Slices of Thought

Ekkrisline
Chapter #4

Mana Mereka Tahu

Pulang kuliah, Ferre cuci kaki kemudian menghempaskan tubuh gembrotnya ke atas kasur ukuran single di kosannya yang mungil. Sambil menahan lapar agar bisa makan siang sekalian makan malam, ia scroll twitter. Tertawa-tawa kecil pada jokes-jokes aneh yang ditemukan, kemudian beralih ke social media kedua, instagram. Di instagram, biasa, orang-orang dan petualangan-petualangan mereka yang terlihat lebih seru dari orang lain, tapi ini adalah salah satu sosial media dengan awareness paling tinggi untuk mengetahui whats new a.k.a current situation dari orang-orang yang kita kenal. Diisi oleh sebagian besar orang yang tidak terlalu tertutup, dan sebagian orang lagi yang menggunakan alat yang sama sebagai bentuk checklist kepada dunia bahwa sudah melakukan ini dan itu. Stories di instagram adalah fitur paling relevan untuk hal itu. Karena story sifatnya temporary, terkesan tidak terlalu riya (hahaha) namun memiliki peluang dilihat lebih besar dari pada post biasa. Oh ya kemarin, 23 jam yang lalu, Ferre juga update, iseng mengupload video 5 detik latihan basket yang highlight-nya adalah si Jupri jatuh kepleset dan dengan lantang berseru….‘djanco*k!’, sebuah kelucuan yang patut diabadikan. Sambil masih tersenyum-senyum me-re-play video yang sama, Ferre mengklik informasi seen by. 87 orang sudah melihat, dan satu nama membuatnya bingung. Ardian.

Bukan, Ferre dan Ardian bukan sepasang kekasih yang kini jadi mantan. Djijiq! Hahahaha. Melainkan... dulu mereka sahabat, berteman bagai ulat, berharap jadi bala-bala. (Nggak gitu malih!) Iyes, mereka dulu memang teman dekat. Walaupun katanya ga ada yang namanya mantan teman, apalagi mantan sahabat, putusnya pertemanan baik antara mereka membuat Ferre merasa layaknya mengalami putus cinta. Malah mungkin agak lebih nyelekit. Apalagi untuk dia yang sangat menghargai pertemanan dan sekaligus, membenci konflik. 

Throwback ke awal-awal kuliah, Ferre dan Ardian bagaikan sepasang biji. Bukan biji sembarang biji. Sebut saja... biji buah salak, yang selalu berbarengan, diselimuti canda tawa dan perbuatan manis satu sama lain. Kos-kosan mereka sebelahan. Karena Ferre punya motor, mereka selalu boncengan pergi-pulang kampus. Sering banget makan bareng, kadang kalau Ferre nggak punya lauk dia numpang makan ke Ardian. Ngerjain tugas bareng, dan ga jarang Ferre mendapat bimbingan belajar dari Ardian yang memang lebih cemerlang. Ferre menceritakan hidupnya yang flat, Ardian menceritakan kesulitan keluarganya. Ardian yang tampan (dan berani seperti Squidward ?) dan Ferre yang ‘gitu lah yak’, memang terlihat berbeda secara fisik. Tapi mereka berteman dekat dan terlihat saling menopang. Setidaknya begitulah yang Ferre rasakan.

Buat Ferre, Ardian adalah seorang teman yang menjadi complementary untuknya. Ardian good looking, dia nggak, Ardian pinter, dia nggak, Ardian banyak temen, dia nggak, hahaha kok banyak ga benernya si Ferre. Namun Ferre berasal dari keluarga harmonis, minim konflik, dan tidak punya masalah keuangan - stabil. Meskipun tidak cemerlang, Ferre bisa mandiri, dan walaupun tidak kekurangan uang, ternyata Ferre berhasil menambah tabungan dengan bekerja sampingan. Buat Ferre, deep down Ardian mungkin adalah ‘model’ fisik dan sosial yang ingin dia capai, tentu saja di samping flaw-nya. Namun tanpa Ferre sadari, Ardian pun ingin, berada di posisi ‘aman’ seperti Ferre. But they dont really talk about it. Untuk Ferre secara pribadi, ia merasa kasihan pada dirinya sendiri kalau dia mengakui dia sesungguhnya ingin tampil seperti Ardian atau bisa dengan mudahnya memiliki teman dari banyak kalangan. Apalagi, dalam level sosial Ardian, dia bukan hanya punya banyak teman, tapi berteman karib dengan orang-orang itu. 

Ferre pikir, cukup dia saja yang mengetahui rahasia akan desire pribadi ini. Toh sebenarnya bukan desire yang dia dapat kejar, melainkan hanya keinginan batin yang, contohnya untuk gud luking, sepertinya its a fate and just not run in his blood lah. Hehehe. Ferre tidak tahu kalau dia naif. Dia orang yang sebenarnya memperhatikan sekitar, tapi terlalu positif thinking, apa yang terjadi disekitarnya dia yakin ada alasannya. Loh nggak salah kan? Memang nggak salah, kalau dia bisa meresponinya dengan benar.

Beberapa bulan terakhir, Ferre mendengar cerita-cerita tidak sedap. Cerita yang dia harap tidak benar, demi kelangsungan hidupnya yang tenang di dunia ini. Satu dari antaranya adalah isu ‘Ardian suka nilep duit’ they said. Apakah Ferre terkejut? Dia terkejut. Terkejut bukan karena beritanya, melainkan karena dia tidak kaget. Segitu dangkalnya kah kepercayaannya terhadap sahabatnya sendiri. Masakah Ardian, teman yang sangat baik itu bisa melakukan hal-hal kaya gini? Ardian yang suka berbagi hal-hal yang dia miliki, sesedikit apapun kepadanya. Ardian yang suka bangunin kalau dia masih ngorok dan nyaris telat berangkat ngampus. Yang mengajarinya banyak hal? Yang mengenalkannya ke teman-teman baru? Malah atas dasar kebaikan-kebaikan itulah, dan yang paling besar: tidak mau kehilangan satu dari sangat sedikit teman dekat yang dia punya. Ferre tutup telinga. 

Beberapa bulan berikutnya, sejumlah teman mulai julid terang-terangan, mengucapkan kekecewaan dan cerita-cerita tidak menyenangkan langsung di lubang telinga Ferre. Ferre cuma bilang, “Iya, itu udah ga bener sih” tapi kemudian menambahkan kalimat maklum “Tapi keuangan keluarganya emang lagi ngk baik”. Beberapa teman lain meradang, satu atau dua mulai berbicara “Kita yang jauh aja dia tilep, nah apa kabar elu” Ferre cuma tersenyum. Kalian kira aku tidak tahu, batinnya. Tapi lagi, dia tidak bicara apa-apa. 

Lihat selengkapnya