Slipped Away

Dominique and Aurel
Chapter #2

Slipped Away 1: Aftermath

Bip… bip… bip… 

    Idalia perlahan membuka matanya. Bunyi monitor jantung mengulang lagi dan lagi di telinga Idalia bersamaan dengan detak jam dinding yang berada di pojok ruangan. “Idalia!” Suara wanita itu sangat familiar, tetapi Idalia yang masih dalam keadaan setengah sadar tidak dapat mendengarnya dengan jelas.

    “Ya ampun, Idalia… bagaimana keadaanmu? Apakah ada bagian yang sakit?” Idalia memejamkan matanya sebentar lalu membukanya lagi. Ah, ternyata wanita itu adalah ibunya. “Cepat panggil dokter!” Signora De Luca, Signora De Luca, memberitahu suaminya, dan Signore De Luca dengan segera keluar ruangan untuk memanggil dokter yang bertugas untuk menangani Idalia.

    “Mamma,” suara Idalia lemah dan serak. “Apa yang terjadi?” Signora De Luca tampaknya sedang menahan tangis sembari mengelus tangan putri tunggalnya itu. “Kau mengalami kecelakaan, Idalia,” ujarnya, “mobilmu menghantam sebuah truk sampai terbalik. Syukurlah kau masih hidup. Ini benar-benar mukjizat!"

    “Aku bilang turun, Lucian! Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi, aku tidak ingin melihatmu lagi, aku tidak ingin berada di tempat yang sama denganmu lagi! Jadi, turunlah! Bila perlu mati saja sekalian!”

    Idalia tersentak, seakan-akan seseorang mendatanginya dan menonjok dadanya hingga ia tidak bisa bernafas. “Lucian,” bisiknya, “dimana Lucian? Mamma, apakah Mamma melihat Lucian? Lucian dimana?”

    Signora De Luca hanya hening melihat anaknya yang tengah kalut. Idalia berusaha untuk melepaskan infusnya, dan Signora De Luca segera mencegat tangannya. “Tidak boleh,” ujarnya dengan tegas, “kau baru saja siuman. Tunggu dokter datang untuk memeriksa keadaanmu.” Signora De Luca tersenyum paksa, namun Idalia tidak menyadarinya. “Setelah dokter datang, Ibu akan membawamu kepada Lucian, ya?”

    Nama Lucian bak obat penenang bagi Idalia. Mendengar sebutan nama Lucian, Idalia berhenti meronta-ronta dan menghela nafas dalam. “Baiklah.”

    Pintu kamar rumah sakit terbuka dengan pelan. Seorang dokter paruh baya masuk ke dalam kamar, diikuti dengan seorang suster yang membawa berkas-berkas. “Selamat siang,” ucap dokter itu dengan nada suara ramah, “saya Dokter Rossi. Bagaimana perasaanmu siang hari ini? Apakah ada bagian tubuh yang merasa sakit?”

    “Kepalaku pusing,” Idalia menjawab dengan jujur, “dan tubuhku sakit saat menarik nafas.” Sang dokter mengangguk. “Itu karena dua tulang rusukmu patah dalam kecelakaan mobil. Kepala pusing adalah gejala normal, jangan khawatir, dan rusukmu akan sembuh sebentar lagi.” Dokter Rossi menatap Idalia dengan rasa kasihan. “Apa yang kau ingat tentang kecelakaan itu?”

    Idalia berusaha untuk mengingat kembali kejadian sore itu. Ia pergi ke sebuah cafe setelah sahabatnya, London, menelponnya. Di cafe itu, ia melihat Lucian berciuman dengan seorang gadis bernama Brenda, lalu mereka bertengkar dengan hebat. Di puncak amarahnya, Idalia menyuruh Lucian untuk keluar dari mobilnya. Ya Tuhan, tolong biarkan Lucian baik-baik saja. Aku harus minta maaf… aku tidak bermaksud untuk melukainya.

    “Lucian tidak memperhatikan jalan.” Idalia hampir tidak mampu mendengar suaranya sendiri. “Kita sedang bertengkar, dan dia berkata sesuatu sambil melihat aku. Lalu, aku melihat sebuah truk yang semakin mendekati kami. Dan setelah itu…" Idalia tidak dapat menyelesaikan perkataannya, dan Dokter Rossi mengangguk dan tersenyum lega. "Syukurlah, ingatanmu masih cukup lengkap. Setelah tabrakan itu terjadi, salah seorang pejalan kaki menelpon ambulans untuk menolong kalian."

"Bagaimana dengan orang yang datang denganku?" Tanya Idalia. "Namanya Lucian Regio. Apakah dia baik-baik saja?" 

Kali ini, senyuman Dokter Rossi memudar. "Maafkan saya." Ujarnya, dan Idalia merasa dunianya berhenti berputar detik itu juga. "Kami sudah berusaha sekuat tenaga, namun Lucian Regio sudah meninggal pada malam kecelakaan. Jasadnya sudah dipulangkan kepada keluarganya untuk dimakamkan."

Suara Dokter Rossi terdengar sayup-sayup, seperti ia sedang berdiri di tempat yang sangat jauh. Idalia hanya bisa mematung, perkataan Dokter Rossi menggema di dalam pikirannya. Lucian Regio sudah meninggal. Jasadnya sudah dipulangkan kepada keluarganya untuk dimakamkan.

Jasad. Bukan tubuh. Idalia menggelengkan kepalanya cepat saat sebuah bayangan menyeramkan merayapi kepalanya. Tidak, tidak mungkin. Tubuhnya menggigil dan tangannya gemetar, dadanya terasa sesak seakan sesuatu tengah menahannya untuk bernapas. “Lucian,” lirihan Idalia benar-benar sangat menyesakkan untuk didengar. Air matanya tumpah seketika. Di atas ranjang rumah sakit itu, dunia Idalia terasa runtuh.

“Katakan ini tidak benar, Mamma.” Idalia menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. Memohon dengan sangat agar Mammanya berkata bahwa ini hanyalah candaan semata. Namun saat melihat pelupuk mata Mammanya yang kini juga digenangi air mata, Idalia tahu bahwa mereka tidak bercanda. Itu benar. Luciannya telah meninggalkannya.

Luciannya telah meninggalkannya. 

“Lucian!” Idalia sudah akan turun dari ranjangnya ketika kedua tangan Mammanya langsung merengkuhnya, menghentikan pergerakannya.

“Idalia, tenanglah,” ujar Mammanya memohon. Tangannya mengusap-usap punggung Idalia, berusaha menenangkan putrinya itu.

Tangisan Idalia tumpah seketika. “Lepaskan aku.” Idalia meronta-ronta di pelukan Mammanya. “Lepaskan aku! Aku ingin bertemu dengan Lucian. Aku ingin bertemu dengan Lucianku.” 

“Idalia,” lirih Mammanya. 

“Tidak Mamma, Lucianku tidak mungkin meninggalkanku. Dia berjanji dia akan selalu berada di sisiku. Dia berjanji dia akan selalu bersabar menghadapiku. Dia bilang, dia bilang, dia bilang dia tidak akan meninggalkanku.” Kecuali kau yang memintanya.  Tubuh Idalia membeku seketika saat mengingat perkataan Lucian. 

Kecuali  kau yang memintaku untuk pergi, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. 

Tapi, tapi…

Lihat selengkapnya