Seorang perempuan dengan rambut coklat tampak tergesa sesaat setelah menerima panggilan telepon dari sahabatnya. Rambutnya yang terikat menjadi satu bergoyang ke kanan dan ke kiri seiring dengan langkahnya yang cepat. Di tangan kanannya menggenggam sebuah ponsel dan tangan kirinya berusaha mencari kunci mobil.
“Kau yakin itu Lucian?” Tanya perempuan itu setengah tak percaya. Setelah berhasil menemukan kunci mobil di atas meja belajarnya, dia dengan segera turun ke lantai dasar dan masuk ke dalam mobilnya. “Oke, aku akan segera ke sana.” Setelah mengatakan itu, perempuan dengan warna mata abu-abu itu langsung memutuskan sambungan teleponnya dan menancapkan gas keluar dari pekarangan rumah.
Hati perempuan itu berdebar-debar sembari ia menuju ke tempat yang diberitahukan sahabatnya. Dia menengok ke atas dan ia melihat awan-awan yang mendung dan udara yang berkabut. Sepertinya alam pun bermaksud untuk memberitahunya bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Tapi, Lucian bukan orang seperti itu. Perempuan itu berusaha menenangkan dirinya sendiri. Lucian tidak mungkin berselingkuh. Ia mempercayai Lucian, pacarnya, namun tetap saja rasa khawatir itu masih menyelimutinya. Ada banyak perempuan yang lebih cantik, lebih sempurna darinya. Apakah Lucian merasa bosan dengannya dan ingin mencari perempuan lain?
Ia mempercepat laju mobilnya, dan bahkan alunan lagu kesukaannya tidak bisa mengurangi rasa khawatir yang bergejolak di dalam dirinya. Beberapa menit kemudian, ia sudah dapat melihat plang nama cafe yang disebut oleh sahabatnya. Setelah memarkirkan mobilnya di depan cafe dan mematikan mesin mobilnya. Entah kenapa perasaannya menjadi semakin cemas.
Dia menyandarkan tubuhnya di jok mobil sebentar, berusaha mempersiapkan diri dengan apapun yang harus dihadapinya setelah ini. Dia berusaha menenangkan pikirannya dengan memejamkan mata namun yang muncul malah kelebatan bayangan Lucian yang sedang memeluk perempuan lain mesra dan berakhir menciumnya. Mata perempuan itu langsung terbuka lebar. Tidak, tidak, Lucian tidak mungkin melakukan itu. Mungkin Lucian hanya sedang bertemu dengan pasangan tugasnya, atau mungkin juga perempuan itu adalah saudara Lucian, atau, atau… Persetan semua itu! Yang pasti, Luciannya tidak mungkin selingkuh! Dan dengan berpegang kepada keyakinannya itu, dia akhirnya memberanikan diri untuk turun dari mobil.
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam dan menggenggam ponselnya dengan erat. Sambil menggumam doa-doa di dalam pikirannya, ia membuka pintu cafe itu. Suara musik jazz yang mengiringi kegiatan para pengunjung langsung menyambutnya, dan ia melihat banyak pasangan muda yang tengah berkencan. Adapun orang-orang yang bekerja sambil meminum kopi. Namun, ia tidak menemukan laki-laki berambut gelap yang sedang ia cari.
Perlahan, ia berjalan ke bagian belakang kedai itu. Hampir semua kursi terisi, namun suasana tetap nyaman dan tenang. perempuan itu memperhatikan satu per satu meja, mengharapkan bahwa sosok yang ia cari tidak ada, sayangnya...
Sesuai dengan perkataan sahabatnya, Lucian sedang berbicara dengan seorang perempuan cantik. Rambut pirangnya yang panjang digerai dan membingkai wajahnya dengan sedemikian rupa, netra birunya seindah langit yang cerah. Lucian tidak dapat melihat perempuan itu, namun ia dapat melihat mereka. Ia hanya bisa terdiam saat wanita berambut pirang itu memajukan wajahnya dan dengan gerakan secepat kilat bibirnya telah menyentuh bibir prianya.
Hati perempuan itu pecah seketika. Dia tidak dapat mempercayai apa yang dilihatnya. Tangannya menutupi mulutnya, menahan suara tangisannya agar tidak pecah, dan lalu satu persatu air mata mulai berjatuhan dari pelupuk matanya. Dan, saat itulah mata Lucian bertemu dengan miliknya.
“Idalia?” Tanya Lucian dengan nada tidak percaya. Perempuan yang dipanggil dengan nama Idalia itu langsung tersadar dari lamunannya. Dengan segera dia keluar dari cafe itu. “Idalia!” Seru Lucian seketika saat melihat Idalia sudah berlari meninggalkannya.
Pikiran Lucian kacau seketika. Dia sudah tidak peduli lagi jika teriakannya mengundang perhatian banyak orang atau cekalan tangan Brenda yang menahannya. Yang ada di pikirannya kini hanya Idalia. Sial! Kenapa dia bisa datang di waktu yang sangat salah?
“Lucian, kau mau ke mana?!” Seru Brenda kencang usai ucapan-ucapannya yang sebelumnya hanya dianggap angin lalu oleh Lucian.
Namun, yang kali ini pun juga tidak ditanggapi. Lucian langsung meninggalkan Brenda begitu saja. Bahkan, bukan hanya Brenda saja, ponselnya yang Lucian letakkan di atas meja juga ditinggalkan.
Lucian terlalu panik. Sangat panik. Rasanya pikirannya kosong seketika saat melihat mata abu-abu favoritnya itu menatapnya dengan sorot terluka. Lucian berlari secepat mungkin mengikuti Idalia, dan dengan segera mencengkram tangan Idalia sesaat sebelum perempuan itu dapat membuka pintu mobilnya.
“Apa lagi yang kau mau?” Idalia bertanya dengan tajam. Suaranya serak layaknya orang yang menahan tangis. Matanya berkaca-kaca, dan senyuman yang begitu dicintai Lucian telah hilang. Lucian tahu bahwa Idalia sedang berusaha untuk tampak kuat dan menutupi kesedihannya dengan amarah, namun Idalia tidak berhasil. Tetap saja air matanya menderai, dan ia menghapusnya dengan kasar.
Lucian mematung sesaat saat melihat Idalia yang tampak sangat kacau itu. Idalia jarang menunjukkan kelemahannya, namun saat ini, ia tampak seperti vas kaca yang dapat hancur dengan satu sentuhan. “Idalia, aku bisa menjelaskan.” Kata Lucian.