“Maaf, apakah saya mengenal anda?” Tanya London ragu-ragu. Saat melihat perubahan raut wajah wanita itu, London langsung merasa ada yang salah.
Bodoh! Dia adalah mammaku.
Mata London langsung membulat sempurna saat suara di dalam tempurung kepalanya itu menggema. Ya Tuhan, bagaimana bisa dia lupa kalau saat ini dia adalah London.
“London, jangan bercanda sayang. Kau membuat mamma takut.” Ujar signora Candreva terbata-bata. Tubuhnya sedikit terguncang dan matanya menatap London lekat.
London yang ditatap seperti itu semakin gugup. Dia bingung bagaimana caranya memperbaiki situasi ini.
“Maaf,” London meringis dan memegang kepalanya, “kepalaku sangat pusing…” Signora Candreva menengok kembali ke pintu yang masih terbuka, menunggu sang suami kembali ke ruangan dengan panik. “Tahan sebentar lagi, sayang. Papàmu sedang memanggil dokter.”
London mengangguk sembari masih memegang kepalanya, dan suara di dalam kepalanya bernafas lega. Cerdik sekali kau, bisiknya, untung Mammaku sedang panik. Jika ia seperti biasa, kau tidak akan berhasil membohonginya. London menahan diri untuk tidak memutar kedua bola matanya. Berisik.
Tepat dengan perkataan Signora Candreva, tak sampai lima menit kemudian, seorang laki-laki dengan rambut pirang masuk ke ruangan bersama dengan seorang dokter perempuan. “Bagaimana perasaanmu?” Tanya wanita paruh baya itu dengan lembut. “Apakah Anda masih merasa sakit?”
“Tadi ia berkata bahwa kepalanya sakit.” Jawab Signora Candreva dengan cepat dan penuh kekhawatiran. “Apakah kepala anakku tidak apa-apa, Dok? Ia tidak gegar otak, kan?” Dokter perempuan itu tersenyum kecil. “Signora tidak perlu khawatir, anak Signora tidak gegar otak. Hanya saja ia baru bangun dari koma dan obat-obatan, sehingga ia mungkin merasa sedikit kebingungan.”
Signora Candreva menghela nafas. “Syukurlah. Bagaimana keadaannya, Dokter? Kapan London bisa kembali ke rumah?” Lelaki yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit itu hampir terbelalak. Kenapa ibu London menginginkan anaknya untuk cepat-cepat keluar dari rumah sakit? Dulu, saat ia jatuh sakit, ibunya selalu memastikan bahwa semuanya baik-baik saja sebelum ia mengungkit kata pulang.
Keluargaku tidak seperti keluargamu, Lucian, suara di dalam otaknya itu sedikit sendu. Aku tidak bisa tinggal di rumah sakit terlalu lama. Bayarannya terlalu mahal. Aku sudah terkait dengan peralatan-peralatan ini begitu lama, belum lagi ditambah dengan harga ruangan… angka di tagihan kami pasti sangat besar.
“London, apakah kau masih pusing?” London segera menoleh ke arah perempuan yang ia kasihi itu. Idalia sedang menatapnya sambil mengerutkan kening. “Kau bergumam sendiri dan raut wajahmu aneh… apakah kau tidak apa-apa?” London memaksakan senyuman. “Aku tidak apa-apa. Seharusnya aku bisa keluar dari rumah sakit dengan cepat.”
“Maaf kata, tetapi saya menyarankan Anda untuk mencari seorang psikolog setelah kondisi tubuh Anda stabil.” Ucap sang dokter dengan nada prihatin. “Percobaan bunuh diri adalah hal yang sangat serius. Akan lebih baik jika Anda dapat berbicara dengan seorang psikolog atau psikiater untuk meringankan beban hati Anda.”
“Terima kasih, Dokter.” Ujar Signor Candreva. “Kami akan membicarakannya dengan serius. Apakah London sudah bisa keluar dari rumah sakit sekarang?” Dokter perempuan itu menggelengkan kepala. “Kami harus melakukan check-up sekali lagi untuk memastikan keadaannya sudah kembali normal. Setelah itu, anak Signor dapat kembali ke rumah.”
***
Keesokan harinya, London sudah dibolehkan pulang saat hasil check-upnya telah menunjukkan keadaan yang bagus. Idalia menjemput London di rumah sakit hari itu karena orang tua London sudah kembali sibuk bekerja. Saat melihat London yang telah selesai mengganti pakaiannya, Idalia tersenyum hangat ke arah lelaki itu. “Ayo,” Idalia mengulurkan tangannya, mengajak London untuk keluar dari rumah sakit bersama.
London termangu melihat tangan Idalia yang terulur ke arahnya itu. Perlahan dia mulai mengangkat tangannya dan mengaitkan jari jemarinya pada milik Idalia lalu ikut tersenyum hangat ke arah perempuan itu.