Idalia terdiam di atas ranjangnya dengan punggung disandarkan ke kepala ranjang. Matanya menerawang kosong dan alunan nada sedih yang memenuhi kamarnya semakin memperkeruh keadaan.
Hari dimana Idalia menyambangi makam Lucian masih terasa seperti mimpi. Semuanya masih terasa tidak nyata bagi Idalia. Rasanya seperti baru kemarin dirinya dan Lucian resmi berpacaran. Tapi sekarang dia harus menghadapi kenyataan kalau Lucian telah berpulang. Dan alasan terbesar kekasihnya itu meninggal adalah karena dirinya. Karena dirinya. Dada Idalia kembali terasa sesak.
Namun lalu, pikirannya terlempar ke kejadian beberapa jam yang lalu saat London bertingkah sangat aneh kepadanya. Ada apa sebenarnya dengan sahabatnya itu? Idalia semakin merasa terpuruk, biasanya London adalah satu-satunya sahabatnya yang selalu setia mendengarkannya bercerita, tapi kali ini London juga terasa jauh. Sorot mata London yang menatapnya penuh ketakutan juga masih terbayang di dalam pikiran Idalia.
Apakah kau bisa menyalahkan dia? Tanya suara sinis di dalam pikiran Idalia. Siapa juga yang ingin berteman dengan seorang pembunuh?
Tanpa dia sadari, di balik cela pintu kamarnya yang terbuka sedikit, Mammanya memperhatikannya sedari tadi. Di balik pintu itu, Mammanya juga ikut menangisi kehancuran putrinya. Apa yang harus dia lakukan? Apa yang akan terjadi kepada anaknya itu jika dia kembali membawa kabar duka cita kepada putrinya.
Signora De Luca menarik napas dalam-dalam. Dia mengusap air matanya dan mengusahakan sebuah senyuman. Mau tidak mau dia tetap harus menyampaikan kabar ini. Dia tidak ingin putrinya kembali dibebani dengan penyesalan lain.
Dengan sekuat tenaga, dia berusaha untuk tetap tegar. Perlahan tapi pasti, Signora De Luca mengetuk pintu kamar Idalia. Saat Idalia memberi izin, Signora De Luca membuka pintu kamar itu. Masih dengan sebuah senyuman paksa yang bertengger di wajahnya, dia mendekati putrinya. “Idalia,” panggilnya kepada putrinya itu dengan suara serak.
Saat melihat Idalia telah memusatkan perhatian sepenuhnya kepada dirinya, dengan berat hati, Signora De Luca mulai menyampaikan kabar buruk itu kepada putrinya.
***
London melakukan percobaan bunuh diri.
London melakukan percobaan bunuh diri.
London melakukan percobaan bunuh diri.
Idalia menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak, tidak mungkin. Untuk apa sahabatnya melakukan itu?
Dia berlari sekuat tenaga menuju ruang rawat inap yang telah diberitahukan Mammanya. Sesampainya di sana, dapat dia lihat Mamma dan Papà London tengah berdiri di sisi ranjang London. Mamma London tampak begitu muram, air matanya tak henti-hentinya meluruh sedangkan Papà London berusaha menenangkan.
“Idalia,” Papà London lah yang pertama kali menyadari kehadiran Idalia.
“Signor Candreva, signora Candreva,” Idalia menyapa sopan kedua orang tua London itu.
“Idalia, kemarilah nak.” Panggil signora Candreva, meminta Idalia untuk mendekat.
Idalia bergerak perlahan mendekati ranjang London. Dari tempatnya berdiri sekarang, dapat dia lihat betapa buruk kondisi London saat ini. Wajahnya tampak begitu pucat dan pergelangan tangan kirinya diperban. “Apa yang terjadi padanya?” Lirih Idalia. Ia tidak pernah melihat sahabatnya seringkih ini. Signor Candreva menengok ke arah istrinya yang masih menangis dan menjawab, “Ia mencoba bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya.”
Dada Idalia terasa sesak. Selama beberapa hari ini, ia terlalu fokus dengan penderitaannya sendiri. Tidak sekalipun ia mengirim pesan singkat kepada London ataupun menanyakan keadaannya. Meskipun London dan Lucian tidak dekat, tentunya London merasa bersalah karena ialah yang menelpon Idalia tentang pertemuan Lucian dan Brenda.
“Idalia, aku—” “Ada apa, London? Katakan saja. Apakah kau mau meminta maaf karena sudah menelfonku hari itu?”
Bagaimana London dapat mencurahkan isi hatinya kepada Idalia jika Idalia selalu memotong perkataannya? Apa yang ingin London katakan malam itu? Kau memang teman yang buruk, bisik pikiran Idalia kepadanya, teman yang buruk, kekasih yang buruk… seharusnya kau yang berbaring di ranjang rumah sakit itu, bukan London. Kaulah orang yang paling bertanggung jawab atas kematian Lucian.