Hobi bercanda kelas gurame, Dissy, bisa jadi teman nge-jokes yang baik. Becandain apa aja gaskeun lah ya, dari yang receh-receh perihal parit baru di samping kostan atau kotoran ayam yang keinjek pas lagi hangat-hangatnya, nyerempet ke body-shaming yang diutarakan secara kocak dan terfilter dengan baik tanpa ketersinggungan, nama emak-bapak yang diplesetkan, keuangan, politik, keluhan klise kampretnya hidup ini, sampai ke dark jokes tentang kematian dan after-life. Sudah berdamai dengan diri sendiri meyakinkan Dissy dan beberapa orang yang seperti dia untuk bercanda tentang apa saja dengan cukup beretika, ya walaupun suka ga kenal tempat dan kuantitasnya sungguhlah amat sering, jokes yang lucu dan menyegarkan nyata-nyata membantu membuat hari lebih mudah dilewati dengan hadirnya senyum-senyum kecil. Bercanda dengan berbagai orang suka berbeda-beda; bisa jadi beda orang jadi beda genre, beda cara melemparkan jokes, beda tingkat kompleksitas atau bisa juga, beda tingkat ekstremitas. Tak ayal kadang-kadang dengan temen yang dekat sekali, Dissy nge-jokes tentang relationship bisa jadi sebegitu nyaman. Berhubung Kawayan sohib sengkleknya juga no-baper-baper club, mereka demen gandeng-gandengan panggil-panggilan beb-beb yang walaupun dilontarkan dengan lincah semata-mata untuk menambahkan aksen ayique dan menyalurkan rasa ke-jiji-jiji yang sungguh amat lucu. Lagipula sebenarnya tidak dilakukan berlebihan, hanya di saat-saat tertentu untuk mencairkan suasana. Hmm namun baru-baru ini, bercandaannya jadi masalah. Bukan masalah buat Wayan apa lagi dirinya secara spesifik, disamping sebagian besar teman-temannya sudah pada mengerti atau malah masa bodo, ada lagi golongan yang berpikir kelebihan. Masalahnya, mereka adalah teman dekat Dissy sendiri, Sandra dan Cecil. Saat ditanya sama sahabat-sahabatnya ini gimana dan ada apa yang perihal Wayan, Dissy akan seperti biasa menjawab bak orang terdekat Wayan, lagi-lagi dengan satu alasan sederhana saja, bercanda. Bisa terlihat dari gaya bahasa, bagaimana yang disampaikannya itu ada dengan tambahan hiperbola atau frasa-frasa lainnya. Lagian, pikirnya, toh Sandra dan Cecil juga kenal dekat dengan Wayan, mereka tau gimana recehnya kombinasi Dissy featuring Wayan yang kocag di tongkrongan. Namun setelah sekian lama, timbul benih-benih yang yang ga mengenakkan. Bercandaan Dissy ternyata diulas berlebihan, kok dia selalu kamu bela, kok dia spesial mulu sih padahal kami.., kok dia blablabla, perbincangan jadi panjang dan melebar implikasinya kemana-mana. Nah disini Dissy mulai merasa nggak nyaman, “loh..kan aku becanda gaes.”
Belakangan ini Dissy mulai berpikir gini, “apa… kelebihan ya?” Jujur buat dia mah ga ada perasaan spesial apa-apa, murni bercanda dan lagian ini teman dekatnya banget loh. Atau mungkin bercanda itu memang selalu berbatas seperti ini? Masalahnya batasnya abu-abu yang sulit diprediksi garisnya. Atau bercandaannya terlapis dengan sangat baik sampai teman-teman ceweknya ini mulai berpikir kalau pernyataan-pernyataannya serius? Wah, sungguh candaan kecil yang berakhir jadi masalah.
Tapi bisa jadi, Sandra dan Cecil pun sebenarnya bercanda. Namun… Dissy merasa tidak nyaman karena seolah di-framing seperti sungguhan. Candaannya pun jadi berkepanjangan, bukan lagi seperti patahan-patahan kecil menuju punchline seperti konteks penggunaan yang biasanya dipakai Dissy maupun Wayan.
Dissy yang agak ignorant seperti biasa akan mengabaikan celotehan-celotehan teman-teman ceweknya itu di tongkrongan teman sejawat. Namun suatu hari, Wayan tidak hadir. Dissy curiga sesuatu, namun karena Wayan memang kadang datang kadang absen ga jelas ya no big problem lah. Sampai beberapa kali Wayan absen dalam pertemuan yang keadaannya dimana Dissy pasti datang. Dalam berbagai kesempatan pula, di chat group dimana Sandra dan Cecil mulai menggiring isu romantisme Wayan dan Dissy, dan teman-teman yang lain mulai menjawab “ini serius?”, Wayan suka tiba-tiba hilang. Hedew, fix, batin Dissy. Wayan juga tidak nyaman.
Buat Dissy, bagaimana dia bercanda sudah diukurnya meskipun gak mateng-mateng banget. Tapi sepertinya, jokes bukan UNTUK semua orang. Jokes yang harusnya berhenti sampai disitu saja bisa jadi malah diteruskan a.k.a diperpanjang ceritanya oleh orang lain, berkembang di luar konteks yang dimaksud hingga malah jadi prasangka, menggiring kemana-mana. Sebenernya cukup ribet juga untuk menentukan, ke siapa dan bagaimana harusnya sebuah guyonan dapat disampaikan. Sudahlah ada isu ‘ketersinggungan’, malah ada lagi yang semacam ini. Padahal seyogyanya jokes tentu tidak salah, apalagi dengan niatan yang baik.
Sekarang ini, Dissy masih melamun di depan laptopnya di hadapan layar browser yang sedang membuka laman whatsapp web, tepatnya dia sedang dalam group teman-teman tongkrongannya. Ia barusan menulis suatu candaan lagi. Menurutnya benar-benar lucu dan dia yakin banyak yang akan terhibur hari ini. Untuk kali ini dia membacanya lagi dan lagi. Cukup yakin bahwa tindakannya mungkin lebih baik. akhirnya dia memencet kombinasi tombol yang jarang digunakannya, ctrl + A, delete.