> "Mereka bilang masa SMA adalah masa paling berharga. Tapi kenyataannya... masa paling tegang adalah saat ujian kelulusan."
---
Perpustakaan Sekolah – Sore Hari
Deretan buku berserakan di atas meja kayu besar yang dikelilingi oleh wajah-wajah tegang—beberapa pasrah, beberapa nyaris putus asa, dan sebagian lainnya... berusaha terlihat percaya diri. Aku duduk di antara Alya dan Yuji, mencoret-coret catatan terakhir tentang ekonomi mikro, meski pikiranku sudah ke mana-mana.
Jun, yang biasanya santai dan penuh senyum, kali ini terdengar serius.
“Kita semua harus lulus,” katanya, menatap kami satu per satu. “Minimal… biar nggak malu sama senior.”
Di seberangnya, Ameri tersenyum paksa. “Aku sudah mimpi dikejar soal matematika tadi malam.”
Asia menggeliat kecil di kursinya. “Aku mimpi buku bahasa Jepang menangis…”
Mirai bahkan tak bergeming. Ia sudah tertidur dengan kepala di atas buku, napasnya tenang. Aku menggeleng pelan. “Kalau kamu tidur terus, nilai kamu yang bakal menangis.”
Beberapa dari kami tertawa kecil. Di tengah tekanan ini, tawa adalah kemewahan yang langka.
---
Kelas 12B – Malam Semakin Dekat
Sore menjelang malam, aku kembali ke kelas. Alya duduk di bangkunya, menatap catatannya dengan ekspresi yang sulit kubaca. Tidak biasanya dia diam seperti itu.
“Alya,” panggilku pelan, berjalan mendekat. “Kamu oke?”
Dia mengangguk pelan. “Aku baik. Hanya... aku takut kecewa.”
Aku duduk di bangku sebelahnya. “Kalau kamu gagal, kita gagal bareng. Tapi kalau lulus, kita rayakan bareng.”
Dia menoleh padaku, dan untuk sesaat, aku bisa melihat keraguan dalam matanya yang biasanya begitu yakin. Tapi senyumnya—meski lemah—tetap muncul.
“Itu terdengar cukup adil.”
---
Atap Sekolah – Senja dan Angin
Aku naik ke atap, seperti biasa saat butuh udara. Ternyata, Izumi, Inuzuka, dan Yuji sudah ada di sana. Mereka duduk bersandar pada pagar, memandang langit senja.
Izumi memeluk lututnya. “Kalau lulus, aku mau ke universitas seni.”
Yuji menjawab tanpa ragu, “Aku? Timnas Jepang, tentu saja.”
Inuzuka menoleh, senyumnya khas seperti biasa. “Aku ikut audisi klub pro lokal… semoga diterima.”
Angin sore menerpa lembut. Kami semua memandang langit yang mulai berubah jingga.
“Tapi sebelum itu… ujiannya dulu, kan?” gumam Izumi.
Kami terdiam, mengangguk dalam hati.
---
Kantin Sekolah – Tawa dan Isyarat Perpisahan
Di kantin, aku melihat Shikimori duduk bersama Nekozaki. Mereka tengah berbincang, suara mereka lirih tapi penuh emosi.
“Aku nggak percaya kita hampir lulus…” ujar Shikimori.
Nekozaki mengangguk cepat. “Kurasa aku akan menangis waktu upacara kelulusan.”
“Kalau kamu nangis, aku juga,” jawab Shikimori.
Dari ujung meja, Hachimitsu ikut menyahut tanpa ekspresi. “Kalian bakal bikin banjir kantin.”
Tawa kecil meledak. Sekali lagi, momen ringan di tengah tekanan.