SLILIT sang kiai adalah “kumpulan kolom”, bukan “buku”. Artinya, kumpulan ini bukan paparan gagasan yang sejak semula secara sadar disusun dalam suatu rakitan sistemik, sebagaimana lazimnya sebuah buku disusun. Ibarat pementasan di panggung, kolom-kolom ini adalah sederetan lagu yang ma-sing-masing mengalir sendiri-sendiri, meskipun penyusunannya diupayakan agar aliran-aliran itu bertemu di sana-sini dan membangun suatu keutuhan nuansa.
Cara membaca “kumpulan kolom” dengan demikian juga berbeda pola intensitas, konsentrasi, dan ritmenya dibanding dengan cara membaca “buku”. Kita bisa mendengarkan satu nomor lagu pada suatu sore yang senggang, kemudian esok harinya kita putar lagi kaset untuk sebuah lagu lain yang bisa tak usah ada hubungannya dengan lagu kemarin sore.
Juga, kolom bukan artikel ilmiah, makalah diskusi, atau lembaran kertas kerja. Kolom tidak berambisi untuk menyajikan sebuah argumen yang dibangun secara ketat dengan dukungan data empirik yang “akurat”. Kolom lebih merupakan obrolan yang ringkas, namun cerdas dan memikat.
Barangkali hal itu yang menyebabkan kolom tidak terjebak oleh bahasa-bahasa teknis yang kelewat akademis sehingga kaku dan kering. Sebuah kolom lebih suka menggedor perasaan dan kesadaran manusia tanpa harus terjatuh pada beban discourse akademis. Bahkan, terkadang berangkat dari “sekadar” fenomena keseharian yang mungkin remeh, meskipun tidak menabukan tema-tema makro, gelombang sejarah manusia, persoalan politik, ekonomi, serta problem-problem kebudayaan.
Sejumlah tulisan yang dihimpun dalam kumpulan ini berasal dari kolom-kolom yang dipublikasikan di media massa dalam rentang waktu yang panjang. Dan sesungguhnya, masing-masing bersifat otonom serta berdiri sendiri secara utuh. Oleh karena itu, pembaganan dan sistematisasi sebenarnya bukanlah sesuatu yang mutlak diperlukan. Siapa pun bisa memulai membaca dengan membelahnya di tengah, atau bahkan dari paling belakang.
Meskipun demikian, kolom-kolom ini dikumpulkan tetap dengan upaya sistematika, atas sejumlah pertimbangan.
Pertama, kolom-kolom yang berdekatan secara tematik, ketika dibaca berurutan akan menjanjikan sesuatu nuansa wacana sendiri. Dengan begitu, kedua, kita bisa mencoba mengenali obsesi sang penulis tentang ideal-ideal tertentu. Kita bisa pula lebih mengenali sudut pandang dan sikap penulis yang khas tentang berbagai macam persoalan.
Bagian Pertama kumpulan ini diikat oleh tema-tema keagamaan, dalam hal ini Islam, meskipun bukan tidak merambah perspektif religiositas dalam arti luas. Teristimewa berkisar pada— kami menyebutnya—“pe-relatif-an” syariat, di tengah situasi pemelukan Islam di mana syariat “dipuja” sedemikian rupa dan diposisikan paling substantif di antara dimensi-dimensi ke-Islaman lainnya. Penulis memaparkan berbagai ilustrasi untuk menggambarkan “keringnya penghayatan” karena “konsentrasi ritus” dan “kecenderungan menuhankan syariat, bahkan fiqih”.