Slices of Thought

Ekkrisline
Chapter #2

Asumsi

Asumsi. Kesalahan-kesalahan terbesarnya dimulai dari asumsi. Asumsi bahwa orang itu membencinya, padahal orang itu sedang ada suatu masalah lain. Asumsi bahwa seorang yang lain lagi.. mencintainya, padahal mereka hanya bertegur sapa. Yang dia benci adalah dia penuh asumsi. Saking penuhnya, ia sesungguh-sungguhnya menyadari, tapi entah kutuk atau apa, semua ini berputar-putar di kepalanya, looping forever. Penuh. Lelah akan probabilitas yang tidak perlu dihitung, yang sesungguhnya malah jangan dihitung. Kepala yang penat akan perihal tak penting, lalu pengalihan, kemudian rasa bersalah dan berakhir pada rasa nelangsa. Rasa-rasanya ini haruslah berakhir. Patut. Musti.

Dalam probabilitas yang terhitung otomatis namun butuh daya dan energi, Laya duduk di kursi tunggu. Seseorang tersenyum padanya. Atau dia hanya merasa saja, mungkin wajah datar orang itu adalah tersenyum. Seperti gadis cantik semalam yang berpapasan berkali kali di koridor kantor, yang tampak judes, seakan memandangnya rendah. Jangan-jangan itu pun muka datarnya sendiri. Atau lagi, dia hidup di dimensinya sendiri. Kenapa pula kita sebagai suatu pribadi dan roh yang hidup musti terganggu, kenapa bahkan titik di sebuah cerita yang bagus mengharuskan kita mengubah cara penyampain - atau parahnya, alur cerita? Kenapa? Kenapa kita memikirkan sedikit kuning yang hampir tak kasat mata di baju yang orange? Sungguh melelahkan, untuk masalah sehari-hari. Yang mana kalau memang benar seseorang membencimu, lantas itu boleh membuatmu merasa jelek, merasa tak pantas, merasa tidak seharusnya di tempat tertentu. Adalah pilihan hati dan ego kita saja untuk memilih yang mana yang dapat berdampak pada diri kita. Jadi kalau ini menjadi masalah, dimanakah kerannya? Masing masing di tangan kita dan kita tidak perlu peduli apa dampaknya ke orang lain. Terdengar jahat? Ya ampun, you are not killing people anyway. You just make yourself not easy to harm. Yang kita putuskan adalah untuk tidak memikirkan penerimaan orang lain, atau yang juga mendasar, penerimaan diri kita.

Inilah ego, Laya akhirnya duduk tegak. Menyimpan handphone yang tadi digunakannya utk menghilangkan distraksi pikiran (dengan cara mendistraksi dirinya dengan hal lain, jenius haha). Ia membuka sebuah novel, berusaha dengan sepenuh tekad tidak akan peduli dengan persepsi beragam dari orang2 yang melihatnya membaca di tempat ramai. Dia bisa mulai dari sini.

Lihat selengkapnya