal permainan kuis akhir tahun yang ditayangkan di TV, seperti anak-anak.
Aku duduk di lantai, membiarkan semua suara masuk ke telingaku—dan menetap. Ini bukan rumahku, tapi entah sejak kapan... rasanya nyaman.
Lalu, suara ketukan pintu terdengar.
Aku bangkit, dan ketika pintu dibuka, tiga wajah baru menyapa.
Izumi Yuu melangkah duluan, senyum canggung dan syal setengah melorot dari lehernya.
“Sori, sori! Hampir salah rumah—terus nyaris kepleset juga, hehe…”
Di belakangnya, Shikimori Michon—berdiri tegap, ekspresi seperti biasa: setengah bosan, setengah waspada.